Oleh; Dahlan Iskan
Saya lemes saat nulis ini. Bahkan sudah lemes sejak menit ke 30-an final Piala Champions itu. Lemes. Kesel. Kasihan. Pasrah. Akhirnya…. tawakkal billah…. barang siapa marah di bulan puasa akan terhapus airmata putihnya.
Saya tidak menangis. Biar pun Liverpool kalah. Tidak sampai seperti Via Vallen. Yang menangis sampai air mata putihnya keluar.
Kata ‘air mata putih’ ini menjadi terjemahan yang begitu tidak pasnya untuk ‘nganti metu eluh getih putih’. Tidak pas. Tidak puitis. Tidak menyentuh kalbu. Tidak relevan. Tidak mendalam…. pokoknya tidak Via Vallen sama sekali.
Maaf…kok jadi panjang banget membahas lirik lagunya Via Vallen. Padahal dia (she) bukan penggemar klub Liverpool. Tapi memang lebih asyik membahas Via Vallen dari pada mengulas final Piala Champions itu.
Terutama setelah menit ke 30-an itu. Setelah penyerang utama Liverpool dipapah keluar lapangan. Tidak bisa main lain. Tangannya cedera. Bahunya ngilu. Setelah ‘dipithing’ pemain Real Madrid entah siapa itu.
Saya begitu malas membaca tulisan namanya di bagian belakang kaus putihnya itu. Saya ingat namanya. Tapi akan melupakannya. Ia memang berhak ‘memithing’ Salah. Tapi bahwa kemudian menjatuhkannya itu membuat Ramos akan hilang dari ingatan saya. Dipithingnya masih ok, dijatuhkannya masih biasa. Tapi posisi tangan Salah saat tertindih badan Ramos yang besar itu melengkung. Ngilu di hati. Saat melihat layar televisi.
Pokoknya saya tidak mau menulis nama Ramos lagi. (Kata ‘dipithing’ itu sengaja saya pilih untuk menyibukkan Google translate. Maafkan Google ya… ini kan bulan puasa. Apakah mas Google juga puasa?)
Tapi saya harus tawakkal. Ini bulan puasa. Begitulah memang tugas pemain belakang seperti Ramos: mematikan penyerang. Mohamad Salah tahu prinsip itu. Jadi salahnya Salah sendiri.
Seandainya wasit memberi Ramos kartu kuning pun tidak menyembuhkan tangan dan bahunya. Itulah sebabnya Salah menangis. Menyesal sekali. Tidak bisa bikin sejarah: memenangi Piala Champions untuk Liverpool… yang begitu lama dirindukan. Oleh saya.
Salah benar-benar menangis. Mungkin sampai ‘metu eluh getih putihe’. Begitu mengharukan. Seisi stadion Kiev menangis. Menurut perasaan saya. Yang sudah gelap mata.
Tapi yo wis rapopo. Insyaallah aku iso lilo…. Saya menangis karena Salah menangis. Tapi tangis itu saya simpan di dalam kalbu.
Seandainya saya nangis sungguhan pun tidak ada gunanya. Tidak ada yang melihat. Tidak seru adegan menangis tanpa dilihat orang.
Inilah ayatnya: barang siapa menangis tanpa dilihat orang tangisnya langsung berhenti sejak sebelum menangis.
Untuk apa saya menangis. Saya memang nonton final itu di tempat keramaian. Di sebuah sport bar yang besar. Mewah. Gemerlap. Tapi saya sendirian.
Tidak ada pengunjung bar. Jam tayang final itu nanggung. Untuk Wilayah Tengah Amerika: pukul 13.45. Matahari menyengat. Yang makan siang sudah selesai. Yang mau minum-minum belum datang.
Memang, saat saya masuk masih terlihat ini: beberapa meja penuh orang makan. Tapi sudah di tahap membayar. Ada 16 TV di sekeliling bar itu. Ada yang layar kecil. Ada yang layar besar. Ada pula yang besar sekali.
Saya tengok satu persatu: tidak satu pun yang menayangkan sepakbola. Yang terlihat hanya tayangan base ball, balap mobil, basket, tinju.
Saya tengak-tengok bengong. ‘’Anda yang menelepon tadi?,” tanya pelayan bar.
Rupanya dia melihat saya lagi mencari-cari layar. Atau karena melihat sosok Asia saya yang tidak biasa datang ke bar itu.
Semula saya memang ingin nonton di loby hotel saja. Ini kan bulan puasa. Tapi sepi sekali. Saya tanya Google alamat-alamat sport bar.
Saya pilih salah satunya. Saya hubungi: apakah akan menyiarkan final Champions? Saya pun diinterogasi: olahraga apa itu, di mana, di channel apa, jam berapa. Saya diminta menunggu. Masih dicoba dicari.
Jawabnya: bisa diadakan. Dia tahu: saya adalah orang yang menelepon tadi. ”Mau lihat di layar yang mana?,” tanyanya. ”Terserah,” jawab saya. ”Lho jangan terserah. Anda akan merasa nyaman duduk di mana?,” katanya.
Bagi saya duduk di mana pun nyaman. Toh saya hanya akan pesan makanan untuk dibungkus. Akhirnya saya memilih layar yang sedang. Toh hanya sendirian.
Dia lantas mengarahkan layar basket itu ke stadion Kiev. Layar lain dia ubah ke basket. Saya sendirian menatap layar: lho kok komentatornya berbahasa Spanyol. Kok running teksnya berbahasa Spanyol.
Oh… iya… ini kan di kota yang 95 persen penduduknya keturunan Spanyol.
Yo wis… rapopo. Insyaallah aku lilo.
Tapi perasaan saya mulai tidak enak. Ini pertanda-pertanda. Sungguh sebuah pertanda-pertanda. Mengarah ke Real Madrid. Kalau pun banyak orang di situ pasti semuanya juga memihak Madrid.
Saya tiba-tiba bersyukur: nonton sendirian. Saya bisa klaim: seluruh pengunjung bar itu memihak Liverpool. Daripada di tengah lautan Madridista.
Kadang di balik musibah itu memang ada udangnya. Tapi saya menangkap pertanda-pertanda itu. Lalu… terjadilah apa yang harus terjadi. Insyaallah aku lilo.(dis)