Perjuangan Mulatua Sihombing selama dua tahun menuntut keadilan akhirnya membuahkan hasil manis.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Denpasar memutuskan perusahaan tempatnya bekerja harus membayarkan uang pesangon dan hak lainnya sebesar Rp 142 juta.
MAULANA SANDIJAYA, Denpasar
APA yang dialami Mulatua mungkin sebagian besar dialami juga kaum pekerja lainnya. Tenaga dan pikirannya diisap, namun hak-haknya sebagai karyawan tidak diberikan sepenuhnya.
Alih-alih sejahtera, yang ada justru diputus hubungan kerja atau PHK. Permasalahan yang dialami Mulatua bermula pada September 2017.
Saat itu dirinya diberi surat keputusan dari tempatnya bekerja PT Cipta Persada Multilestari, bahwa ada penurunan gaji.
“Saya tidak setuju gaji diturunkan. Alasan saya, saya ini sudah karyawan senior. Artinya, semakin lama bekerja harusnya semakin sejahtera, kok ini malah semakin tertindas,” tutur Mulatua kepada Jawa Pos Radar Bali, kemarin.
Pria 45 tahun, itu menceritakan pada awal 2009 ia melamar sebagai supervisor proyek di PT Cipta Persada Multilestari di Surabaya, Jawa Timur.
Perusahaan itu bergerak di bidang kontraktor dan penyedian barang bangunan, khususnya cat. Tiga pekan bekerja, Mulatua ditugaskan ke Bali. Ia ditempatkan di Jalan Sekar Jepun, Gatsu Timur, Denpasar.
Meski melamar sebagai pelaksana proyek, praktiknya dia bekerja serabutan. Terkadang bekerja di gudang, namun kerap turun ke lapangan mengawasi proyek bermasalah.
Saat itu gajinya Rp 1.250.000. Pada 2013, bos PT Cipta Persada Multilestari mebuka perusahaan bar bernama PT Wahana Surya Land Reltindo yang bergerak di bidang developer perumahan.
Perusahaan baru ini beralamat di Bongan Puseh, Tabanan. Mulatua diperbantukan juga di Tabanan. Seiring waktu, Mulatua mendapat kenaikan gaji hingga Rp 4,2 juta pada 2017.
“Saya terima saja diperbantukan di perusahaan baru tidak masalah. Padahal, saya kontraknya sebenarnya di PT Cipta Persada. Tapi, semua itu saya jalani,” tutur pria kelahiran 25 Agustus 1975 itu.
Masalah datang pada 18 September 2017. Tanpa sebab yang jelas gaji Mulatua diturunkan. Jelas hal tak masuk akal tersebut ditolak.
Perusahaan kemudian menawarkan PHK. Mulatua menyetujui opsi PHK. Syaratnya haknya harus diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, lanjut Mulatua, perusahaan tidak pernah menindaklanjuti PHK sesuai undang-undang. Si Bos berinisial FX JP beralasan keuangan perusahaan sedang sulit dipicu penjualan rumah sepi.
“Bos saya selalu berkelit. Ada saja alasannya. Katanya mau dihitung dulu di Surabaya. Sampai akhirnya dari perusahaan tidak meneruskan apapun,” imbuhnya.
Meski nasibnya digantung, Mulatua tetap bekerja seperti biasa. Termasuknya saat bosnya datang ke Bali dia yang menjemput. Ia berusaha mendesak agar diberi kepastian.
Namun, hal itu tak pernah diberikan. Ironisnya, gajinya perlahan disunat. Dari awal gajinya Rp 4,2 juta, dipotong menjadi Rp 2,1 juta, hingga terakhir pada Desember 2017 ia hanya menerima gaji Rp 1.350.000.
Setelah itu dia tidak menerima gaji lagi. Pada 14 Desember 2017, Mulatua di-PHK dengan tawaran uang sebesar Rp 15 juta sebagai uang pisah dan ucapan terima kasih, serta surat keterangan terakhir bekerja.
Akan tetapi, Mulatua menolaknya. Perusahaan kemudian melarang Mulatua bekerja sejak Sabtu, 16 Desember 2017.
“Saya di-PHK secara sepihak dengan cara tidak beretika,” cetus pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, itu.
Mulatua tidak tinggal diam. Ia mencoba mendapatkan keadilan dengan cara menghubungi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Tabanan. Mediasi berusaha dilakukan Disnaker.
Namun, kata Mualtua, dari pihak perusahaan tidak pernah datang dalam undangan resmi. “Bos pernah tawari Rp 15 juta sebagai pesangon. Tapi, saya tidak mau. Saya maunya sesuai peraturan perundang-undangan,” tukasnya.
Meski begitu, sampai Maret 2018 Mulatua masih datang ke kantor untuk bekerja. Dia merasa masih karyawan karena tidak ada pemecatan resmi.
Bahkan, ijazah S-1 miliknya masih ditahan di Surabaya. Saat melamar kerja salah satu syarat yang harus dipenuhi yakni menitipkan ijazah di perusahaan.
“Sampai sekarang ijazah saya tidak diberikan. Sudah saya minya tidak dikasih,” beber pria lulusan ITN Malang, Jawa Timur, itu.
Berbagai pendekatan persuasif yang dilakukan menemui jalan buntu. Akhirnya, Mulatua meminta bantuan Yayasan LBH Bali untuk mengajukan gugatan ke PHI Denpasar.
Terhitung dua kali Mulatua mengajukan gugatan. Pertama pada awal 2018. Namun, gugatan tidak dikabulkan hakim karena dinilai kabur atau tidak cermat.
Meskipun demikian, Mulatua tidak patah arang. Ia kembali mengajukan gugatan pada Mei 2019. Hasilnya, pada Rabu (18/9) lalu, majelis hakim yang diketuai I Made Pasek mengabulkan sebagian besar gugatan yang diajukan.
Di antaranya ia berhak mendapat pesangon dan gaji yang tidak dibayarkan sekitar Rp 142 juta. “Puji Tuhan. Setelah penantian selama 21 bulan, akhirnya saya memperoleh keadilan,” kata ayah dua anak itu penuh syukur.
Meski sudah ada putusan pengadilan, belum ada itikad baik dari perusahaan. Mulatua pun berharap ada kerelaan dan kesadaran dari perusahaan memberikan haknya sesuai yang diputuskan pengadilan.
“Saya setelah di-PHK tidak bekerja apa-apa. Saya menghidupi keluarga dari istri buka warung di rumah. Itupun modal saya dapat dari pinjam orang tua. Semoga keadilan benar-benar datang,” tukasnya.
Putusan pengadilan ini disambut baik Dewa Adnyana, mantan Ketua Yayasan LBH Bali. Selama ini Adnyana pula yang mendampingi Mulatua.
“Kami bersyukur perjuangan ini dikabulkan hakim. Kami minta agar perusahaan melaksanakan kewajibannya sebagaimana putusan pengadilan,” tandas Adnyana.
Sementara itu, Jawa Pos Radar Bali ini berusaha menghubungi PT Cipta Persada Multilestari melalui nomor 0315685XXX. Berulang kali dihubungi hanya terdengar nada sambung aktif, tapi tidak ada yang merespons. (*)