33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:43 PM WIB

Pekerja Wisata Bentuk Komunitas, Maestro Tenun Bali Ikut Turun Tangan

Pekerja pariwisata asal Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, putar haluan. Kerajinan tenun yang sempat ditinggalkan sejak puluhan tahun kini bangkit.

Sejak 12 Mei lalu, belasan pekerja membentuk komunitas. Mereka aktif membuat kain untuk dijual ke pasar dalam maupun luar negeri.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

RUMAH Pekaseh Subak di Banjar Pesalakan jadi markas para ibu-ibu pekerja pariwisata. Mereka kumpul mengenakan masker dan kamen.

Di rumah itu, ada 12 pekerja berbaur. Mereka terdiri dari pekerja hotel, pekerja vila. Bahkan ada pedagang kantin sekolah ikut beralih menjadi perajin tenun.

Kayu alat tenun yang dipakai tampak guratan. Tanda kayu sudah berumur. Perangkat yang rusak dibuat ulang.

Salah satu cooking atau tukang masak vila, Ni Putu Ratnawati, mengaku saat remaja pernah membantu ibunya menenun.

“Karena lama tidak ambil, saya belajar lagi. Lama mengingat-ingat. Akhirnya tiga hari, ini ada yang seminggu sudah bisa lagi,” kata Ratnawati.

Ratnawati mengaku sejak Mei lalu, sudah membuat 3 pices kain sepanjang kurang lebih 6 meter. “Kain yang saya tenun sudah dijual. Ada ke pasar Gianyar, ada ke Klungkung,” jelas perempuan 40 tahun tersebut.

Kerajinan tenun ini hidup kembali berkat bos di tempatnya bekerja. Bos bernama David Metclaf berasal dari Selandia Baru.

“Pas situasi seperti ini, bos tanya. Sebelum pariwisata booming, apa yang dikerjakan desamu? Saya jawab tenun,” ujarnya.

Akhirnya, David yang punya kenalan ekspatriat dan chanel di luar negeri bergerak menjadi pemasaran.

Sedangkan, Ratnawati bersama Kelian Dinas Banjar Pesalakan mengumpulkan para pekerja pariwisata yang terdampak Covid-19.

“Akhirnya kami di sini kumpul. Ini ada ibu Klemik (Ni Wayan Klemik, 65, red) yang ajarkan kami caranya,” jelasnya.

Ni Wayan Klemik, di usia kepala 6 tetap melestarikan kerajinan tenun. “Saya biasanya ke carik (sawah, red). Kalau ada waktu saya bikin tenun.

Saya ambil tenun setiap hari, tapi sebentar-sebentar. Hasil tenun kalau tidak laku dijual, dipakai sendiri,” jelasnya.

Klemik bisa dikatakan maestro tenun yang tersisa. Dikala pandemi, kemudian diminta berbagi ilmu kepada masyarakat terdampak Covid-19. Klemik mengajarkan tata cara tenun.

Dimulai dari ngulak, semacam mengencangkan benang, ngayin, nusuk, nyasah, nuduk untuk membentuk motif hingga finishing.

Sementara itu, Kelihan Dinas Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Made Astawa, bertindak sebagai penanggungjawab kerajinan ini.

“Dulu kerajinan tenun kami penjualannya merosot. Disamping itu, lebih banyak hasil dari pariwisata, makanya banyak yang ke pariwisata,” ungkapnya.

Ketika Covid-19 melanda, pihak banjar yang merangkul donatur sempat membagikan sembako. “Tapi kalau dikasih sembako terus, bisa terlena.

Makanya, ada ibu Ratnawati yang punya bos orang Selandia Baru mengumpulkan pekerja ini menjadi kelompok tenun,” jelasnya.

Astawa mengaku, sejak Mei lalu, kelompok tenun ini sudah menghasilkan kain tenun gelombang pertama dengan hasil kurang lebih Rp 5 juta.

Kini, para perajin memproduksi untuk gelombang kedua. “Ini sudah indent ada yang mau pesan,” jelasnya.

Diakui Astawa, tenun yang dibuat kali ini tidak monoton seperti tempo dulu. “Kami sesuaikan ke gaya yang diperlukan pasar,” ungkapnya.

David yang menjadi pemasaran meminta tenun motif moderen. “Juga bentuknya, tidak melulu untuk kamen atau selendang, kayak kita dulu,” paparnya.

Pesanan kali ini lebih condong untuk pernak-pernik atau hiasan rumah. “Misalnya tenun dipakai taplak meja. Hiasan kamar di vila.

Hiasan rumah. Lebih ke keperluan turis, karena chanel kami ke sana (kebutuhan warga asing, red),” terangnya. Selain dijual ke warga asing di seputaran Ubud, ada 30 persen hasil tenun dikirim keluar negeri.

Sementara itu, David Matclaf yang kerap keliling Indonesia merasa tergerak untuk membangkitkan lagi tenun Pejeng Kangin.

“Saya lihat ini tradisi yang hampir punah. Dihidupkan kembali. Kalau tidak dihidupkan, 10-20 tahun bisa tidak ada yang ingat,” ujar bule yang bisa bahasa Indonesia itu.

David mengaku menawarkan kain tenun khas Pejeng Kangin dari mulut ke mulut. “Sekarang orderan banyak,” ujarnya tersenyum. (*)

Pekerja pariwisata asal Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, putar haluan. Kerajinan tenun yang sempat ditinggalkan sejak puluhan tahun kini bangkit.

Sejak 12 Mei lalu, belasan pekerja membentuk komunitas. Mereka aktif membuat kain untuk dijual ke pasar dalam maupun luar negeri.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

RUMAH Pekaseh Subak di Banjar Pesalakan jadi markas para ibu-ibu pekerja pariwisata. Mereka kumpul mengenakan masker dan kamen.

Di rumah itu, ada 12 pekerja berbaur. Mereka terdiri dari pekerja hotel, pekerja vila. Bahkan ada pedagang kantin sekolah ikut beralih menjadi perajin tenun.

Kayu alat tenun yang dipakai tampak guratan. Tanda kayu sudah berumur. Perangkat yang rusak dibuat ulang.

Salah satu cooking atau tukang masak vila, Ni Putu Ratnawati, mengaku saat remaja pernah membantu ibunya menenun.

“Karena lama tidak ambil, saya belajar lagi. Lama mengingat-ingat. Akhirnya tiga hari, ini ada yang seminggu sudah bisa lagi,” kata Ratnawati.

Ratnawati mengaku sejak Mei lalu, sudah membuat 3 pices kain sepanjang kurang lebih 6 meter. “Kain yang saya tenun sudah dijual. Ada ke pasar Gianyar, ada ke Klungkung,” jelas perempuan 40 tahun tersebut.

Kerajinan tenun ini hidup kembali berkat bos di tempatnya bekerja. Bos bernama David Metclaf berasal dari Selandia Baru.

“Pas situasi seperti ini, bos tanya. Sebelum pariwisata booming, apa yang dikerjakan desamu? Saya jawab tenun,” ujarnya.

Akhirnya, David yang punya kenalan ekspatriat dan chanel di luar negeri bergerak menjadi pemasaran.

Sedangkan, Ratnawati bersama Kelian Dinas Banjar Pesalakan mengumpulkan para pekerja pariwisata yang terdampak Covid-19.

“Akhirnya kami di sini kumpul. Ini ada ibu Klemik (Ni Wayan Klemik, 65, red) yang ajarkan kami caranya,” jelasnya.

Ni Wayan Klemik, di usia kepala 6 tetap melestarikan kerajinan tenun. “Saya biasanya ke carik (sawah, red). Kalau ada waktu saya bikin tenun.

Saya ambil tenun setiap hari, tapi sebentar-sebentar. Hasil tenun kalau tidak laku dijual, dipakai sendiri,” jelasnya.

Klemik bisa dikatakan maestro tenun yang tersisa. Dikala pandemi, kemudian diminta berbagi ilmu kepada masyarakat terdampak Covid-19. Klemik mengajarkan tata cara tenun.

Dimulai dari ngulak, semacam mengencangkan benang, ngayin, nusuk, nyasah, nuduk untuk membentuk motif hingga finishing.

Sementara itu, Kelihan Dinas Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Made Astawa, bertindak sebagai penanggungjawab kerajinan ini.

“Dulu kerajinan tenun kami penjualannya merosot. Disamping itu, lebih banyak hasil dari pariwisata, makanya banyak yang ke pariwisata,” ungkapnya.

Ketika Covid-19 melanda, pihak banjar yang merangkul donatur sempat membagikan sembako. “Tapi kalau dikasih sembako terus, bisa terlena.

Makanya, ada ibu Ratnawati yang punya bos orang Selandia Baru mengumpulkan pekerja ini menjadi kelompok tenun,” jelasnya.

Astawa mengaku, sejak Mei lalu, kelompok tenun ini sudah menghasilkan kain tenun gelombang pertama dengan hasil kurang lebih Rp 5 juta.

Kini, para perajin memproduksi untuk gelombang kedua. “Ini sudah indent ada yang mau pesan,” jelasnya.

Diakui Astawa, tenun yang dibuat kali ini tidak monoton seperti tempo dulu. “Kami sesuaikan ke gaya yang diperlukan pasar,” ungkapnya.

David yang menjadi pemasaran meminta tenun motif moderen. “Juga bentuknya, tidak melulu untuk kamen atau selendang, kayak kita dulu,” paparnya.

Pesanan kali ini lebih condong untuk pernak-pernik atau hiasan rumah. “Misalnya tenun dipakai taplak meja. Hiasan kamar di vila.

Hiasan rumah. Lebih ke keperluan turis, karena chanel kami ke sana (kebutuhan warga asing, red),” terangnya. Selain dijual ke warga asing di seputaran Ubud, ada 30 persen hasil tenun dikirim keluar negeri.

Sementara itu, David Matclaf yang kerap keliling Indonesia merasa tergerak untuk membangkitkan lagi tenun Pejeng Kangin.

“Saya lihat ini tradisi yang hampir punah. Dihidupkan kembali. Kalau tidak dihidupkan, 10-20 tahun bisa tidak ada yang ingat,” ujar bule yang bisa bahasa Indonesia itu.

David mengaku menawarkan kain tenun khas Pejeng Kangin dari mulut ke mulut. “Sekarang orderan banyak,” ujarnya tersenyum. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/