Gajah lawan gajah. Babi gemuk yang kelimpungan. Ekspor Singapura turun drastis: 17 persen. Selama enam bulan pertama tahun ini. Itulah data terbaru sampai akhir Juni lalu.
Pertumbuhan ekonomi Singapura pun diramal hanya akan sekitar 1,5 persen. Pusing. Tapi itu biasa. Di dunia marketing gajah sama sekali tidak takut pada gajah.
Mereka tahu: dunia cukup lebar untuk menghidupi dua gajah. Contohnya: ketika Indomie bertempur lawan Mie Sedap tidak ada yang langsung kalah.
Pabrik mie kecil-kecil lah yang sempoyongan — terkena getaran bumi pertempuran. Begitulah hukum dunia marketing. Banyak kejadian seperti itu.
Sampai, kelak, salah satu dari gajah itu berdarah-darah. Ekspor Tiongkok ke Amerika sendiri tentu turun. Akibat perang dagang sejak setahun lalu itu.
Tapi hanya turun 4 persen. Dalam kurun Januari-Juni 2019. Kelihatannya itu sudah membuat Tiongkok seperti terkena tembakan Amerika. Betul.
Tiongkok tertembak jari tangannya. Tapi lihatlah data berikutnya: impor Tiongkok dari Amerika turun 30 persen! Jari yang tertembak, paha yang balas ditembak.
Luka di paha itu mengeluarkan darah kedelai, sorgum, jagung, dan daging babi. Bagi Tiongkok kehilangan utara masih ada timur.
Ekspornya ke Eropa naik 6 persen. Bahkan yang ke Inggris naik 12 persen. Dan, ehm, yang ke Asia Tenggara juga naik: 8 persen.
Mengapa dua gajah yang berkelahi tapi beberapa pelanduk yang kelimpungan? Itulah ekonomi global. Yang sudah sangat berbeda dengan zaman dulu.
Contohnya laki-laki satu ini. Namanya: chips. ‘Otak’-nya komputer atau HP. Amerika melarang ekspor chips ke Huawei. Apa hubungannya dengan pelanduk Singapura?
Mengapa bisa membuat ekspor Singapura turun? Chips itu memang milik Amerika. Tapi untuk bisa sampai ke pabrik HP Huawai di Shenzhen jalannya panjang.
Amerika hanya mendesain chips itu. Dirangkainya di Taiwan. Atau di Malaysia. Bisa juga di Korea Selatan. Bahan-bahannya didatangkan dari Jepang.
Setelah jadi chips dikirim ke Singapura. Untuk mendapat fasilitas macam-macam: kredit murah, pajak murah, dan bea masuk/keluar yang nol.
Barulah chips itu dikirim ke Shenzhen. Untuk Huawei. Jelaslah mengapa bukan impor chips yang turun drastis dari Amerika — tapi impor kedelai!
Kenapa jari tangan yang tertembak, paha lawan yang berdarah. Larangan presiden Donald Trump di bidang chips itu memukul sekaligus empat pelanduk: Taiwan, Jepang, Korsel dan Singapura.
Empat-empatnya sahabat baik Amerika. Tentu Tiongkok juga menderita — secara ramai-ramai. Bersama para tetangganya itu. Tiongkok lantas bisa menyembuhkan luka jarinya — belum tentu tetangganya itu.
Huawei sendiri bikin kejutan kecil-kecilan: mencari doktor-doktor yang baru lulus. Dengan tawaran gaji di atas UMP – Upah Miliaran Pertahun.
Diumumkan Kamis minggu lalu. Tawaran gaji paling rendah Rp 2 miliar/tahun. Paling tinggi Rp 4 miliar/tahun. Tergantung bidang teknologinya dan potensi ke depan si doktor baru itu.
Trump memang sudah mengizinkan kembali perusahaan chips Amerika jualan ke Huawei. Tapi Huawei akan mengajukan syarat: tidak bisa lagi diganggu pasokan chips itu.
Huawei justru menyiapkan sendiri chips baru bikinan grupnya sendiri. Lalu bagaimana perkembangan perang dagangnya?
Minggu depan perundingan itu dimulai lagi. Antara gajah Amerika dan gajah Tiongkok itu. Yang terhenti sejak Mei lalu. Tiongkok tidak mau lagi dilakukan di Beijing.
Lokasi perundingan itu di pindah ke Shanghai. Kali ini tidak ada lagi yang berharap banyak. Perundingan ulang itu tidak mungkin menghasilkan kesepakatan final. Masih agak jauh untuk ke sana.
Tiongkok justru mengajukan banyak syarat: tidak ada penurunan tarif impor bertahap. Amerika harus menurunkannya menjadi seperti dua tahun lalu.
Juga harus mencakup masalah teknologi. Dan terutama politik. Lebih terutama lagi Taiwan. Kalau toh ada yang masih berharap banyak tampaknya justru negara seperti Singapura.
Yang urat nadi ekonominya ada di kemampuan ekspornya. Tapi tidak apa-apa. Singapura sudah terlanjur kaya raya. Sakitnya kali ini hanya seperti terganggu flu ringan. Asal jangan keterusan menjadi flu nyamuk.(Dahlan Iskan)