Oleh: dr. Dewa Ayu Ina Dianata, S.Ked
GLAUKOMA merupakan penyebab kedua pada kebutaan setelah katarak di dunia, dimana terdapat 76 juta kasus secara global pada tahun 2020.
Menurut Pusdatin Kemenkes RI jumlah kasus glaukoma di indonesia dari tahun 2015 sampai 2017 selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Glaukoma merupakan kerusakan pada saraf mata yang berakibat terjadinya penyempitan lapang pandang seseorang.
Faktor risiko utamanya adalah peningkatan tekanan bola mata. Penyempitan lapang pandang dapat terus berlanjut sampai pada kebutaan. Kelainan ini akan berpengaruh pada kualitas hidup dari penderita.
Perjalanan penyakit glaukoma dapat bersifat akut maupun kronis. Gejala yang akut akan segera disadari oleh pasien antara lain mata merah, nyeri pada bola mata, dan penurunan kemampuan penglihatan secara mendadak.
Ini merupakan keadaan kegawatdaruratan yang harus mendapat penanganan segera. Pada glaukoma kronis biasanya terdapat keluhan kabur atau penyempitan
lapang pandang namun perjalanannya lambat dan sering tidak disadari oleh penderita sampai keluhan sudah seperti melihat dalam terowongan.
Fenomena ini yang membuat glaukoma sering disebut pencuri penglihatan. Baik akut maupun kronis penting bagi masyarakat untuk segera menyadari gejalanya.
Sehingga bisa mendapatkan penanganan utuk mencegah perkembangan penyakit dan mencegah penurunan kemampuan penglihatan.
Perawatan pada penderita glaukoma harus dilakukan secara berkelanjutan dan konstan, agar kerusakan yang terjadi tidak semakin mempengaruhi kualitas hidup dari penderitanya.
Pemeriksaan rutin sebagai deteksi dini diperlukan terutama bagi orang yang memiliki riwayat glaukoma di keluarga, kebutaan, miopia tinggi, anemia, tekanan darah rendah, dan usia diatas 40 tahun.
Agar kerusakan saraf mata dapat segera dikenali sebelum menimbulkan gejala yang parah.