GEMA takbir dan tahmid terdengar saat malam menjelang Lebaran, tapi tak terlihat suasana seperti Lebaran pada tahun-tahun sebelumnya.
Begitulah, berakhirnya Ramadan 1441 H tanggal 23 Mei 2020 lalu, tak membuat suasana munculnya 1 Syawal pertanda Idul Fitri 1441 H otomatis disambut dengan riang dan sontak kegirangan.
Lebaran tahun ini tak ada “karnaval” baju-baju baru, apalagi yang lain serba baru. Juga rumah yang dicat baru atau berlebaran ke banyak tempat yang direncanakan, apalagi hingga ke luar negari.
Tak ada kendaraan lalu lalang mengadakan pawai takbir di jalanan. Suasana yang berbeda sama sekali. Rasanya kurang afdal saat Lebaran tanpa saling mengunjungi, saling bermaaf-maafan langsung.
Namun, Lebaran tahun ini terjadi suatu normal yang baru. New normal atau kenormalan baru adalah istilah yang merujuk ke pola hidup baru di situasi pandemi virus Corona jenis baru.
Pola hidup baru maksudnya masyarakat menerapkan protokol kesehatan berupa rajin mencuci tangan dengan sabun, selalu mengenakan masker, selalu menjaga jarak,
hingga menghindari kerumunan supaya terhindar dari COVID-19, penyakit pandemi yang diperkirakan WHO tak bakal hilang dalam waktu dekat ini.
New normal diterapkan usai tempat kerja-perkantoran diliburkan, bekerja dari rumah (work from home) digalakkan, dan kampanye tetap di rumah (stay at home) digencarkan.
Meski begitu, pemerintah menyatakan new normal bukan berarti merupakan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
New normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, namun dengan menerapkan protokol kesehatan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Jika new normal diterapkan, maka seseorang nanti akan mengadopsi hidup berbeda agar menekan resiko penularan virus.
Perilaku hidup berbeda dari biasanya seperti bekerja dari rumah (work from home), saat keluar rumah memakai masker.
Kehidupan kita sudah pasti akan berubah, untuk mengatasi resiko wabah ini, perubahan tatanan kehidupan baru ini yang oleh banyak orang disebut new normal.
Saat Lebaran sebelumnya ada istilah bermaaf-maafan, sungkeman, interaksi tatap muka, dan pulang mudik bagi yang jauh.
Namun, pada Lebaran tahun ini kondisi new normal, perayaan seperti Lebaran tahun-tahun sebelumnya sudah tak terlihat lagi.
Budaya perayaan Lebaran harus sesuai standart protokol kesehatan. Misal, pertemuan keluarga atau kunjungan ke kerabat diganti dengan media secara virtual,
baik melalui telpon, whatsAap, zoom meeting, maupun media lain yang bisa mengurangi beratnya rasa kangen yang paling tidak setahun tidak bertemu.
Lebaran kali ini sangat berbeda, hal ini sudah dimulai bulan awal Ramadhan, di saat model pembelajaran disekolah, perguruan tinggi sudah beralih
dengan media on line, dikuti dengan pola kerja dari rumah yang dikenal atau lebih di kenal dengan istilah Work From Home (WFH).
Hal yang sama juga di awal Ramadhan masyarakat sudah diimbau melaksanakan salat taraweh dan salat Ied di rumah,
demikian juga pada masyarakat yang akan punya hajatan, agar ditunda atau dilaksanakan acara formal tanpa mengundang banyak tamu datang ke tempat pesta nikah.
Di sisi lain merambah sektor ekonomi untuk masyarakat yang berkegiatan seperti di tempat makan sudah mulai diatur sedemikian rupa
agar tidak terjadi kerumunan orang makan di warung dengan cara jualan dengan online atau hanya melayani untuk dibawa pulang.
Berbicara normal nya menjelang lebaran, beberapa hari atau minggu masyarakat Indonesia selalu pulang kampung atau lebih di kenal mudik untuk merayakan lebaran dengan kerabat saling melepas kangen bermaaf-maafan.
Lebaran di tengah merebaknya virus corona kali ini istilah mudik ataupun pulang kampung menjadi sirna bagi masyarakat
yang jauh dari kampung yang hanya bisa pulang setahun sekali kata mudik ataupun pulang kampung hanya ada di angan-angan.
Fenomena mudik menjelang Lebaran di Indonesia ini memang cukup unik karena jarang sekali ditemukan di negara-negara lain meski mayoritas penduduknya juga beragama Islam.
Jadi dari mana sih asal muasal “mudik” yang jadi salah satu ciri khas Lebaran di Indonesia. Dulu antara “mudik” dan Lebaran tidak memiliki kaitan satu sama lain.
Mudik dalam Bahasa Jawa Ngoko berarti mulih dilik yang berarti pulang sebentar saja. Namun kini, pengertian “mudik” lebih dikaitkan dengan kata udik yang artinya kampung, desa, atau lokasi yang menunjukan antonim dari kota.
Arti kata “mudik” pun berkembang menjadi mulih udik yang artinya kembali ke kampung atau desa saat Lebaran tiba.
Istilah mudik Lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Saat itu Jakarta sebagai ibu kota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat.
Saat itu sistem pemerintahan Indonesia tersentral di sana dan ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air.
Media juga memiliki andil besar dalam membranding kegiatan pulang kampung ini menjadi kegiatan wajib saat Lebaran, dengan adanya program perusahaan dan pemerintah yang memudahkan kegiatan pulang kampung.
Tradisi ini pun semakin berkembang dan seolah menjadi keharusan. Tradisi mudik bagi perantau di ibu kota juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya.
Sekaligus menjadi ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya di perantauan.
Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur Lebaran untuk berwisata setelah satu tahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan, sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru.
Ada hal-hal yang membuat perantau wajib melaksanakan pulang kampung. Pertama mudik menjadi jalan untuk mencari berkah karena bisa bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan tetangga.
Kegiatan ini juga menjadi pengingat asal-usul daerah bagi mereka yang merantau. Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit.
Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.
Tradisi mudik bagi perantau di ibu kota juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Sekaligus menjadi ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya di perantauan.
Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur Lebaran untuk berwisata setelah satu tahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan, sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru.
Namun, tahun ini menjadi hal aneh di Indonesia. Tradisi mudik mendadak tidak terlihat saat Lebaran. Begitu juga setelah Lebaran arus balik tak terlihat.
Seperti tahun-tahun sebelumnya arus balik selalu menjadi perhatian pemerintah pusat terutama arus balik ke arah Jakarta, yang selalu menjadi incaran kaum migran yang ingin mengadu nasib berharap mendapat kehidupan yang lebih baik.
Selain budaya mudik atau pulang kampung, Lebaran tahun ini hanya angan angan oleh kaum perantau, cara silaturahmi, atau anjang sana juga mengalami perubahan yang tidak biasa.
Saat bertemu, selalu ada tradisi sungkeman, berjabat tangan, bersalam salaman, namun sementara diganti menangkupkan tangan dan mengangguk supaya tidak ada kontak fisik.
Hampir semua masyarakat harus mengubah kebiasaan yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi sesutau yang baru dan harus dilaksanakan karena terkait virus yang belum ditemukan obat maupun vaksin untuk mencegah obat tersebut.
Bagi kaum milenial perubahan budaya seperti saat ini mungkin tidak menjadi masalah, karena bisa dengan cepat beradaptasi dengan cepat dengan teknologi digital.
Pandemi Covid-19 memang tak menghambat atau menghalangi tradisi Lebaran, termasuk bersilaturahmi dengan kerabat,
teman, hanya terjadi perubahan tata cara pelaksanaan yang terbiasa ada kontak fisik seperti bersalaman pada saat sungkeman.
Lebaran tahun ini cukup sungkem lewat virtual yang tak pernah di bayangkan oleh masyarakat Indonesia. Baik yang di dalam negeri maupun masyarakat Indonesia di luar negeri.
Hal ini menjadi aneh atau anomali, karena tradisi Lebaran yang sudah melekat di masyarakat Indonesia sejak berpuluh puluh tahun, baru tahun ini terjadi perubahan cara perayaannya.
Walaupun begitu, tetap ada hikmah yang dapat diambil di tengah pandemi. Pandemi ini membuat kita untuk introspeksi diri.
Sekarang tidak bisa menyalahkan siapapun. Semua orang harus tanggung jawab dan melawan wabah bersama–sama.
Wabah ini jadi tanggung jawab kita semua saja. Intropeksi diri masing – masing. Sampai kapan perubahan yang dianggap sebagai new normal ini semoga Tuhan segera mengakhiri wabah atau pageblug, agar masyarakat segera beraktivitas seperti sediakala. Amiin. (Dr. Puguh Santoso,S.Si.,M.Biomed., Apt/Dosen Fakultas Faramasi Universitas Mahasarawati Denpasar)