29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:36 AM WIB

Taktik Tempe

“Sorry. Itulah cara saya bernegosiasi”. Siapa lagi yang mengucapkan itu kecuali Presiden Donald Trump. Senin lalu. Di akhir pertemuan negara-negara G-7.

Di pantai selatan Perancis. G-7 –yang awalnya G-8 itu– sebenarnya sudah menjadi G-6. Yakni sejak Presiden Trump bersikap seolah Italia sudah keluar dari grup.

Sejak Italia dianggap berkhianat: menerima proyek OBOR dari Tiongkok tahun lalu. Rusia sudah lebih dulu dikeluarkan dari G-8. Sejak Rusia menyerang Ukraina dan mengambil alih wilayah Kremia. 

Tapi G-6 pun sebenarnya tinggal G-2: Amerika dan Inggris. Tinggal Trump dan Boris Johnson –perdana menteri Inggris yang baru itu. Dua orang itu saja yang mendominasi wacana di negara-negara industri termaju dunia itu.  

Atau bahkan kini tinggal G-1: Donald Trump –setelah Johnson itu dianggap Trump juga. Trump-nya Inggris. “Sorry. Itulah cara saya bernegosiasi”.  

Kalimat itu begitu populernya sekarang.  Itu setelah Trump akhirnya buka kartu. Ketika wartawan bersikap seolah-olah tetap saja tidak paham: mengapa ucapan Trump sering bertentangan.

Sore tempe pagi kedelai. Misalnya: Trump baru saja menyebut –lewat twitternya– Presiden Xi Jinping itu musuh besarnya. Tidak lama kemudian ia memuji Xi itu sebagai pemimpin yang hebat. 

“Sorry. Itulah cara saya bernegosiasi”.  Trump begitu yakin dengan taktiknya itu.  “Cara seperti itu sudah terbukti berhasil saya lakukan selama bertahun-tahun untuk bisnis saya.

Bahkan akan bisa lebih berhasil lagi kalau saya diterapkan untuk tingkat negara”. Ya sudah.  Trump memang tidak seperti semua laki-laki.  

Maka ia pun tidak dipedulikan lagi ketika membuat pernyataan begini: “Tiongkok sekarang ini sangat ingin membuat kesepakatan dagang dengan Amerika.

Sangat ingin. Melebihi yang dulu-dulu”. Betulkah begitu?  Tidak ada satu pun pemimpin Tiongkok yang menanggapinya.  Satu-satunya yang memberi komentar hanya seorang juru bicara tingkat kementerian.

Itu pun karena ditanya wartawan: bagaimana tanggapan Tiongkok atas klaim Trump seperti itu. Jawabnya singkat: Kami belum mendengar seperti apa pernyataan Presiden Trump. 

Tapi Trump tetap yakin Tiongkok sangat menginginkan negosiasi berjalan lagi.  “Tarif yang saya kenakan itu sangat memukul Tiongkok. Sangat parah.

Ekonomi Tiongkok kini sangat berat. Ribuan perusahaan hengkang dari sana. Kalau ditunggu lebih lama lagi akan lebih parah lagi”. Begitu inti ucapan-ucapan Trump Senin lalu. 

Bahkan Trump berani mengatakan kalimat yang intinya seperti ini: “Wakil ketua Tiongkok sendiri yang mengatakan pada saya bahwa mereka ingin segera deal.

Apa lagi jabatan yang lebih tinggi dari wakil ketua di sana kecuali Xi”. Padahal yang dimaksud itu adalah Liu He. Wakil perdana menteri Tiongkok.

Bukan Wakil Ketua Partai Komunis Tiongkok.  Tidak ada jabatan wakil ketua partai di sana. Kalau pun yang dimaksud adalah wakil presiden, orangnya bukan Liu He.  

Di atas Liu He masih ada perdana menteri Li Keqiang.  Di atas Le Keqiang ada politbiro. Tujuh orang. Tapi Trump tidak salah. Liu He memang salah satu orang kepercayaan Xi Jinping.  

Tidakkah Trump pernah menyesal menaikkan tarif itu?  “Saya memang menyesal. Kurang tinggi,” katanya dengan ketusnya.  Tapi tidak juga ada respons dari Tiongkok.

Kecuali satu: Tiongkok justru membalas menaikkan tarif bea masuk barang Amerika. Bahkan kini Tiongkok membiarkan mata uangnya menurun.

Sudah jauh melewati garis psikologis yang dulu ingin dipertahankan: 7 yuan/dolar. Senin kemarin sudah menjadi 7,1468. Berarti Yuan sudah turun 6,5 persen.  

Kenaikan tarif yang ditembakkan Trump pun seperti hanya mengenai dinding strereofom.  Maka Trump pun berpikir lagi. Harus ditekan bagaimana lagi. 

Ia pun menemukan jalan itu: akan mendekritkan keadaan darurat. Dengan dekrit itu Trump bisa memaksa semua perusahaan Amerika meninggalkan bisnisnya di Tiongkok.

Untuk memindahkan investasi mereka ke negara sendiri. Setidaknya ke negara lain.  Ia sedang memikirkannya. Kalau itu benar dia lakukan ramai juga.  

Tapi lebih baik heboh-heboh begini daripada perang beneran. Itulah baiknya Trump –seperti komentar pembaca Disway beberapa hari lalu– tidak mau perang.

Tidak mau mendalangi kudeta.  Korut tidak ia serang. Kim Jong-Un tetap berkuasa.  Iran pun tidak dibom. Bahkan Trump tetap bilang tidak ingin ada pergantian kekuasaan di Iran. 

Lama-lama saya suka dengan Trump. Di samping saya memang suka tempe, Trump itu juga menghibur.(Dahlan Iskan)

“Sorry. Itulah cara saya bernegosiasi”. Siapa lagi yang mengucapkan itu kecuali Presiden Donald Trump. Senin lalu. Di akhir pertemuan negara-negara G-7.

Di pantai selatan Perancis. G-7 –yang awalnya G-8 itu– sebenarnya sudah menjadi G-6. Yakni sejak Presiden Trump bersikap seolah Italia sudah keluar dari grup.

Sejak Italia dianggap berkhianat: menerima proyek OBOR dari Tiongkok tahun lalu. Rusia sudah lebih dulu dikeluarkan dari G-8. Sejak Rusia menyerang Ukraina dan mengambil alih wilayah Kremia. 

Tapi G-6 pun sebenarnya tinggal G-2: Amerika dan Inggris. Tinggal Trump dan Boris Johnson –perdana menteri Inggris yang baru itu. Dua orang itu saja yang mendominasi wacana di negara-negara industri termaju dunia itu.  

Atau bahkan kini tinggal G-1: Donald Trump –setelah Johnson itu dianggap Trump juga. Trump-nya Inggris. “Sorry. Itulah cara saya bernegosiasi”.  

Kalimat itu begitu populernya sekarang.  Itu setelah Trump akhirnya buka kartu. Ketika wartawan bersikap seolah-olah tetap saja tidak paham: mengapa ucapan Trump sering bertentangan.

Sore tempe pagi kedelai. Misalnya: Trump baru saja menyebut –lewat twitternya– Presiden Xi Jinping itu musuh besarnya. Tidak lama kemudian ia memuji Xi itu sebagai pemimpin yang hebat. 

“Sorry. Itulah cara saya bernegosiasi”.  Trump begitu yakin dengan taktiknya itu.  “Cara seperti itu sudah terbukti berhasil saya lakukan selama bertahun-tahun untuk bisnis saya.

Bahkan akan bisa lebih berhasil lagi kalau saya diterapkan untuk tingkat negara”. Ya sudah.  Trump memang tidak seperti semua laki-laki.  

Maka ia pun tidak dipedulikan lagi ketika membuat pernyataan begini: “Tiongkok sekarang ini sangat ingin membuat kesepakatan dagang dengan Amerika.

Sangat ingin. Melebihi yang dulu-dulu”. Betulkah begitu?  Tidak ada satu pun pemimpin Tiongkok yang menanggapinya.  Satu-satunya yang memberi komentar hanya seorang juru bicara tingkat kementerian.

Itu pun karena ditanya wartawan: bagaimana tanggapan Tiongkok atas klaim Trump seperti itu. Jawabnya singkat: Kami belum mendengar seperti apa pernyataan Presiden Trump. 

Tapi Trump tetap yakin Tiongkok sangat menginginkan negosiasi berjalan lagi.  “Tarif yang saya kenakan itu sangat memukul Tiongkok. Sangat parah.

Ekonomi Tiongkok kini sangat berat. Ribuan perusahaan hengkang dari sana. Kalau ditunggu lebih lama lagi akan lebih parah lagi”. Begitu inti ucapan-ucapan Trump Senin lalu. 

Bahkan Trump berani mengatakan kalimat yang intinya seperti ini: “Wakil ketua Tiongkok sendiri yang mengatakan pada saya bahwa mereka ingin segera deal.

Apa lagi jabatan yang lebih tinggi dari wakil ketua di sana kecuali Xi”. Padahal yang dimaksud itu adalah Liu He. Wakil perdana menteri Tiongkok.

Bukan Wakil Ketua Partai Komunis Tiongkok.  Tidak ada jabatan wakil ketua partai di sana. Kalau pun yang dimaksud adalah wakil presiden, orangnya bukan Liu He.  

Di atas Liu He masih ada perdana menteri Li Keqiang.  Di atas Le Keqiang ada politbiro. Tujuh orang. Tapi Trump tidak salah. Liu He memang salah satu orang kepercayaan Xi Jinping.  

Tidakkah Trump pernah menyesal menaikkan tarif itu?  “Saya memang menyesal. Kurang tinggi,” katanya dengan ketusnya.  Tapi tidak juga ada respons dari Tiongkok.

Kecuali satu: Tiongkok justru membalas menaikkan tarif bea masuk barang Amerika. Bahkan kini Tiongkok membiarkan mata uangnya menurun.

Sudah jauh melewati garis psikologis yang dulu ingin dipertahankan: 7 yuan/dolar. Senin kemarin sudah menjadi 7,1468. Berarti Yuan sudah turun 6,5 persen.  

Kenaikan tarif yang ditembakkan Trump pun seperti hanya mengenai dinding strereofom.  Maka Trump pun berpikir lagi. Harus ditekan bagaimana lagi. 

Ia pun menemukan jalan itu: akan mendekritkan keadaan darurat. Dengan dekrit itu Trump bisa memaksa semua perusahaan Amerika meninggalkan bisnisnya di Tiongkok.

Untuk memindahkan investasi mereka ke negara sendiri. Setidaknya ke negara lain.  Ia sedang memikirkannya. Kalau itu benar dia lakukan ramai juga.  

Tapi lebih baik heboh-heboh begini daripada perang beneran. Itulah baiknya Trump –seperti komentar pembaca Disway beberapa hari lalu– tidak mau perang.

Tidak mau mendalangi kudeta.  Korut tidak ia serang. Kim Jong-Un tetap berkuasa.  Iran pun tidak dibom. Bahkan Trump tetap bilang tidak ingin ada pergantian kekuasaan di Iran. 

Lama-lama saya suka dengan Trump. Di samping saya memang suka tempe, Trump itu juga menghibur.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/