33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 11:54 AM WIB

Sosok Ciputra di Mata Dahlan Iskan

Tidak ada lagi orang seperti Ciputra. Yang meninggal dunia di Singapura 27 November lalu. Di usia beliau yang 88 tahun. Dan tidak akan ada lagi. Tidak akan ada orang yang berjuang keras untuk memajukan sebuah perusahaan daerah –lalu mendapat penghargaan besar seperti beliau. 

Termasuk mendapat saham –biarpun kecil. Zaman sudah berubah. Jangankan penghargaan. Jangankan diberi saham. Salah sedikit justru akan masuk penjara! 

Awalnya Ciputra memajukan perusahaan daerah milik Pemda DKI Jakarta. Yang belakangan terkenal dengan nama PT Pembangunan Jaya. Itulah karir pertama Ciputra di dunia usaha.

Setelah beliau lulus dari ITB Bandung. Beliau dipercaya oleh Gubernur Jakarta Soemarno. Tidak diberi modal. Hanya diberi proyek: Pasar Senen. Yang setor modal –menurut catatan Christianto Wibosowo– hanya empat orang: Hasyim Ning, Dasaat, Sucipto (Asuransi Bumiputera) dan Yusuf Muda Dalam (Gubernur BI saat itu). 

Mereka itulah yang dikenal sebagai orang kaya raya di akhir masa pemerintahan Bung Karno. Belum ada Lim Sioe Liong, Mochtar Riyadi, Bambang Hartono apalagi Datuk Tahir. 

Di tangan Ciputra perusahaan daerah itu maju pesat. Lebih maju lagi di zaman Gubernur Ali Sadikin. Yang gila membangun itu. Gubernur berikutnya memercayainya lagi.

Sampai tujuh gubernur. PT Pembangunan Jaya berada di tangan orang hebat dalam kurun waktu yang panjang. Sekali lagi, kemajuan yang nyata hanya bisa diraih oleh pemimpin yang hebat –dalam kurun waktu yang panjang. 

Pemimpin yang hebat biasanya juga melahirkan banyak doktrin. Doktrin tertingginya adalah entrepreneurship: “Pengusaha adalah siapa pun yang bisa mengubah rongsokan menjadi emas”. 

Taman Impian Jaya Ancol adalah salah satu rongsokan itu. Ancol telah menjadi legenda Ciputra: dari pantai comberan, sarang nyamuk, gelandangan, jin buang anak, menjadi taman rekreasi impian. 

Banyak lagi, puluhan karya Ciputra yang seperti itu. Lalu ini: bermetamorfose! Setelah melahirkan banyak pemimpin muda di perusahaan daerah itu –salah satunya Eric Samola, mentor saya– Ciputra menjadi ‘kurang pekerjaan’. 

Banyak sekali kesibukan yang sudah diserahkan kepada para pemimpin muda. Ciputra tinggal menjadi semacam Mentor Agung. Ia memilih menjadi bukan siapa-siapa lagi – -secara struktur.

Tapi Ciputra masih seperti memiliki veto. ‘Kata Pak Ci’ sudah seperti keputusan RUPS.  Ciputra memang telah melahirkan corporate culture yang kuat di lingkungan PT Pembangunan Jaya.

Yang sebenarnya itu adalah Ciputra Culture! Di masa ‘kurang pekerjaan’ itulah Ciputra melahirkan usaha baru. Bukan lagi Pembangunan Jaya tapi rasa Pembangunan Jaya: PT Metropolitan Development.

Yang deretan gedungnya bermegah di Jalan Thamrin Jakarta itu. Yang salah satunya terkenal dengan gedungWorld Trade Centre itu. Sebelum dijual ke Murdaya Poo. 

Di Metropolitan Development, Ciputra hanya melibatkan para senior di jajaran pimpinan puncak PT Pembangunan Jaya. Empat orang. Yang sama-sama sangat berjasa di awal memajukan Pembangunan Jaya.

Yang sama-sama masih merasa punya kapasitas lebih. Yang sama-sama sudah ‘kekurangan pekerjaan’. Sambil mengawasi yang muda-muda di Pembangunan Jaya, para senior itu mengembangkan perusahaan mereka sendiri. 

Sukses pula. Metropolitan Development menjadi grup perusahaan papan atas di Indonesia. Di grup ini rasa Pembangunan Jaya 50 persen. Rasa Ciputra pribadi 50 persen. 

Lalu ini: bermetamorfose lagi. Anak-anak Ciputra mulai besar. Yang empat orang itu –dua wanita, dua laki-laki. Mulai pula punya menantu. Ciputra menganjurkan rekan sesama senior itu untuk memiliki perusahaan sendiri.

Di luar grup Pembangunan Jaya dan di luar grup Metropolitan. Pun Ciputra sendiri. Mendirikan Grup Ciputra. Yang 100 persen rasa Ciputra. Yang 100 persen milik keluarga. 

Di sini Ciputra tidak harus lagi bertanggung jawab pada negara (Gubernur dan DPRD). Seperti di PT Pembangunan Jaya. Tidak pula harus bertanggungjawab pada partner.

Seperti di Metropolitan. Di Ciputra Group, Ciputra hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri.  Di sinilah Ciputra bebas mengangkat anaknya sendiri, menantunya, cucunya dan siapa pun menjadi eksekutif perusahaan. 

Sekali lagi: sukses.  Sukses satu menarik gerbong sukses berikutnya. Sama-sama sukses, mana yang lebih puas: memimpin Pembangunan Jaya, Metropolitan atau Ciputra Group? 

Itu pernah saya tanyakan kepada beliau. Saya memang beberapa kali berbincang dengan beliau. Sejak saya masih muda dulu. Berguru pada beliau. Jawab Pak Ciputra: Yang paling memuaskan adalah mengembangkan perusahaan keluarga! 

Mengabdi ke negara sudah. Mengabdi ke sesama teman sudah. Terakhir mengabdi untuk kejayaan keluarga. Ups, bukan yang terakhir. Pak Ciputra selalu ingin mengabdi ke masyarakat.

Ia melihat mayoritas rakyat Indonesia orang pribumi yang miskin. Maka Ciputra ingin memasyarakatkan entrepreneurship ke masyarakat. Secara luas. Apa saja akan di-Entrepreneur-kan oleh Ciputra. 

Bupatipreneur. Menteripreneur. Sekolahpreneur. Gurupreneur. Ia begitu bangga kalau melihat ada pribumi yang masuk bisnis. Apalagi bisa berkembang. Lalu maju. 

Hanya itu yang bisa membuat pribumi maju: menumbuhkan jiwa Entrepreneur kepada mereka. Menumbuhkan jiwanya. Bukan memanjakannya. Bisnis beliau memang sangat besar.

Tapi tidak bisa dibilang rakus. Karena itu beliau tidak bisa menjadi yang terbesar.  Beliau memang bukan konglomerat terbesar di Republik ini. Tapi beliau punya nama besar dengan reputasi besar. 

Termasuk di bidang olahraga –terutama bulutangkis. Sebagian laba dari Jawa Pos misalnya, mengalir untuk pembinaan bulu tangkis. Lewat klub Jayaraya. Beliau juga pernah gila sepak bola.

Membiayai klub Jayakarta. Tapi kasus suap menyuap di sepakbola melukai hatinya. Tidak cocok dengan filosofi yang dikembangkannya. Jayakarta dibubarkan.  

Reputasi beliau di bidang kesenian apalagi. Beliau adalah konglomerat yang paling cinta seni. Aneh. Bisnis dan seni bisa menyatu di jiwa Ciputra. Di bidang seni warisan terakhir beliau adalah Artpreneur.

Di Kuningan Jakarta itu. Ratusan miliar rupiah dihabiskan Ciputra untuk membangun museum pelukis Hendra. Juga untuk membangun gedung opera terbaik Indonesia! 

Mungkin karena jiwa seninya yang total itu bisnis Ciputra tergolong bisnis yang menegakkan etika. Alenia terakhir ini mungkin juga ingin diucapkan Ciputra sendiri pada generasi penerusnya. Anak cucunya.  Termasuk saya.(Dahlan Iskan)  

Tidak ada lagi orang seperti Ciputra. Yang meninggal dunia di Singapura 27 November lalu. Di usia beliau yang 88 tahun. Dan tidak akan ada lagi. Tidak akan ada orang yang berjuang keras untuk memajukan sebuah perusahaan daerah –lalu mendapat penghargaan besar seperti beliau. 

Termasuk mendapat saham –biarpun kecil. Zaman sudah berubah. Jangankan penghargaan. Jangankan diberi saham. Salah sedikit justru akan masuk penjara! 

Awalnya Ciputra memajukan perusahaan daerah milik Pemda DKI Jakarta. Yang belakangan terkenal dengan nama PT Pembangunan Jaya. Itulah karir pertama Ciputra di dunia usaha.

Setelah beliau lulus dari ITB Bandung. Beliau dipercaya oleh Gubernur Jakarta Soemarno. Tidak diberi modal. Hanya diberi proyek: Pasar Senen. Yang setor modal –menurut catatan Christianto Wibosowo– hanya empat orang: Hasyim Ning, Dasaat, Sucipto (Asuransi Bumiputera) dan Yusuf Muda Dalam (Gubernur BI saat itu). 

Mereka itulah yang dikenal sebagai orang kaya raya di akhir masa pemerintahan Bung Karno. Belum ada Lim Sioe Liong, Mochtar Riyadi, Bambang Hartono apalagi Datuk Tahir. 

Di tangan Ciputra perusahaan daerah itu maju pesat. Lebih maju lagi di zaman Gubernur Ali Sadikin. Yang gila membangun itu. Gubernur berikutnya memercayainya lagi.

Sampai tujuh gubernur. PT Pembangunan Jaya berada di tangan orang hebat dalam kurun waktu yang panjang. Sekali lagi, kemajuan yang nyata hanya bisa diraih oleh pemimpin yang hebat –dalam kurun waktu yang panjang. 

Pemimpin yang hebat biasanya juga melahirkan banyak doktrin. Doktrin tertingginya adalah entrepreneurship: “Pengusaha adalah siapa pun yang bisa mengubah rongsokan menjadi emas”. 

Taman Impian Jaya Ancol adalah salah satu rongsokan itu. Ancol telah menjadi legenda Ciputra: dari pantai comberan, sarang nyamuk, gelandangan, jin buang anak, menjadi taman rekreasi impian. 

Banyak lagi, puluhan karya Ciputra yang seperti itu. Lalu ini: bermetamorfose! Setelah melahirkan banyak pemimpin muda di perusahaan daerah itu –salah satunya Eric Samola, mentor saya– Ciputra menjadi ‘kurang pekerjaan’. 

Banyak sekali kesibukan yang sudah diserahkan kepada para pemimpin muda. Ciputra tinggal menjadi semacam Mentor Agung. Ia memilih menjadi bukan siapa-siapa lagi – -secara struktur.

Tapi Ciputra masih seperti memiliki veto. ‘Kata Pak Ci’ sudah seperti keputusan RUPS.  Ciputra memang telah melahirkan corporate culture yang kuat di lingkungan PT Pembangunan Jaya.

Yang sebenarnya itu adalah Ciputra Culture! Di masa ‘kurang pekerjaan’ itulah Ciputra melahirkan usaha baru. Bukan lagi Pembangunan Jaya tapi rasa Pembangunan Jaya: PT Metropolitan Development.

Yang deretan gedungnya bermegah di Jalan Thamrin Jakarta itu. Yang salah satunya terkenal dengan gedungWorld Trade Centre itu. Sebelum dijual ke Murdaya Poo. 

Di Metropolitan Development, Ciputra hanya melibatkan para senior di jajaran pimpinan puncak PT Pembangunan Jaya. Empat orang. Yang sama-sama sangat berjasa di awal memajukan Pembangunan Jaya.

Yang sama-sama masih merasa punya kapasitas lebih. Yang sama-sama sudah ‘kekurangan pekerjaan’. Sambil mengawasi yang muda-muda di Pembangunan Jaya, para senior itu mengembangkan perusahaan mereka sendiri. 

Sukses pula. Metropolitan Development menjadi grup perusahaan papan atas di Indonesia. Di grup ini rasa Pembangunan Jaya 50 persen. Rasa Ciputra pribadi 50 persen. 

Lalu ini: bermetamorfose lagi. Anak-anak Ciputra mulai besar. Yang empat orang itu –dua wanita, dua laki-laki. Mulai pula punya menantu. Ciputra menganjurkan rekan sesama senior itu untuk memiliki perusahaan sendiri.

Di luar grup Pembangunan Jaya dan di luar grup Metropolitan. Pun Ciputra sendiri. Mendirikan Grup Ciputra. Yang 100 persen rasa Ciputra. Yang 100 persen milik keluarga. 

Di sini Ciputra tidak harus lagi bertanggung jawab pada negara (Gubernur dan DPRD). Seperti di PT Pembangunan Jaya. Tidak pula harus bertanggungjawab pada partner.

Seperti di Metropolitan. Di Ciputra Group, Ciputra hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri.  Di sinilah Ciputra bebas mengangkat anaknya sendiri, menantunya, cucunya dan siapa pun menjadi eksekutif perusahaan. 

Sekali lagi: sukses.  Sukses satu menarik gerbong sukses berikutnya. Sama-sama sukses, mana yang lebih puas: memimpin Pembangunan Jaya, Metropolitan atau Ciputra Group? 

Itu pernah saya tanyakan kepada beliau. Saya memang beberapa kali berbincang dengan beliau. Sejak saya masih muda dulu. Berguru pada beliau. Jawab Pak Ciputra: Yang paling memuaskan adalah mengembangkan perusahaan keluarga! 

Mengabdi ke negara sudah. Mengabdi ke sesama teman sudah. Terakhir mengabdi untuk kejayaan keluarga. Ups, bukan yang terakhir. Pak Ciputra selalu ingin mengabdi ke masyarakat.

Ia melihat mayoritas rakyat Indonesia orang pribumi yang miskin. Maka Ciputra ingin memasyarakatkan entrepreneurship ke masyarakat. Secara luas. Apa saja akan di-Entrepreneur-kan oleh Ciputra. 

Bupatipreneur. Menteripreneur. Sekolahpreneur. Gurupreneur. Ia begitu bangga kalau melihat ada pribumi yang masuk bisnis. Apalagi bisa berkembang. Lalu maju. 

Hanya itu yang bisa membuat pribumi maju: menumbuhkan jiwa Entrepreneur kepada mereka. Menumbuhkan jiwanya. Bukan memanjakannya. Bisnis beliau memang sangat besar.

Tapi tidak bisa dibilang rakus. Karena itu beliau tidak bisa menjadi yang terbesar.  Beliau memang bukan konglomerat terbesar di Republik ini. Tapi beliau punya nama besar dengan reputasi besar. 

Termasuk di bidang olahraga –terutama bulutangkis. Sebagian laba dari Jawa Pos misalnya, mengalir untuk pembinaan bulu tangkis. Lewat klub Jayaraya. Beliau juga pernah gila sepak bola.

Membiayai klub Jayakarta. Tapi kasus suap menyuap di sepakbola melukai hatinya. Tidak cocok dengan filosofi yang dikembangkannya. Jayakarta dibubarkan.  

Reputasi beliau di bidang kesenian apalagi. Beliau adalah konglomerat yang paling cinta seni. Aneh. Bisnis dan seni bisa menyatu di jiwa Ciputra. Di bidang seni warisan terakhir beliau adalah Artpreneur.

Di Kuningan Jakarta itu. Ratusan miliar rupiah dihabiskan Ciputra untuk membangun museum pelukis Hendra. Juga untuk membangun gedung opera terbaik Indonesia! 

Mungkin karena jiwa seninya yang total itu bisnis Ciputra tergolong bisnis yang menegakkan etika. Alenia terakhir ini mungkin juga ingin diucapkan Ciputra sendiri pada generasi penerusnya. Anak cucunya.  Termasuk saya.(Dahlan Iskan)  

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/