26.5 C
Jakarta
21 November 2024, 1:54 AM WIB

Muncul Sedotan Bambu, Bisa Dipakai Ulang, Dibuang Langsung Hancur

Di tengah gencarnya serbuan produk berbahan plastik, komunitas peduli lingkungan yang terdiri dari anak muda, Griya Luhu, membuat terobosan baru.

Griya Luhu mengajak masyarakat dan pelaku wisata menggunakan sedotan atau pipet berbahan organik.

 

INDRA PRASETIA, Gianyar

KETIKA melihat pertama kali sedotan milik Griya Luhu, produk itu sekilas seperti sumpit. Berbeda dengan sumpit, di dalam sedotan itu berlubang layaknya sedotan.

Dengan panjang kurang lebih 20 cm, sedotan itu sudah diproduksi sebanyak 200 batang. Bahannya sederhana, dari bambu buluh yang batangnya kecil.

Bambu itu dipotong-potong, tentunya. Potongan disesuaikan dengan ukuran yang dikehendaki. Serbuk bambu yang menempel dihilangkan.

Bagian dalam bambu kemudian dibersihkan. Begitu pula, kulit bambu diserut atau diamplas supaya halus. Dengan cara kerja itu, produk sederhana itu sudah bisa dipakai.

Pipet itu cocok disandingkan dengan gelas dari bambu atau bahan batok kelapa. Sayangnya, per sedotan seharga Rp 4.000 per batang.

Itu karena Griya Luhu memproduksi massal sedotan itu di daerah Jawa. Griya Luhu selama ini baru sebatas memakai contoh sedotan sebagai bahan edukasi.

Juga telah menjadikan sedotan itu sebagai souvenir pada acara lingkungan.

Menurut Ketua Komunitas, IB Mandara Brasika, Griya Luhu yang berada di bawah Mandhara Research Institute (MRI), awalnya prihatin dengan banyaknya sampah plastik yang ditemui.

Bahkan, sedotan plastik juga sangat banyak dijumpai di Bali. “Sedotan plastik tidak ramah lingkungan. Ketika terbuang, sulit untuk hancur,” ujarnya.

Maka dari itu, beberapa organisasi, seperti Pramuka dan komunitas peduli sampah fokus untuk memungut sampah sedotan plastik.

Dari keprihatinan itu, muncul cara untuk membuat karya ramah lingkungan. “Saat ini kami masih fokus untuk edukasi kepada pramuka

dan generasi muda peduli lingkungan lainnya. Agar beralih menggunakan sedotan organik,” ajak Mandara Brasika.

Walaupun berbahan bambu, namun produk yang dihasilkan bisa tahan lama. “Sedotan bambu ini selain bisa dipakai berulang kali.

Sekalipun dibuang, sampahnya juga bisa kembali menyatu dengan alam. Jadi tidak merusak lingkungan,” jelasnya.

Pihaknya mendorong pelaku wisata di Bali untuk ikut menggunakan produk ini. “Untuk sedotan organik ini,

agar hotel dan restoran agar berkomitmen dan konsisten menggunakan bahan-bahan organik lainnya, seperti sedotan ini,” jelasnya.

Penggunaan bahan organik, kata Mandara Brasika juga demi kebersihan Bali. “Karena ketika lingkungan rusak, wisatawan pun akan berpikir berulang kali berkunjung ke Bali,” terangnya.

Selain sedotan, pihaknya akan mengembangkan terobosan ini ke bahan lainnya. “Kedepan, kami ada rencana membuat kemasan

dari bambu hingga cassing handphone. Tapi itu masih dalam proses,” tukasnya. 

Di tengah gencarnya serbuan produk berbahan plastik, komunitas peduli lingkungan yang terdiri dari anak muda, Griya Luhu, membuat terobosan baru.

Griya Luhu mengajak masyarakat dan pelaku wisata menggunakan sedotan atau pipet berbahan organik.

 

INDRA PRASETIA, Gianyar

KETIKA melihat pertama kali sedotan milik Griya Luhu, produk itu sekilas seperti sumpit. Berbeda dengan sumpit, di dalam sedotan itu berlubang layaknya sedotan.

Dengan panjang kurang lebih 20 cm, sedotan itu sudah diproduksi sebanyak 200 batang. Bahannya sederhana, dari bambu buluh yang batangnya kecil.

Bambu itu dipotong-potong, tentunya. Potongan disesuaikan dengan ukuran yang dikehendaki. Serbuk bambu yang menempel dihilangkan.

Bagian dalam bambu kemudian dibersihkan. Begitu pula, kulit bambu diserut atau diamplas supaya halus. Dengan cara kerja itu, produk sederhana itu sudah bisa dipakai.

Pipet itu cocok disandingkan dengan gelas dari bambu atau bahan batok kelapa. Sayangnya, per sedotan seharga Rp 4.000 per batang.

Itu karena Griya Luhu memproduksi massal sedotan itu di daerah Jawa. Griya Luhu selama ini baru sebatas memakai contoh sedotan sebagai bahan edukasi.

Juga telah menjadikan sedotan itu sebagai souvenir pada acara lingkungan.

Menurut Ketua Komunitas, IB Mandara Brasika, Griya Luhu yang berada di bawah Mandhara Research Institute (MRI), awalnya prihatin dengan banyaknya sampah plastik yang ditemui.

Bahkan, sedotan plastik juga sangat banyak dijumpai di Bali. “Sedotan plastik tidak ramah lingkungan. Ketika terbuang, sulit untuk hancur,” ujarnya.

Maka dari itu, beberapa organisasi, seperti Pramuka dan komunitas peduli sampah fokus untuk memungut sampah sedotan plastik.

Dari keprihatinan itu, muncul cara untuk membuat karya ramah lingkungan. “Saat ini kami masih fokus untuk edukasi kepada pramuka

dan generasi muda peduli lingkungan lainnya. Agar beralih menggunakan sedotan organik,” ajak Mandara Brasika.

Walaupun berbahan bambu, namun produk yang dihasilkan bisa tahan lama. “Sedotan bambu ini selain bisa dipakai berulang kali.

Sekalipun dibuang, sampahnya juga bisa kembali menyatu dengan alam. Jadi tidak merusak lingkungan,” jelasnya.

Pihaknya mendorong pelaku wisata di Bali untuk ikut menggunakan produk ini. “Untuk sedotan organik ini,

agar hotel dan restoran agar berkomitmen dan konsisten menggunakan bahan-bahan organik lainnya, seperti sedotan ini,” jelasnya.

Penggunaan bahan organik, kata Mandara Brasika juga demi kebersihan Bali. “Karena ketika lingkungan rusak, wisatawan pun akan berpikir berulang kali berkunjung ke Bali,” terangnya.

Selain sedotan, pihaknya akan mengembangkan terobosan ini ke bahan lainnya. “Kedepan, kami ada rencana membuat kemasan

dari bambu hingga cassing handphone. Tapi itu masih dalam proses,” tukasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/