26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:18 AM WIB

Sudirta Ungkap Tantangan Tugas Mendesak dan Urgent Bagi Kapolri Baru

DENPASAR-Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali I Wayan Sudirta, SH yakin, dengan sederet rekam jejak, integritas, dan paparan program kerja saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI,

Kapolri baru Jenderal Polisi Idham Aziz mampu menghadapi berbagai tantangan.

Keyakinan Sudirta terhadap sosok Kapolri baru pengganti Jenderal Polisi Tito Karnavian yang kini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, itu bukan saja terkait profil dari mantan kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dalam tugas.

Melainkan, kecakapan, janji keluarga (istri, anak) untuk bersikap independent, professional, dan tidak mencampuri peran, tugas, serta wewenang dari sosok Kapolri baru membuktikan bahwa kedepannya, Idham Aziz akan mampu bekerja tanpa intervensi dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

“Nah bagi kami meskipun paparan yang disampaikan keluarga (istri dan anak) terkesan umum dan normatif, namun kami menilai sudah bagus dan menjawab pertanyaan publik kenapa kok proses fit and proper test di Komisi III DPR RI saat itu berlangsung cepat.

Itu karena keluarga mampu  meyakinkan kami (DPR RI),”terang mantan anggota DPD RI Dapil Bali ini saat ditemui di sela pulang kampung ke Desa Pidpid, Abang, Karangasem, Bali untuk menggelar upacara otonan cucunya, Minggu (3/11).

Namun, meski dari paparan yang disampaikan keluarga sudah bagus, lawyer senior yang pernah menjadi pengacara dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini, memberikan sejumlah poin saran dan cacatan terhadap lulusan Akademi Polisi (Akpol) 1988 ini

Menurut Sudirta, selaku Kapolri baru, untuk menjawab problem kritik yang aktual, Idham Aziz selaku Kapolri baru semestinya  harus memberikan klarifikasi, langkah atau tindakan konkrit dalam bentuk program aksi, serta paparan yang sifatnya mikro.

“Sekali lagi paparannya bagus, terkesan umum, dan normatif itu biasa. Tapi kalau itu ditambahkan dengan paparan mikro, dengan menjawab problem kririk yang aktual, itu akan menjadi sempurna paparan itu,”tandas Sudirta.

Ada tiga poin penting  yang semestinya menurut Sudirta dipaparkan Kapolri baru.

Ketiga poin tantangan baru yang mendesak dan harus segera diselesaikan dan urgent bagi Kapolri baru itu, yakni soal penanggulangan isu terorisme dan radikalisme, data laporan Ombudsman RI, dan isu Police State (Negara polisi).

Menurutnya, terkait isu terorisme, polisi Indonesia sudah mendapat acungan jempol di dunia internasional.

“Kita harus jujur, diantara kritikan yang luar biasa, polisi telah berhasil mencitrakan dirinya sebagai jagoan memberantas terorisme. Dan itu harus diakui dan tidak ada masalah karena sudah bagus,”terang Sudirta.

Yang belum mendapat acungan jempol, kata Sudirta yakni ketika polisi menghadapi radikalisme.

Meski berpendapat tidak semua tindakan radikal buruk, namun Sudirta ingin menggarisbawahi bahwa perlawanan penting terhadap radikalisme, yakni khusus pada radikalisme yang berideologi dan ingin menggantikan NKRI dan Pancasila

“ Kapolri kan mengatakan, radikalisme itu jangan ditempelkan pada agama tertentu. Itu bisa dipahami pernyataan itu. Tapi radikalisme itu kan membawa ideologi yang ingin mengganti NKRI dan Pancasila walaupun tidak disematkan pada agama tertentu itu kan nyata-nyata ada,”imbuhnya.

Meski begitu,  Sudirta tidak ingin terjebak pada isu itu dan ingin tetap mengacu pada program aksi.

“ Apa program aksi Kapolri baru jangka pendek, menengah, dan panjang? Walaupun Pak Idham menjabat tidak sampai 2 tahun, namun program aksi ini harus tetap dibuat.

Setidaknya program jangka pendek harus bisa diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun.  Apa program aksinya? Ini yang harus  segera dibuat programnya, sehingga dengan program yang dibuat Kapolri baru bisa membuat suasana di masyarakat itu nyaman,”urainya.

Program Aksi Harus Konkrit, Terukur, dan Berdaya Guna

Lebih lanjut, pentingnya program aksi Kapolri baru, karena Sudirta menilai masyarakat di Bali dan masyarakat di Indonesia Timur pada umumnya masih merasa terancam.

“Sejujurnya karena data dan fakta menunjukkan ada bahwa kelompok-kelompok tertentu secara terbuka berani mengganti NKRI dan Pancasila dan sudah ada juga yang dibawa ke pengadilan. PTUN seperti Ormas yang dianggap merongrong Pancasila.

Tapi itu bukan satu-satunya kelompok. Nah inilah yang perlu ada program aksi yang konkrit, terukur, dan berdaya guna sehingga tidak terkesan membabi buta, dan main cap. Tapi sungguh-sungguh bekerja berdasarkan fakta dan penindakannya berdasarkan aturan.

Tidak ada sentimen kelompok, pribadi ataupun golongan, serta bisa diterima oleh masyarakat,”papar politisi yang juga menjabat sebagai anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini

Kedua, yakni soal data laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Sudirta menyebutkan, ada 1020 laporan aduan masyarakat terkait pelayanan publik bidang hukum ke lembaga ORI tahun 2018. Dimana dalam laporan tersebut, kepolisian menjadi lembaga penegak hukum paling banyak dilaporkan masyarakat terkait pelayanan publik seperti;

penanganan perkara yang berlarut-larut, penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan yang kompeten, dan penyalahgunaan wewenang.

“Contoh penyalahgunaan wewenang misalnya polisi tidak cukup bukti namun tetap melakukan penangkapan dan penahanan. Dicari buktinya belakangan karena ada saudaranya punya lawan perkara.

Jadi dia membela saudaranya dengan memaksakan dengan menggunakan baju polisi. Data-datanya dipaksakan dan dimanipulasi.

Misal yang jadi perhatian publik adalah kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK  Novel Bawesdan dan kasus (Novel) ini semestinya tidak boleh terulang dan bagaimana memberikan jaminan itu,”tegas dari Ketua Alumni Lemhanas Angkatan Gelombang 2 DPR RI Periode 2019-2024 ini.

Terakhir atau ketiga yang perlu aksi nyata dan jawaban,yakni isu Police State (Negara polisi).

“Ini kan ada isu yang mencuat  dan sempat mendapat respon publik.  Police state itu harusnya Kapolri baru menyampaikan klarifikasi, pandangan, dan langkah-langkah untuk menyikapi isu ini karena Indonesia ini adalah Negara hukum.

Tapi dikhawatirkan Negara hukum yang sudah disepakati dalam UUD sedang mengarah atau menuju ke era Negara polisi,”jelas mantan anggota Lembaga Pengkajian MPR RI ini

Meski dirinya sendiri tidak begitu yakin dengan mencuatnya isu itu, namun teradap  isu ini, pihaknya tetap menyarankan agar Kapolri baru memberikan jawaban, klarifikasi, termasuk langkah-langkah polisi untuk masyarakat sipil.

Nah peringatan ini hemat kami harus dimaknai secara positif, tidak usah marah-marah walaupun kita yakin kita masih berwajah Negara hukum bukan Negara polisi.

Tetapi kalau ada orang mengingatkan kita sedang mengarah, apa salahnya kita ambil maknanya agar kita kembali pada fitrah Indonesi adalah Negara hukum,”tukas Sudirta.

DENPASAR-Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali I Wayan Sudirta, SH yakin, dengan sederet rekam jejak, integritas, dan paparan program kerja saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI,

Kapolri baru Jenderal Polisi Idham Aziz mampu menghadapi berbagai tantangan.

Keyakinan Sudirta terhadap sosok Kapolri baru pengganti Jenderal Polisi Tito Karnavian yang kini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, itu bukan saja terkait profil dari mantan kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dalam tugas.

Melainkan, kecakapan, janji keluarga (istri, anak) untuk bersikap independent, professional, dan tidak mencampuri peran, tugas, serta wewenang dari sosok Kapolri baru membuktikan bahwa kedepannya, Idham Aziz akan mampu bekerja tanpa intervensi dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

“Nah bagi kami meskipun paparan yang disampaikan keluarga (istri dan anak) terkesan umum dan normatif, namun kami menilai sudah bagus dan menjawab pertanyaan publik kenapa kok proses fit and proper test di Komisi III DPR RI saat itu berlangsung cepat.

Itu karena keluarga mampu  meyakinkan kami (DPR RI),”terang mantan anggota DPD RI Dapil Bali ini saat ditemui di sela pulang kampung ke Desa Pidpid, Abang, Karangasem, Bali untuk menggelar upacara otonan cucunya, Minggu (3/11).

Namun, meski dari paparan yang disampaikan keluarga sudah bagus, lawyer senior yang pernah menjadi pengacara dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini, memberikan sejumlah poin saran dan cacatan terhadap lulusan Akademi Polisi (Akpol) 1988 ini

Menurut Sudirta, selaku Kapolri baru, untuk menjawab problem kritik yang aktual, Idham Aziz selaku Kapolri baru semestinya  harus memberikan klarifikasi, langkah atau tindakan konkrit dalam bentuk program aksi, serta paparan yang sifatnya mikro.

“Sekali lagi paparannya bagus, terkesan umum, dan normatif itu biasa. Tapi kalau itu ditambahkan dengan paparan mikro, dengan menjawab problem kririk yang aktual, itu akan menjadi sempurna paparan itu,”tandas Sudirta.

Ada tiga poin penting  yang semestinya menurut Sudirta dipaparkan Kapolri baru.

Ketiga poin tantangan baru yang mendesak dan harus segera diselesaikan dan urgent bagi Kapolri baru itu, yakni soal penanggulangan isu terorisme dan radikalisme, data laporan Ombudsman RI, dan isu Police State (Negara polisi).

Menurutnya, terkait isu terorisme, polisi Indonesia sudah mendapat acungan jempol di dunia internasional.

“Kita harus jujur, diantara kritikan yang luar biasa, polisi telah berhasil mencitrakan dirinya sebagai jagoan memberantas terorisme. Dan itu harus diakui dan tidak ada masalah karena sudah bagus,”terang Sudirta.

Yang belum mendapat acungan jempol, kata Sudirta yakni ketika polisi menghadapi radikalisme.

Meski berpendapat tidak semua tindakan radikal buruk, namun Sudirta ingin menggarisbawahi bahwa perlawanan penting terhadap radikalisme, yakni khusus pada radikalisme yang berideologi dan ingin menggantikan NKRI dan Pancasila

“ Kapolri kan mengatakan, radikalisme itu jangan ditempelkan pada agama tertentu. Itu bisa dipahami pernyataan itu. Tapi radikalisme itu kan membawa ideologi yang ingin mengganti NKRI dan Pancasila walaupun tidak disematkan pada agama tertentu itu kan nyata-nyata ada,”imbuhnya.

Meski begitu,  Sudirta tidak ingin terjebak pada isu itu dan ingin tetap mengacu pada program aksi.

“ Apa program aksi Kapolri baru jangka pendek, menengah, dan panjang? Walaupun Pak Idham menjabat tidak sampai 2 tahun, namun program aksi ini harus tetap dibuat.

Setidaknya program jangka pendek harus bisa diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun.  Apa program aksinya? Ini yang harus  segera dibuat programnya, sehingga dengan program yang dibuat Kapolri baru bisa membuat suasana di masyarakat itu nyaman,”urainya.

Program Aksi Harus Konkrit, Terukur, dan Berdaya Guna

Lebih lanjut, pentingnya program aksi Kapolri baru, karena Sudirta menilai masyarakat di Bali dan masyarakat di Indonesia Timur pada umumnya masih merasa terancam.

“Sejujurnya karena data dan fakta menunjukkan ada bahwa kelompok-kelompok tertentu secara terbuka berani mengganti NKRI dan Pancasila dan sudah ada juga yang dibawa ke pengadilan. PTUN seperti Ormas yang dianggap merongrong Pancasila.

Tapi itu bukan satu-satunya kelompok. Nah inilah yang perlu ada program aksi yang konkrit, terukur, dan berdaya guna sehingga tidak terkesan membabi buta, dan main cap. Tapi sungguh-sungguh bekerja berdasarkan fakta dan penindakannya berdasarkan aturan.

Tidak ada sentimen kelompok, pribadi ataupun golongan, serta bisa diterima oleh masyarakat,”papar politisi yang juga menjabat sebagai anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini

Kedua, yakni soal data laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Sudirta menyebutkan, ada 1020 laporan aduan masyarakat terkait pelayanan publik bidang hukum ke lembaga ORI tahun 2018. Dimana dalam laporan tersebut, kepolisian menjadi lembaga penegak hukum paling banyak dilaporkan masyarakat terkait pelayanan publik seperti;

penanganan perkara yang berlarut-larut, penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan yang kompeten, dan penyalahgunaan wewenang.

“Contoh penyalahgunaan wewenang misalnya polisi tidak cukup bukti namun tetap melakukan penangkapan dan penahanan. Dicari buktinya belakangan karena ada saudaranya punya lawan perkara.

Jadi dia membela saudaranya dengan memaksakan dengan menggunakan baju polisi. Data-datanya dipaksakan dan dimanipulasi.

Misal yang jadi perhatian publik adalah kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK  Novel Bawesdan dan kasus (Novel) ini semestinya tidak boleh terulang dan bagaimana memberikan jaminan itu,”tegas dari Ketua Alumni Lemhanas Angkatan Gelombang 2 DPR RI Periode 2019-2024 ini.

Terakhir atau ketiga yang perlu aksi nyata dan jawaban,yakni isu Police State (Negara polisi).

“Ini kan ada isu yang mencuat  dan sempat mendapat respon publik.  Police state itu harusnya Kapolri baru menyampaikan klarifikasi, pandangan, dan langkah-langkah untuk menyikapi isu ini karena Indonesia ini adalah Negara hukum.

Tapi dikhawatirkan Negara hukum yang sudah disepakati dalam UUD sedang mengarah atau menuju ke era Negara polisi,”jelas mantan anggota Lembaga Pengkajian MPR RI ini

Meski dirinya sendiri tidak begitu yakin dengan mencuatnya isu itu, namun teradap  isu ini, pihaknya tetap menyarankan agar Kapolri baru memberikan jawaban, klarifikasi, termasuk langkah-langkah polisi untuk masyarakat sipil.

Nah peringatan ini hemat kami harus dimaknai secara positif, tidak usah marah-marah walaupun kita yakin kita masih berwajah Negara hukum bukan Negara polisi.

Tetapi kalau ada orang mengingatkan kita sedang mengarah, apa salahnya kita ambil maknanya agar kita kembali pada fitrah Indonesi adalah Negara hukum,”tukas Sudirta.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/