GELOMBANG hantaman pandemi virus corona, tampaknya, belum akan surut terhadap kinerja perekonomian global termasuk Indonesia dan Bali khususnya.
Pada kuartal I tahun 2020 capaian perekonomian Bali tumbuh negatif pada level 1,14 persen. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berpeluang mengalami kontraksi hingga minus 4,8 persen sampai minus 7 persen pada kuartal II 2020.
Proyeksi tersebut jauh lebih dalam dari apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan bahwa pada periode yang sama diperkirakan kinerja perekonomian Indonesia akan berkisar pada minus 3,1 persen hingga minus 3,8 persen.
Meski tren tersebut diramalkan secara nasional, tidak menutup kemungkinan corak tersebut tidak akan memberi imbas pada perekonomian Bali di kuartal ke II 2020.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator strategis yang digunakan untuk menakar kemajuan suatu wilayah.
Ketika kinerja ekonomi mengalami kontraksi selama minimal dua kuartal secara berturut-turut maka dapat disebutkan bahwa wilayah tersebut mengalami resesi.
Penurunan tersebut biasanya terjadi pada capaian indikator ekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, industri manufaktur, penjualan ritel, dan PDB riil.
Hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa sebanyak 70,53 persen kelompok berpendapatan rendah (kurang dari 1,8 juta) mengalami penurunan pendapatan selama masa pandemi Covid-19.
Semakin banyak tenaga kerja produktif yang kehilangan pekerjaannya menjadi efek domino dari menurunnya produktivitas.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali melaporkan bahwa per 25 Mei 2020 sebanyak 71.313 pekerja di sektor formal dirumahkan dan 2.570 orang diputuskan hubungan kerja (PHK).
Indikator lainnya yang paling berpengaruh pada kinerja perekonomian Bali adalah menurunnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali sedalam minus 99,93 persen pada bulan April 2020 dibandingkan dengan bulan Maret 2020.
Jumlah kunjungan wisman tercatat hanya sebanyak 327 kunjungan. Dengan memperhatikan indikator-indikator tersebut maka bukan tidak mungkin kinerja perekonomian Bali pada kuartal dua masih mengalami kontraksi dan sangat berpotensi untuk mengalami resesi.
Perisitiwa erupsi Gunung Agung dan Bom Bali pernah menjadi ujian berat dinamika perekonomian Bali.
Meskipun demikian, tampaknya, gelombang pandemi corona membawa dampak yang lebih parah dibandingkan dengan peristiwa tersebut.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Badung menyebutkan bahwa pada saat erupsi Gunung Agung okupansi hotel masih mencapai 60 persen.
Analisis dan Kajian Ekonomi Regional (KER) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menyebutkan bahwa peristiwa Bom Bali pada 1 Oktober 2005 telah menurunkan tingkat hunian kamar hotel hingga 40-50 persen.
Meskipun demikian kondisi ekonomi pada saat itu tidak sampai terguncang hebat seperti saat ini dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang masih di atas 5 persen.
Saat ini hampir di semua lini aktivitas ekonomi melemah sehingga menurunkan daya beli dan membuat kemampuan serta keinginan orang untuk berwisata sangat rendah.
Belum ada pihak yang menjamin sampai kapan guncangan pandemi ini akan berakhir dan berapa lama industri pariwisata Bali kembali pulih ke puncak kejayaanya seperti masa sebelum pandemi.
Dampak hebat pandemi korona menyebabkan geliat ekonomi terpolarisasi pada sector-sektor penopang yang mampu bertahan di situasi genting seperti sekarang ini.
Menurut Decode EFC Analysis beberapa sektor ekonomi yang diprediksi mampu meredam guncangan akibat wabah virus korona dalam jangka pendek yaitu jasa dan pelayanan kesehatan,
industri dan perdangangan makanan, pelayanan kesehatan personal, aktivitas terkait informasi dan teknologi, serta e-commerce.
Prediksi tersebut, tampaknya, cukup akurat seperti yang ditemukan pada Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 oleh Badan Pusat Statistik yang menjelaskan bahwa
perubahan pengeluaran komoditas belanja rumahtangga selama masa pandemi meningkat paling tinggi untuk komoditas bahan makanan sebesar 51 persen, kesehatan sebesar 20 persen, serta paket data sebesar 14 persen.
Peluang bisnis transportasi online dengan segmen pasar domestik dan pemberdayaan potensi lokal (hasil pertanian lokal), tampaknya, bisa menjadi salah satu alternatif kombinasi aktivitas ekonomi yang menjanjikan.
Selam bulan April 2020, 46 persen responden Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 mengaku aktivitas belanja online mereka meningkat dan sebagian besar disebabkan oleh peningkatan belanja bahan makanan.
Selain menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi mereka yang terdampak kehilangan pekerjaan, sektor ini juga mampu menjadi penyangga finansial bagi industri pertanian lokal dan menyelamatkan daya beli masyrakat agar tidak anjlok.
Anjuran pemerintah untuk tetap di rumah dan bersiap untuk menyambut tatanan pola hidup baru nampaknya akan berpeluang menggeser sumber-sumber pertumbuhan perekonomian Bali.
Insentif yang digelontorkan pemerintah dapat diprioritaskan untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan baru dengan bertumpu pada industri yang menggeliat tumbuh positif untuk menyelematkan perekonomian Bali.
Alternatif ini dipilih sambil menunggu pemulihan basis perekonomian Bali yaitu industri pariwisata. Bagaimanapun juga roda perekonomian Bali harus berjalan untuk menafkahi kebutuhan diri sendiri termasuk keluarga.
Masa pandemi memang perlu disiasati dengan strategi yang tepat. Diam di rumah bukan menjadi alasan untuk tidak produktif. Kalau tidak sekarang kapan lagi? (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)