29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:35 AM WIB

Tepis Mitos Sungai Angker, Berharap Bisa Jadi Warisan Budaya Dunia

Selama ini, Daerah Aliran Sungai (Petanu) yang berada di dua kabupaten, yakni hulu di Bangli dan hilir di Gianyar kerap disebut sebagai sungai mala atau berbahaya.

Dalam beberapa mitologi kuno, Tukad Petanu dikenal angker. Namun, anggapan itu ditepis Balai Arkeologi (Balar) Wilayah Bali, NTB dan NTT yang telah melakukan penelitian.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

TUKAD atau sungai Petanu memiliki panjang 46 kilometer lebih. Sungai itu juga yang mengaliri serta menghiasi air terjun Tegenungan dan air terjun Blangsinga.

Kepala Balar, I Gusti Made Suarbawa mengaku telah meneliti DAS Petani ini selama 17 hari, sejak 10-27 September 2018 ini.

Sebagian temuan hasil penelitian, disampaikan dalam diseminasi penelitian hidro arkeologi DAS Petanu kepada sejumlah pelajar di Gedung Plut-KUMKM Gianyar di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Selasa (25/9) kemarin.

Menurutnya, penelitian terhadap DAS Petanu yang hulunya di daerah Kintamani ini memang tidak mudah.

Sebab, dominan sepanjang DAS Petanu memiliki topografi curam dan terjal. Tim Balar Bali kemudian menerjunkan dua peneliti muda untuk mengetahui lebih jauh terkait DAS Petanu.

Termasuk di antaranya menepis mitos bahwa aliran air DAS Petanu dikenal sebagai aliran mala atau berbahaya.

Menurut Suarbawa, kata mala tidak semestinya dimaknai sebagai hal buruk. “Dalam konteks lontar Usana Bali, Petanu disebut sungai mala.

Tapi, jangan diartikan sedemikian saja, karena mala bisa berarti beresiko seperti tebing curam, artinya mengandung energi yang besar.

Di sepanjang aliran sungai juga terdapat cukup banyak pertirtan dan pertapaan yang menyucikan aliran,” jelasnya.

Dijelaskan, DAS Tukad Petanu alirannya melintasi 2 kabupaten, yakni bagian hulu Petanu berada di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, dan hilirnya di Pantai Saba Kabupaten Gianyar.

Penelitian yang dilakukan oleh tim, di antaranya menelusuri pengelolaan air terhadap tinggalan arkeologi di DAS Petanu.

“Kami mencari bukti kearifan lokal  bagaimana air dapat berfungsi bermakna dalam konteks arkeologi itu sendiri,” jelasnya.

Setelah diseminasi ini, tim dari Balar akan membuat laporan tertulis sehingga dapat bermanfaat bagi banyak kalangan,

termasuk Pemkab Gianyar yang berharap DAS Petanu bisa mengikuti jejak langkah DAS Pakerisan yang saat ini terus ditata sebagai objek wisata.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar I Gusti Ngurah Wijana, saat membuka acara diseminasi mengaku DAS Petanu penuh historis tapi seakan nyaris terlupakan.

“Saya apresiasi pada tim peneliti dari Balar. Karena hampir terlupakan keberadaan sungai Petanu yang memiliki histori luar biasa,” ujarnya.

Tak dipungkiri, nyaris terlupakannya DAS Petanu karena dari sejumlah sungai yang mengalir di wilayah Gianyar, DAS Petanu termasuk paling dalam, curam dan terjal.

“Ketika Sungai Petanu dikenal sebatas mitos, kali ini terjamah oleh peneliti. Mudah-mudahan setelah penelitian ini, DAS Petanu semakin dikenal,” jelasnya.

Bahkan, Wijana berharap, sungai Petani bisa mengikuti jejak DAS Pakerisan yang sudah diakui Unesco sebagai Warisan Budaya Dunia.

“Termasuk beberapa situs yang ada di sepanjang alirannya diakui dunia. Mudah-mudahan Petanu bisa seperti Pakerisan,” tukasya.

Selama ini, Daerah Aliran Sungai (Petanu) yang berada di dua kabupaten, yakni hulu di Bangli dan hilir di Gianyar kerap disebut sebagai sungai mala atau berbahaya.

Dalam beberapa mitologi kuno, Tukad Petanu dikenal angker. Namun, anggapan itu ditepis Balai Arkeologi (Balar) Wilayah Bali, NTB dan NTT yang telah melakukan penelitian.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

TUKAD atau sungai Petanu memiliki panjang 46 kilometer lebih. Sungai itu juga yang mengaliri serta menghiasi air terjun Tegenungan dan air terjun Blangsinga.

Kepala Balar, I Gusti Made Suarbawa mengaku telah meneliti DAS Petani ini selama 17 hari, sejak 10-27 September 2018 ini.

Sebagian temuan hasil penelitian, disampaikan dalam diseminasi penelitian hidro arkeologi DAS Petanu kepada sejumlah pelajar di Gedung Plut-KUMKM Gianyar di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Selasa (25/9) kemarin.

Menurutnya, penelitian terhadap DAS Petanu yang hulunya di daerah Kintamani ini memang tidak mudah.

Sebab, dominan sepanjang DAS Petanu memiliki topografi curam dan terjal. Tim Balar Bali kemudian menerjunkan dua peneliti muda untuk mengetahui lebih jauh terkait DAS Petanu.

Termasuk di antaranya menepis mitos bahwa aliran air DAS Petanu dikenal sebagai aliran mala atau berbahaya.

Menurut Suarbawa, kata mala tidak semestinya dimaknai sebagai hal buruk. “Dalam konteks lontar Usana Bali, Petanu disebut sungai mala.

Tapi, jangan diartikan sedemikian saja, karena mala bisa berarti beresiko seperti tebing curam, artinya mengandung energi yang besar.

Di sepanjang aliran sungai juga terdapat cukup banyak pertirtan dan pertapaan yang menyucikan aliran,” jelasnya.

Dijelaskan, DAS Tukad Petanu alirannya melintasi 2 kabupaten, yakni bagian hulu Petanu berada di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, dan hilirnya di Pantai Saba Kabupaten Gianyar.

Penelitian yang dilakukan oleh tim, di antaranya menelusuri pengelolaan air terhadap tinggalan arkeologi di DAS Petanu.

“Kami mencari bukti kearifan lokal  bagaimana air dapat berfungsi bermakna dalam konteks arkeologi itu sendiri,” jelasnya.

Setelah diseminasi ini, tim dari Balar akan membuat laporan tertulis sehingga dapat bermanfaat bagi banyak kalangan,

termasuk Pemkab Gianyar yang berharap DAS Petanu bisa mengikuti jejak langkah DAS Pakerisan yang saat ini terus ditata sebagai objek wisata.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar I Gusti Ngurah Wijana, saat membuka acara diseminasi mengaku DAS Petanu penuh historis tapi seakan nyaris terlupakan.

“Saya apresiasi pada tim peneliti dari Balar. Karena hampir terlupakan keberadaan sungai Petanu yang memiliki histori luar biasa,” ujarnya.

Tak dipungkiri, nyaris terlupakannya DAS Petanu karena dari sejumlah sungai yang mengalir di wilayah Gianyar, DAS Petanu termasuk paling dalam, curam dan terjal.

“Ketika Sungai Petanu dikenal sebatas mitos, kali ini terjamah oleh peneliti. Mudah-mudahan setelah penelitian ini, DAS Petanu semakin dikenal,” jelasnya.

Bahkan, Wijana berharap, sungai Petani bisa mengikuti jejak DAS Pakerisan yang sudah diakui Unesco sebagai Warisan Budaya Dunia.

“Termasuk beberapa situs yang ada di sepanjang alirannya diakui dunia. Mudah-mudahan Petanu bisa seperti Pakerisan,” tukasya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/