27.3 C
Jakarta
21 November 2024, 23:22 PM WIB

Bulog Desa Penebus Dosa

Bisakah ‘Peran Bulog’ model Irwansyah dari desa Nguntoronadi, Magetan, discale-up? Dikembangkan?

Itulah pertanyaan yang membanjir sepanjang hari kemarin. Apalagi yang nge-share tulisan tentang Irwansyah edisi kemarin itu ampun-ampun: lebih banyak dari tulisan tentang perang dagang Amerika-Tiongkok. Ramai sekali.

Topik itu pula yang kami diskusikan di pendopo Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran, Magetan. Saat puluhan tokoh masyarakat hadir. Di samping topik penting lainnya: kiat memproduksi pakan sapi yang lebih murah dari pakan yang dijual pabrik.

Untuk membuat iklim berternak sapi di desa bisa lebih menarik. Topik pakan ternak ini dibahas atas penemuan drh Budi. Berupa ramuan 10 jenis limbah.

Alumni Unair ini memilih jadi orang Magetan. Karena sang istri dari lereng gunung Lawu.

Irwansyah sendiri, saat dialog tersebut, jelas-jelas menyatakan kemampuan keuangannya terbatas. Hanya cukup untuk 40 petani.

Dia mengaku hanyalah seorang pedagang pupuk kelas desa. Bukan kelas kecamatan. Apalagi kabupaten.

Kalau saja di tiap desa bisa ditemukan satu Irwansyah maka setidaknya akan ada 30 ribu petani yang tertolong. Di tiap kabupaten.

Tanpa pemerintah kehilangan apa-apa. Bahkan tanpa pemerintah tahu apa-apa.

Tapi mengharapkan lahirnya satu Irwansyah di satu desa tidaklah realiatis. Apalagi menciptakannya.

Hanya seorang bupati yang kharismatik yang bisa mengcopy Irwansyah di tiap desa. Lewat kewibawaan informalnya. Bukan instruksi kedinasannya.

Tapi itu juga hil yang mustahal.
Lalu adakah cara yang lebih realistis?

Ada. Pemerintah bisa mengaturnya. Bukan melakukannya. Kalau pemerintah yang melakukan justru akan banyak benturan. Benturan birokrasi. Kewenangan. Rebutan anggaran.

Lalu bagaimana?

Berkacalah pada Irwansyah. Pada dasarnya Irwansyah itu seorang integrator. Mungkin dia tidak menyadarinya.

Integrator yang tanpa birokrasi.

Irwansyah telah mengintegrasikan Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, kementan dan BUMN.

Sekaligus. Untuk level desa.

Tanpa ada birokrasi. Tanpa ada benturan kewenangan. Dia sendiri yang merencanakan. Dia sendiri yang mengkoordinasikan petani. Dia sendiri yang membuat peraturan. Dia sendiri yang mencairkan uang. Dan dia sendiri yang tahu dari mana sumber uang itu: hasil jualan pupuk di kiosnya.

Saya melihat yang bisa menjadi integrator seperti itu hanyalah swasta. Atau setengah swasta.

Tapi swasta pasti tidak mau. Labanya kurang banyak. Maka yang setengah swastalah yang bisa melakukannya: BUMN.

Lebih konkritnya: pabrik pupuk. Yaitu: PT Pupuk Indonesia.

Irwansyah bisa menjadi Bulog desa karena dia jualan pupuk. Yang mutlak diperlukan petani.

Petani tergantung habis pada pupuk. Kalau “pabrik pupuk” kelas desa seperti Irwansyah saja bisa, alangkah dahsyatnya kalau PT Pupuk Indonesia jadi Irwansyah untuk skala nasional.

Agar tidak ada kendala, harus ada satu komando: Bulog diakuisisi Pupuk Indonesia. Biar menjadi satu holding. Satu komando.

Di masa lalu, pabrik-pabrik pupuk urea kita pernah berjasa besar. Di awal Orde Baru.

Idealismenya luar biasa. Meningkatkan produksi beras gila-gilaan. Rakyat saat itu terancam kelaparan massal.

Berkat urea yang cukup kebutuhan pangan tercukupi.

Tapi pabrik-pabrik itu kemudian jadi ‘binatang’ bisnis biasa. Cari laba sebesar-besarnya.

Bahkan kebablasan: produksi urea kian besar. Kapasitas pabriknya naik terus.

Sampai-sampai petani kecanduan urea. Melupakan organik. Akhirnya tanah pertanian banyak yang mati. Kesuburannya menurun.

Pupuk Indonesia harus mengakui sisi ‘dosa’ ini.

Kaya karena dosa kuranglah berkah. Maka saatnya tiba.

Pupuk Indonesia mengembangkan idealisme lagi: menolong petani. Tanpa harus rugi. Memerankan peran Irwansyah di mana-mana. Di seluruh Indonesia. (dis)

Bisakah ‘Peran Bulog’ model Irwansyah dari desa Nguntoronadi, Magetan, discale-up? Dikembangkan?

Itulah pertanyaan yang membanjir sepanjang hari kemarin. Apalagi yang nge-share tulisan tentang Irwansyah edisi kemarin itu ampun-ampun: lebih banyak dari tulisan tentang perang dagang Amerika-Tiongkok. Ramai sekali.

Topik itu pula yang kami diskusikan di pendopo Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran, Magetan. Saat puluhan tokoh masyarakat hadir. Di samping topik penting lainnya: kiat memproduksi pakan sapi yang lebih murah dari pakan yang dijual pabrik.

Untuk membuat iklim berternak sapi di desa bisa lebih menarik. Topik pakan ternak ini dibahas atas penemuan drh Budi. Berupa ramuan 10 jenis limbah.

Alumni Unair ini memilih jadi orang Magetan. Karena sang istri dari lereng gunung Lawu.

Irwansyah sendiri, saat dialog tersebut, jelas-jelas menyatakan kemampuan keuangannya terbatas. Hanya cukup untuk 40 petani.

Dia mengaku hanyalah seorang pedagang pupuk kelas desa. Bukan kelas kecamatan. Apalagi kabupaten.

Kalau saja di tiap desa bisa ditemukan satu Irwansyah maka setidaknya akan ada 30 ribu petani yang tertolong. Di tiap kabupaten.

Tanpa pemerintah kehilangan apa-apa. Bahkan tanpa pemerintah tahu apa-apa.

Tapi mengharapkan lahirnya satu Irwansyah di satu desa tidaklah realiatis. Apalagi menciptakannya.

Hanya seorang bupati yang kharismatik yang bisa mengcopy Irwansyah di tiap desa. Lewat kewibawaan informalnya. Bukan instruksi kedinasannya.

Tapi itu juga hil yang mustahal.
Lalu adakah cara yang lebih realistis?

Ada. Pemerintah bisa mengaturnya. Bukan melakukannya. Kalau pemerintah yang melakukan justru akan banyak benturan. Benturan birokrasi. Kewenangan. Rebutan anggaran.

Lalu bagaimana?

Berkacalah pada Irwansyah. Pada dasarnya Irwansyah itu seorang integrator. Mungkin dia tidak menyadarinya.

Integrator yang tanpa birokrasi.

Irwansyah telah mengintegrasikan Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, kementan dan BUMN.

Sekaligus. Untuk level desa.

Tanpa ada birokrasi. Tanpa ada benturan kewenangan. Dia sendiri yang merencanakan. Dia sendiri yang mengkoordinasikan petani. Dia sendiri yang membuat peraturan. Dia sendiri yang mencairkan uang. Dan dia sendiri yang tahu dari mana sumber uang itu: hasil jualan pupuk di kiosnya.

Saya melihat yang bisa menjadi integrator seperti itu hanyalah swasta. Atau setengah swasta.

Tapi swasta pasti tidak mau. Labanya kurang banyak. Maka yang setengah swastalah yang bisa melakukannya: BUMN.

Lebih konkritnya: pabrik pupuk. Yaitu: PT Pupuk Indonesia.

Irwansyah bisa menjadi Bulog desa karena dia jualan pupuk. Yang mutlak diperlukan petani.

Petani tergantung habis pada pupuk. Kalau “pabrik pupuk” kelas desa seperti Irwansyah saja bisa, alangkah dahsyatnya kalau PT Pupuk Indonesia jadi Irwansyah untuk skala nasional.

Agar tidak ada kendala, harus ada satu komando: Bulog diakuisisi Pupuk Indonesia. Biar menjadi satu holding. Satu komando.

Di masa lalu, pabrik-pabrik pupuk urea kita pernah berjasa besar. Di awal Orde Baru.

Idealismenya luar biasa. Meningkatkan produksi beras gila-gilaan. Rakyat saat itu terancam kelaparan massal.

Berkat urea yang cukup kebutuhan pangan tercukupi.

Tapi pabrik-pabrik itu kemudian jadi ‘binatang’ bisnis biasa. Cari laba sebesar-besarnya.

Bahkan kebablasan: produksi urea kian besar. Kapasitas pabriknya naik terus.

Sampai-sampai petani kecanduan urea. Melupakan organik. Akhirnya tanah pertanian banyak yang mati. Kesuburannya menurun.

Pupuk Indonesia harus mengakui sisi ‘dosa’ ini.

Kaya karena dosa kuranglah berkah. Maka saatnya tiba.

Pupuk Indonesia mengembangkan idealisme lagi: menolong petani. Tanpa harus rugi. Memerankan peran Irwansyah di mana-mana. Di seluruh Indonesia. (dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/