29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:24 AM WIB

Ada Sejak 1955, Ngelawar dan Ngejot Jadi Tradisi Umat Turun Temurun

Bali menjadi pulau yang dihuni oleh banyak agama.

 

Hidup menyama braya masih tetap terjaga meski memiliki perbedaan keyakinan.

 

Seperti halnya tradisi yang ada di Desa Mangesta, Banjar Piling, Penebel.

 

Saat perayaan Natal, umat Kristiani yang merupakan warga asli setempat tetap mengadopsi budaya tradisi Bali. 

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Tabanan

 

Sejak pukul 07.00 pagi hari, Rabu kemarin (25/12), suasana di Banjar Piling sudah terlihat sibuk.

 

Para jemaat dari umar Kristiani yang akan melakukan peribadatan sudah mulai berdatangan. Dengan mengenakan pakaian adat Bali, para warga yang menganut agama Krisiten akan bersiap melaksanakan perayaan Natal.

 

Di Desa Mangesta sendiri terdapat dua gereja.

 

Pertama Gereja Katolik St Mikael di Banjar Piling Tengah dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Immanuel di Banjar Piling Kawan yang para jemaaatnya merupakan warga asli setempat.

 

Menuju pintu masuk gereja, terdapat untaian penjor. Arsitektur bangunannya pun menganut arsitektur Bali.

 

“Kami memang warga asli sini. Asli Bali. Makanya kami tetap menggunakan adat istiadat Bali,” kata Patris I Ketut Sukawitnaja, selaku Ketua Pengurus Dewan St Mikael banjar Piling.

 

Keharmonisan juga terpancar ketika umat Kristiani melakukan peribadatan, umat Hindu seperti pecalang desa setempat ikut membantu untuk menjaga kelancaran perayaan Natal.

 

“Selain umar Hindu ada juga polisi, TNI, dan umat lain yang turut menjaga kelancaran acara. Umat Kristiani disini juga melakukan hal sebaliknya saing membantu sesama saudara,” ungkapnya.

 

Rangkaian Natal di Piling sendiri sudah dimulai sejak tanggal 20 Desember lalu.

 

Mulai dari persiapan, membuat lawar, ngejot hingga acara ramah tamah usai melakukan peribadatan Natal.

 

Ketika ada pekerjaan rumah yang besar, umat Hindu selalu membantu salah satunya ketika membuat lawar di rumah-rumah umat Kristiani yang sedang merayakan Natal. 

 

Seperti yang terlihat di rumah Edmundus Nyoman Parwata.

 

Di sana, warga Piling yang tidak merayakan Natal sudah disibukan dengan berbagai pekerjaan rumah.

 

Seperti mempersiapkan bumbu, bahan masakan untuk lawar.

 

Kudapan daging babi dan ayam menjadi santapan wajib setiap perayaan Natal.

 

“Nanti makan sama-sama. Lawarnya juga dibagikan ke tetangga lain atau ngejot. Begitu juga ketika galungan, kami juga melakukan hal yang sama. Ini sudah berlangsung turun temurun,” kata pria yang kesehariannya berprofesi sebagai polisi ini.

 

Ia merupakan generasi ketiga umat Kristiani yang ada di Piling yang sudah menganut Katolik sejak tahun 1955 silam.

 

Di Piling sendiri, terdapat kurang lebih 200 jiwa peganut Katolik yang tersebar di tiga banjar.

 

“Kami ini orang Bali asli, hanya kepercayaan saja yang berbeda. Makanya lagu-lagu rohani yang dikumandangkan juga menggunakan bahasa Bali,” tandasnya.

Bali menjadi pulau yang dihuni oleh banyak agama.

 

Hidup menyama braya masih tetap terjaga meski memiliki perbedaan keyakinan.

 

Seperti halnya tradisi yang ada di Desa Mangesta, Banjar Piling, Penebel.

 

Saat perayaan Natal, umat Kristiani yang merupakan warga asli setempat tetap mengadopsi budaya tradisi Bali. 

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Tabanan

 

Sejak pukul 07.00 pagi hari, Rabu kemarin (25/12), suasana di Banjar Piling sudah terlihat sibuk.

 

Para jemaat dari umar Kristiani yang akan melakukan peribadatan sudah mulai berdatangan. Dengan mengenakan pakaian adat Bali, para warga yang menganut agama Krisiten akan bersiap melaksanakan perayaan Natal.

 

Di Desa Mangesta sendiri terdapat dua gereja.

 

Pertama Gereja Katolik St Mikael di Banjar Piling Tengah dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Immanuel di Banjar Piling Kawan yang para jemaaatnya merupakan warga asli setempat.

 

Menuju pintu masuk gereja, terdapat untaian penjor. Arsitektur bangunannya pun menganut arsitektur Bali.

 

“Kami memang warga asli sini. Asli Bali. Makanya kami tetap menggunakan adat istiadat Bali,” kata Patris I Ketut Sukawitnaja, selaku Ketua Pengurus Dewan St Mikael banjar Piling.

 

Keharmonisan juga terpancar ketika umat Kristiani melakukan peribadatan, umat Hindu seperti pecalang desa setempat ikut membantu untuk menjaga kelancaran perayaan Natal.

 

“Selain umar Hindu ada juga polisi, TNI, dan umat lain yang turut menjaga kelancaran acara. Umat Kristiani disini juga melakukan hal sebaliknya saing membantu sesama saudara,” ungkapnya.

 

Rangkaian Natal di Piling sendiri sudah dimulai sejak tanggal 20 Desember lalu.

 

Mulai dari persiapan, membuat lawar, ngejot hingga acara ramah tamah usai melakukan peribadatan Natal.

 

Ketika ada pekerjaan rumah yang besar, umat Hindu selalu membantu salah satunya ketika membuat lawar di rumah-rumah umat Kristiani yang sedang merayakan Natal. 

 

Seperti yang terlihat di rumah Edmundus Nyoman Parwata.

 

Di sana, warga Piling yang tidak merayakan Natal sudah disibukan dengan berbagai pekerjaan rumah.

 

Seperti mempersiapkan bumbu, bahan masakan untuk lawar.

 

Kudapan daging babi dan ayam menjadi santapan wajib setiap perayaan Natal.

 

“Nanti makan sama-sama. Lawarnya juga dibagikan ke tetangga lain atau ngejot. Begitu juga ketika galungan, kami juga melakukan hal yang sama. Ini sudah berlangsung turun temurun,” kata pria yang kesehariannya berprofesi sebagai polisi ini.

 

Ia merupakan generasi ketiga umat Kristiani yang ada di Piling yang sudah menganut Katolik sejak tahun 1955 silam.

 

Di Piling sendiri, terdapat kurang lebih 200 jiwa peganut Katolik yang tersebar di tiga banjar.

 

“Kami ini orang Bali asli, hanya kepercayaan saja yang berbeda. Makanya lagu-lagu rohani yang dikumandangkan juga menggunakan bahasa Bali,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/