26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:27 AM WIB

Gencar Vaksinasi, Kapan Pandemi Covid-19 Berakhir?

PADA akhir 2019, terjadi wabah penyakit baru dengan gejala utama gangguan pernafasan di Wuhan, China.

Dengan cepat penyakit menyebar ke segenap penjuru dunia, sehingga WHO mengkategorikan penyakit tersebut sebagai pandemi.

Penyebabnya disebut SARS-CoV-2, sedangkan penyakitnya disebut Covid – 19. Covid-19 sendiri terdeteksi masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020.

Pemerintah segera mengambil langkah pengamanan berupa protokol kesehatan (prokes), termasuk mengisolasi penderita dan mereka yang positif dengan pengujian (rapid antigen test).

Rumah sakit khusus untuk merawat pasien dalam kondisi berat, sedang atau ringan telah disiapkan.

Belakangan ditemukan variant baru di Indonesia, sebagai akibat mutasi penyebab Covid-19 dari Inggris, Afrika Selatan dan India.

Variant baru ini menambah repot penanganan pandemi, karena bisa menular lebih mudah antar-orang.

Sebenarnya ada dua lagi penyakit gangguan pernafasan, disebabkan virus corona, yakni SARS di China (2002) dan MERSCoV di Timur Tengah (2012).

Yang mengherankan kedua penyakit ini mempunyai tingkat kematian (case fatality rate/CFR) lebih tinggi dibanding Covid-19, namun berhasil dikendalikan melalui prokes.

Termasuk mengisolasi penderita secara ketat. SARS mempunyai CFR 9,6%, MERSCoV 40,9%, sedangkan CFR Covid-19 tingkat dunia 2,1%, di Indonesia 2,8% (Worldometer, 27/5/21).

WHO mendorong pelaksanaan prokes, ditambah vaksinasi masal, untuk memutus rantai penularan.

Sebagian masyarakat sudah mulai jenuh dengan prokes, sehingga muncul pertanyaan, kapan pandemi berakhir?

 

Manfaat Vaksin Covid-19

Banyak negara berlomba-lomba membuat vaksin Covid-19, karena ada indikasi Covid-19 akan jadi pandemi dalam waktu relatif lama.

Indonesia menyiapkan vaksin Merah Putih, menggunakan bibit (seed) virus SARS-CoV-2 yang diisolasi di Indonesia, dengan teknik vaksin rekombinan.

Sebaliknya, vaksin Sinovac menggunakan virus utuh yang “dibunuh“ (killed vaccine). Tiap jenis vaksin mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

Pembuatan vaksin penyakit baru memang memerlukan waktu panjang, karena menurut WHO harus aman dan mempunyai kemanjuran (efficacy) minimal 50%.

Pandemi Covid-19 dinilai sebagai kondisi darurat, sehingga sejumlah vaksin yang telah melalui uji klinis dengan hasil baik, diijinkan WHO dipergunakan secara darurat (Emergency Use Authrorization / EUA).

Di Indonesia, Badan POM ditunjuk pemerintah sebagai lembaga yang mengeluarkan EUA. Semula sebagian masyarakat meragukan manfaat vaksin Sinovac.

Sampai-sampai Presiden Joko Widodo memberi contoh sebagai orang pertama divaksin pada 13 Januari 2021 lalu.

Dalam uji klinis, vaksin Sinovac dinilai mempunyai kemanjuran 65%, namun setelah diberikan ke tenaga medis sebagai kelompok pertama yang harus dilindungi, diberitakan mempunyai kemanjuran di atas 90%.

Hal ini memberikan efek positif, sehingga masyarakat yakin manfaat vaksin. Seperti banyak disebut, melalui vaksinasi massal diharapkan terjadi kekebalan kelompok (herd immunity), sehingga rantai penularan putus.

Mengingat wilayah Indonesia sangat luas, dengan penduduk sekitar 270 juta, vaksinasi masal memerlukan waktu cukup lama.

Sampai 13 Mei 2021 cakupan (coverage) vaksinasi lengkap (2 kali), menurut juru bicara Kemenkes baru mencapai 8,8 juta orang (5%) dari target 181,5 juta.

Angka cakupan ini termasuk rendah. Diperlukan kerja keras dan kesadaran masyarakat agar angka cakupan lebih tinggi lagi.

 

Jangan Kendor

Pelajaran akibat pengendoran prokes dapat disimak dari India. Ketika kasus Covid-19 berhasil ditekan dan vaksinasi masal Covid-19 baru saja dimulai, masyarakat diijinkan melakukan upacara agama di Sungai Gangga dan acara Pilkada.

Upacara dan acara tersebut menimbulkan kerumunan besar, sehingga terjadi gelombang kedua covid-19.

Akibatnya, India menduduki nomor dua dalam jumlah kasus Covid di dunia, setelah Amerika Serikat.

Dengan skala yang lebih kecil dibanding India, lonjakan kasus Covid-19 juga meningkat di Indonesia pasca Hari Raya Idul Fitri.

Meski pemerintah sudah melarang masyarakat untuk mudik, masih banyak orang nekad, tanpa menyadari bahwa tindakannya bisa menulari orang di kampung halaman, atau membawa penyebab Covid-19 ketika kembali dari mudik.

 

Prediksi Covid-19 Berakhir

Kesuksesan pengendalian Covid-19 di Indonesia sangat tergantung pada kesuksesan cakupan vaksinasi dan ketaatan masyarakat melakukan prokes.

Kendala yang dihadapi adalah ketersediaan dosis vaksin dan distribusinya, karena vaksin masih harus diimpor.

Memperhatikan situasi saat ini, diprediksi bahwa sampai akhir 2021 Indonesia masih harus berjuang keras menekan penyebaran covid, terutama melalui prokes dan vaksinasi.

Situasi bebas Covid-19 tidak bisa dicapai bersamaan di seluruh Indonesia. Bali yang diprioritaskan dalam hal vaksinasi massal dan masyarakatnya relatif taat, kemungkinan lebih dahulu bebas,

namun prokes dan pengujian antigen terhadap orang dari luar Bali dan luar negeri harus dijalankan, agar penularan dari luar tidak terjadi.

Dari sisi vaksin diperlukan informasi, berapa lama kekebalan pasca vaksinasi bertahan? Diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menjawab pertanyaan di atas.

Kemungkinan besar vaksinasi ulangan diperlukan setelah setahun, karena diperkirakan antibodi sudah menurun sehingga perlu dinaikkan (booster).

Kita berharap menjelang akhir 2022 vaksin Merah Putih sudah mendapat EUA dari BP POM. Kecepatan atau kemudahan menular virus penyebab Covid-19, lebih tinggi dibandingkan dengan virus penyebab SARS dan MERSCoV.

Hal ini menyebabkan rantai penularan sulit diputus, hanya dengan prokes. Para ahli WHO yang datang ke China melakukan penelusuran asal usul virus penyebab Covid-19 berpendapat, sumber virus adalah kelelawar.

Karena sumber pembawa virus adalah kelelawar, sangat mungkin virus SARS-CoV-2 muncul lagi pada masa datang, bila situasi dan kondisi memungkinkan.

Artinya, bebas sepenuhnya sulit dicapai, namun sangat mungkin dikendalikan, bila sumber virus yakni kelelawar dijaga tetap di habitatnya, agar virus tidak menyebar (spill over) ke manusia. (*)

 

 

Soeharsono

Mantan Penyidik Penyakit Hewan

Pemerhati Masalah Zoonosis

Tinggal di Bali

 

PADA akhir 2019, terjadi wabah penyakit baru dengan gejala utama gangguan pernafasan di Wuhan, China.

Dengan cepat penyakit menyebar ke segenap penjuru dunia, sehingga WHO mengkategorikan penyakit tersebut sebagai pandemi.

Penyebabnya disebut SARS-CoV-2, sedangkan penyakitnya disebut Covid – 19. Covid-19 sendiri terdeteksi masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020.

Pemerintah segera mengambil langkah pengamanan berupa protokol kesehatan (prokes), termasuk mengisolasi penderita dan mereka yang positif dengan pengujian (rapid antigen test).

Rumah sakit khusus untuk merawat pasien dalam kondisi berat, sedang atau ringan telah disiapkan.

Belakangan ditemukan variant baru di Indonesia, sebagai akibat mutasi penyebab Covid-19 dari Inggris, Afrika Selatan dan India.

Variant baru ini menambah repot penanganan pandemi, karena bisa menular lebih mudah antar-orang.

Sebenarnya ada dua lagi penyakit gangguan pernafasan, disebabkan virus corona, yakni SARS di China (2002) dan MERSCoV di Timur Tengah (2012).

Yang mengherankan kedua penyakit ini mempunyai tingkat kematian (case fatality rate/CFR) lebih tinggi dibanding Covid-19, namun berhasil dikendalikan melalui prokes.

Termasuk mengisolasi penderita secara ketat. SARS mempunyai CFR 9,6%, MERSCoV 40,9%, sedangkan CFR Covid-19 tingkat dunia 2,1%, di Indonesia 2,8% (Worldometer, 27/5/21).

WHO mendorong pelaksanaan prokes, ditambah vaksinasi masal, untuk memutus rantai penularan.

Sebagian masyarakat sudah mulai jenuh dengan prokes, sehingga muncul pertanyaan, kapan pandemi berakhir?

 

Manfaat Vaksin Covid-19

Banyak negara berlomba-lomba membuat vaksin Covid-19, karena ada indikasi Covid-19 akan jadi pandemi dalam waktu relatif lama.

Indonesia menyiapkan vaksin Merah Putih, menggunakan bibit (seed) virus SARS-CoV-2 yang diisolasi di Indonesia, dengan teknik vaksin rekombinan.

Sebaliknya, vaksin Sinovac menggunakan virus utuh yang “dibunuh“ (killed vaccine). Tiap jenis vaksin mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

Pembuatan vaksin penyakit baru memang memerlukan waktu panjang, karena menurut WHO harus aman dan mempunyai kemanjuran (efficacy) minimal 50%.

Pandemi Covid-19 dinilai sebagai kondisi darurat, sehingga sejumlah vaksin yang telah melalui uji klinis dengan hasil baik, diijinkan WHO dipergunakan secara darurat (Emergency Use Authrorization / EUA).

Di Indonesia, Badan POM ditunjuk pemerintah sebagai lembaga yang mengeluarkan EUA. Semula sebagian masyarakat meragukan manfaat vaksin Sinovac.

Sampai-sampai Presiden Joko Widodo memberi contoh sebagai orang pertama divaksin pada 13 Januari 2021 lalu.

Dalam uji klinis, vaksin Sinovac dinilai mempunyai kemanjuran 65%, namun setelah diberikan ke tenaga medis sebagai kelompok pertama yang harus dilindungi, diberitakan mempunyai kemanjuran di atas 90%.

Hal ini memberikan efek positif, sehingga masyarakat yakin manfaat vaksin. Seperti banyak disebut, melalui vaksinasi massal diharapkan terjadi kekebalan kelompok (herd immunity), sehingga rantai penularan putus.

Mengingat wilayah Indonesia sangat luas, dengan penduduk sekitar 270 juta, vaksinasi masal memerlukan waktu cukup lama.

Sampai 13 Mei 2021 cakupan (coverage) vaksinasi lengkap (2 kali), menurut juru bicara Kemenkes baru mencapai 8,8 juta orang (5%) dari target 181,5 juta.

Angka cakupan ini termasuk rendah. Diperlukan kerja keras dan kesadaran masyarakat agar angka cakupan lebih tinggi lagi.

 

Jangan Kendor

Pelajaran akibat pengendoran prokes dapat disimak dari India. Ketika kasus Covid-19 berhasil ditekan dan vaksinasi masal Covid-19 baru saja dimulai, masyarakat diijinkan melakukan upacara agama di Sungai Gangga dan acara Pilkada.

Upacara dan acara tersebut menimbulkan kerumunan besar, sehingga terjadi gelombang kedua covid-19.

Akibatnya, India menduduki nomor dua dalam jumlah kasus Covid di dunia, setelah Amerika Serikat.

Dengan skala yang lebih kecil dibanding India, lonjakan kasus Covid-19 juga meningkat di Indonesia pasca Hari Raya Idul Fitri.

Meski pemerintah sudah melarang masyarakat untuk mudik, masih banyak orang nekad, tanpa menyadari bahwa tindakannya bisa menulari orang di kampung halaman, atau membawa penyebab Covid-19 ketika kembali dari mudik.

 

Prediksi Covid-19 Berakhir

Kesuksesan pengendalian Covid-19 di Indonesia sangat tergantung pada kesuksesan cakupan vaksinasi dan ketaatan masyarakat melakukan prokes.

Kendala yang dihadapi adalah ketersediaan dosis vaksin dan distribusinya, karena vaksin masih harus diimpor.

Memperhatikan situasi saat ini, diprediksi bahwa sampai akhir 2021 Indonesia masih harus berjuang keras menekan penyebaran covid, terutama melalui prokes dan vaksinasi.

Situasi bebas Covid-19 tidak bisa dicapai bersamaan di seluruh Indonesia. Bali yang diprioritaskan dalam hal vaksinasi massal dan masyarakatnya relatif taat, kemungkinan lebih dahulu bebas,

namun prokes dan pengujian antigen terhadap orang dari luar Bali dan luar negeri harus dijalankan, agar penularan dari luar tidak terjadi.

Dari sisi vaksin diperlukan informasi, berapa lama kekebalan pasca vaksinasi bertahan? Diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menjawab pertanyaan di atas.

Kemungkinan besar vaksinasi ulangan diperlukan setelah setahun, karena diperkirakan antibodi sudah menurun sehingga perlu dinaikkan (booster).

Kita berharap menjelang akhir 2022 vaksin Merah Putih sudah mendapat EUA dari BP POM. Kecepatan atau kemudahan menular virus penyebab Covid-19, lebih tinggi dibandingkan dengan virus penyebab SARS dan MERSCoV.

Hal ini menyebabkan rantai penularan sulit diputus, hanya dengan prokes. Para ahli WHO yang datang ke China melakukan penelusuran asal usul virus penyebab Covid-19 berpendapat, sumber virus adalah kelelawar.

Karena sumber pembawa virus adalah kelelawar, sangat mungkin virus SARS-CoV-2 muncul lagi pada masa datang, bila situasi dan kondisi memungkinkan.

Artinya, bebas sepenuhnya sulit dicapai, namun sangat mungkin dikendalikan, bila sumber virus yakni kelelawar dijaga tetap di habitatnya, agar virus tidak menyebar (spill over) ke manusia. (*)

 

 

Soeharsono

Mantan Penyidik Penyakit Hewan

Pemerhati Masalah Zoonosis

Tinggal di Bali

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/