33.3 C
Jakarta
25 November 2024, 14:14 PM WIB

Warga Dipingpong Sana Sini, BPN, Pemkab dan Pemprov Lepas Tangan

Nilai ganti rugi proyek shortcut tak sebanding dengan tanah garapan mereka sebagai petani cengkeh. Itulah yang dipersoalkan puluhan warga Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng.

Mereka menuntut hak mereka dan tetap kukuh bertahan. Berbagai upaya sejatinya sudah dijalankan agar nilai ganti rugi lahan sebanding. Tapi, tak pernah menemui titik terang.

 

 

JULIADI, Singaraja

SUASANA kedai kopi Ko-Vaitnam di Jalan Bisma Banjar Tegal, Singaraja, Kami malam lalu (24/9), tampak ramai dari kalangan pengurus organisasi pemuda dan para mahasiswa.

Mereka sejatinya bukan untuk menikmati kopi. Melainkan menonton pemutaran film dokumenter lika-liku proyek shortcut yang mengisahkan cerita petani cengkeh Desa Pegayaman, Sukasada yang bertahan.

Menuntut hak atas ganti rugi lahan dan tanaman cengkeh yang digusur proyek shortcut Mengwitani-Singaraja menghabiskan anggaran senilai Rp 968,26 miliar.

Tak hanya itu, dalam pemutaran film dokumenter hadir pula perwakilan warga Desa Pegayaman yang kini belum mendapat uang ganti rugi lahan mereka.

Turut hadi pula dua dosen Undiksha dan kalangan jurnalis yang menjadi narasumber diskusi usai penayangan film dokumenter tersebut.

Sekedar diketahui film dokumenter luka-liku shortcut dibuat oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Singaraja dengan maksud memberikan solusi terbaik terhadap ganti rugi lahan proyek shortcut.

Artinya, tidak ada yang dirugikan baik itu pemerintah dan warga. Hal itu disampaikan sutradara film Jaswanto bersama rekan mahasiswa lainnya yang terlibat pembuatan film Dziky M Nur Cholif, M. Alfi Azhari dan Agung Ardiansyah.

Jaswanto menyebut, selama ini petani cengkeh Desa Pegayaman sangat setuju dengan proyek shortcut.

Masalahnya, pada persoalan ganti rugi yang tidak sebanding dengan lahan garapan mereka dan tanaman yang di lahan yang terkena jalur shortcut.

“Mudah-mudahan ada solusi saat diskusi usai pemutaran film dokumenter bagi para petani dari para dosen,” tandas Jaswanto.

Pemutaran film dokumenter dilanjutkan sesi diskusi proyek shortcut. Dengan pemateri Dosen Undiksha I Made Pageh, Made Sugi Hartono dan kalangan jurnalis. Suasananya tampak hangat.

Beberapa muncul kejanggalan-kejanggalan soal ganti rugi lahan yang disampaikan oleh para petani cengkeh di Desa Pegayaman.

Mulai tidak pernah ada sosialisasi kepada warga terkait proyek shortcut, warga yang diintimidasi oleh orang berseragam

aparat sampai dipaksa menandatangani surat pernyataan agar mau menyerahkan tanah mereka kendati harga tidak sebanding.

Marlan, warga Desa Pegayaman, Sukasada, mengaku, menjadi petani cengkeh ini, bernasib sial. Dia tak seberuntung petani cengkeh lainnya yang terdampak pembangunan shortcut yang telah mendapat ganti rugi sepadan.

Pasalnya, pohon cengkeh miliknya tak satupun tercatat oleh tim appraisal (penilai) yang turun saat mendata. Bahkan, sebagian tanah tak tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Inilah yang kemudian kami bergerak untuk menuntut hak-haknya sebagai korban yang terdampak pembangunan

proyek shortcut pemerintah,” aku pria yang memiliki lima orang anak yang hidup bergantung kepada hasil pertanian.

Begitu pula juga dengan Syahdan, adik dari Marlan bernasib yang sama. Jika pohon cengkeh miliknya dengan jumlah 140 pohon, hanya didata 35 pohon untuk mendapat ganti rugi.

Sedangkan rumahnya hanya diberi ganti rugi sebesar Rp 5 juta. Padahal, kandang sapi milik tetangganya, yang ukurannya lebih kecil, diberi ganti rugi sebesar Rp 4,5 juta.

Hal yang sama juga diungkap Wayan Saparudin. Pohon cengkeh miliknya yang terkena proyek shortcut 7-8 dan 9-10 berjumlah 40 pohon dengan ganti rugi per pohon dihargai Rp 1,4 juta.

“Tahu-tahu setelah kami cek hanya tercacat 20 pohon untuk diganti rugi. Padahal awalnya sepakat 40 pohon,” ungkapnya.

Saparudin menyebut, berbagai upaya sudah dilakukan oleh sebanyak 32 petani cengkeh memperjuangkan agar nilai ganti rugi dan lahan garapan dan pohon sebanding harga.

Namun, selalu buntu. Dia mengaku langkah mediasi memang sempat dilakukan antara petani cengkeh, BPN dan Kejati Bali.

Tapi, beberapa kali pihaknya meminta untuk melakukan data ulang terhadap lahan dan pohon cengkeh terkena jalur shortcut tak pernah disetujui.

“Kami sudah mendatangi ke BPN bertanya kenapa harga ganti rugi tak sebanding dengan tanya. Malah disuruh bertanya ke PUPR Provinsi hingga PUPR pusat. (BPN red), kata tidak tahu,” ujarnya.

Saran BPN untuk menanyakan terkait ganti ke PUPR Provinsi petani cengkeh lakukan. Namun, apa yang terjadi malah disuruh tanya kembali ke BPN dan Kejati Bali.

“Kami selalu dibolak balikkan. Tak pernah ada mediasi lagi tiba-tiba datang surat penetapan ha katas lahan ganti rugi shortcut.

Pemerintah daerah dan provinsi terkesan lepas tangan. Padahal, proyek shortcut untuk kepentingan kita bersama,” terangnya.  

Saparudin berharap pemerintah segera menuntaskan ganti rugi lahan dan pohon warga Pegayaman akibat kena dampak jalur shortcut. Dengan catatan harga ganti rugi yang sebanding.

“Kami siap jika lahan dan tanaman kami dinilai atau data ulang. Agar benar data yang dihasil tidak nerawang dan salah. Sehingga ganti rugi proyek shortcut sebanding dengan kenyataan di lapangan,” pungkasnya. (*)

Nilai ganti rugi proyek shortcut tak sebanding dengan tanah garapan mereka sebagai petani cengkeh. Itulah yang dipersoalkan puluhan warga Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng.

Mereka menuntut hak mereka dan tetap kukuh bertahan. Berbagai upaya sejatinya sudah dijalankan agar nilai ganti rugi lahan sebanding. Tapi, tak pernah menemui titik terang.

 

 

JULIADI, Singaraja

SUASANA kedai kopi Ko-Vaitnam di Jalan Bisma Banjar Tegal, Singaraja, Kami malam lalu (24/9), tampak ramai dari kalangan pengurus organisasi pemuda dan para mahasiswa.

Mereka sejatinya bukan untuk menikmati kopi. Melainkan menonton pemutaran film dokumenter lika-liku proyek shortcut yang mengisahkan cerita petani cengkeh Desa Pegayaman, Sukasada yang bertahan.

Menuntut hak atas ganti rugi lahan dan tanaman cengkeh yang digusur proyek shortcut Mengwitani-Singaraja menghabiskan anggaran senilai Rp 968,26 miliar.

Tak hanya itu, dalam pemutaran film dokumenter hadir pula perwakilan warga Desa Pegayaman yang kini belum mendapat uang ganti rugi lahan mereka.

Turut hadi pula dua dosen Undiksha dan kalangan jurnalis yang menjadi narasumber diskusi usai penayangan film dokumenter tersebut.

Sekedar diketahui film dokumenter luka-liku shortcut dibuat oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Singaraja dengan maksud memberikan solusi terbaik terhadap ganti rugi lahan proyek shortcut.

Artinya, tidak ada yang dirugikan baik itu pemerintah dan warga. Hal itu disampaikan sutradara film Jaswanto bersama rekan mahasiswa lainnya yang terlibat pembuatan film Dziky M Nur Cholif, M. Alfi Azhari dan Agung Ardiansyah.

Jaswanto menyebut, selama ini petani cengkeh Desa Pegayaman sangat setuju dengan proyek shortcut.

Masalahnya, pada persoalan ganti rugi yang tidak sebanding dengan lahan garapan mereka dan tanaman yang di lahan yang terkena jalur shortcut.

“Mudah-mudahan ada solusi saat diskusi usai pemutaran film dokumenter bagi para petani dari para dosen,” tandas Jaswanto.

Pemutaran film dokumenter dilanjutkan sesi diskusi proyek shortcut. Dengan pemateri Dosen Undiksha I Made Pageh, Made Sugi Hartono dan kalangan jurnalis. Suasananya tampak hangat.

Beberapa muncul kejanggalan-kejanggalan soal ganti rugi lahan yang disampaikan oleh para petani cengkeh di Desa Pegayaman.

Mulai tidak pernah ada sosialisasi kepada warga terkait proyek shortcut, warga yang diintimidasi oleh orang berseragam

aparat sampai dipaksa menandatangani surat pernyataan agar mau menyerahkan tanah mereka kendati harga tidak sebanding.

Marlan, warga Desa Pegayaman, Sukasada, mengaku, menjadi petani cengkeh ini, bernasib sial. Dia tak seberuntung petani cengkeh lainnya yang terdampak pembangunan shortcut yang telah mendapat ganti rugi sepadan.

Pasalnya, pohon cengkeh miliknya tak satupun tercatat oleh tim appraisal (penilai) yang turun saat mendata. Bahkan, sebagian tanah tak tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Inilah yang kemudian kami bergerak untuk menuntut hak-haknya sebagai korban yang terdampak pembangunan

proyek shortcut pemerintah,” aku pria yang memiliki lima orang anak yang hidup bergantung kepada hasil pertanian.

Begitu pula juga dengan Syahdan, adik dari Marlan bernasib yang sama. Jika pohon cengkeh miliknya dengan jumlah 140 pohon, hanya didata 35 pohon untuk mendapat ganti rugi.

Sedangkan rumahnya hanya diberi ganti rugi sebesar Rp 5 juta. Padahal, kandang sapi milik tetangganya, yang ukurannya lebih kecil, diberi ganti rugi sebesar Rp 4,5 juta.

Hal yang sama juga diungkap Wayan Saparudin. Pohon cengkeh miliknya yang terkena proyek shortcut 7-8 dan 9-10 berjumlah 40 pohon dengan ganti rugi per pohon dihargai Rp 1,4 juta.

“Tahu-tahu setelah kami cek hanya tercacat 20 pohon untuk diganti rugi. Padahal awalnya sepakat 40 pohon,” ungkapnya.

Saparudin menyebut, berbagai upaya sudah dilakukan oleh sebanyak 32 petani cengkeh memperjuangkan agar nilai ganti rugi dan lahan garapan dan pohon sebanding harga.

Namun, selalu buntu. Dia mengaku langkah mediasi memang sempat dilakukan antara petani cengkeh, BPN dan Kejati Bali.

Tapi, beberapa kali pihaknya meminta untuk melakukan data ulang terhadap lahan dan pohon cengkeh terkena jalur shortcut tak pernah disetujui.

“Kami sudah mendatangi ke BPN bertanya kenapa harga ganti rugi tak sebanding dengan tanya. Malah disuruh bertanya ke PUPR Provinsi hingga PUPR pusat. (BPN red), kata tidak tahu,” ujarnya.

Saran BPN untuk menanyakan terkait ganti ke PUPR Provinsi petani cengkeh lakukan. Namun, apa yang terjadi malah disuruh tanya kembali ke BPN dan Kejati Bali.

“Kami selalu dibolak balikkan. Tak pernah ada mediasi lagi tiba-tiba datang surat penetapan ha katas lahan ganti rugi shortcut.

Pemerintah daerah dan provinsi terkesan lepas tangan. Padahal, proyek shortcut untuk kepentingan kita bersama,” terangnya.  

Saparudin berharap pemerintah segera menuntaskan ganti rugi lahan dan pohon warga Pegayaman akibat kena dampak jalur shortcut. Dengan catatan harga ganti rugi yang sebanding.

“Kami siap jika lahan dan tanaman kami dinilai atau data ulang. Agar benar data yang dihasil tidak nerawang dan salah. Sehingga ganti rugi proyek shortcut sebanding dengan kenyataan di lapangan,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/