33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:01 PM WIB

Makanan Alternatif Penderita Diabetes, Mampu Tumbuh di Lahan Kritis

Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara kini tengah mengembangkan tanaman sorgum. Tanaman itu sebenarnya sudah sempat

punah di Kabupaten Buleleng. Namun kini sedang berusaha dikembangkan kembali di Desa Tembok. Seperti apa?

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja

WARGA Buleleng sebenarnya cukup awam dengan sebutan tanaman sorgum. Warga lebih akrab dengan sebutan “jagung gembal”. Tanaman itu sebenarnya dapat disebut sebagai ikon Kabupaten Buleleng.

Terlebih lagi sorgum terlihat jelas pada patung Singa Ambara Raja yang notabene ikon Kabupaten Buleleng.

Tanaman sorgum itu baru dikembangkan sekitar tiga bulan lalu. Bibit tanaman itu dibeli secara online. Bibit kemudian disemai di lahan seluas 50 meter persegi.

Bibit kemudian dibiarkan tumbuh begitu saja, tanpa perlakuan yang memadai. Ternyata sorgum tumbuh dengan cukup baik.

“Sebenarnya itu hanya iseng saja. Karena kami baca, sorgum itu cocok dengan kondisi lahan seperti di Tembok ini. Kami beli bibit, ternyata berhasil.

Kami tanam asal saja, tidak ada nutrisi tambahan, air jarang, ternyata tumbuh. Malah sudah panen,” kata Yudi kemarin.

Yudi mengatakan, sorgum yang ditanam di lahan demplot, memiliki tingkat keberhasilan yang cukup baik.

Dengan kondisi perawatan yang minim, ternyata bibit yang berhasil tumbuh hingga panen mencapai 80 persen. Selain itu serangan hama juga sangat minim.

Hama yang perlu dikhawatirkan, hanya burung. Sayangnya Yudi mengaku belum tahu kemana arah pemasaran kedepan.

Ia masih berusaha mengolah sorgum yang telah berhasil dipanen di lahan demplot itu. Setelah berhasil diolah, rencananya ia akan mendorong petani mengembangkan sorgum sebagai produk alternatif.

“Kalau saya baca, proteinnya lebih bagus dari beras, jagung, bahkan singkong. Cocok sekali untuk pangan alternatif non beras. Buat penderita diabetes juga bagus sekali.

Cuma saya belum sempat mengolah. Kalau sudah jelas hasilnya, nanti kami akan dorong petani jagung di Tembok menanam sorgum,” jelasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarta yang dikonfirmasi terpisah mengakui bahwa sorgum dulunya menjadi tanaman ikonik di Buleleng.

Bahkan, bisa dibilang menjadi sumber pangan utama masyarakat, terutama di wilayah yang relatif kering dan tandus.

Biasanya sorgum yang dipanen akan dikeringkan terlebih dulu kemudian dijadikan tepung. Setelah itu baru diolah menjadi olahan pangan.

Sumiarta menyebut dulunya sorgum banyak ditemukan di Kecamatan Gerokgak. Hanya saja pada awal 1990-an masyarakat mulai beralih ke jagung hibrida.

Padahal proses budi daya sorgum sangat mudah, bahkan sangat tahan dari serangan hama dan penyakit.

“Dulu petani itu beralih ke jagung, karena permintaannya terus menurun. Selain itu pengolahannya juga rumit dan pasarnya terbatas. Tapi memang dulu itu memang ada banyak di Buleleng. Terutama di wilayah Gerokgak,” kata Sumiarta.

Seiring dengan pengembangan sorgum di Desa Tembok, Sumiarta mengaku akan segera menerjunkan tim ke Desa Tembok.

Sehingga bisa melakukan edukasi terkait proses budi daya. Terlebih potensi tanaman ini cukup besar.

“Kendalanya di Buleleng memang hanya masalah pembibitan saja. Kalau di luar negeri, sorgum itu olahan pangan yang punya nilai tinggi. Malah dipakai sebagai sumber energi alternatif,” demikian Sumiarta. (*)

 

 

Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara kini tengah mengembangkan tanaman sorgum. Tanaman itu sebenarnya sudah sempat

punah di Kabupaten Buleleng. Namun kini sedang berusaha dikembangkan kembali di Desa Tembok. Seperti apa?

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja

WARGA Buleleng sebenarnya cukup awam dengan sebutan tanaman sorgum. Warga lebih akrab dengan sebutan “jagung gembal”. Tanaman itu sebenarnya dapat disebut sebagai ikon Kabupaten Buleleng.

Terlebih lagi sorgum terlihat jelas pada patung Singa Ambara Raja yang notabene ikon Kabupaten Buleleng.

Tanaman sorgum itu baru dikembangkan sekitar tiga bulan lalu. Bibit tanaman itu dibeli secara online. Bibit kemudian disemai di lahan seluas 50 meter persegi.

Bibit kemudian dibiarkan tumbuh begitu saja, tanpa perlakuan yang memadai. Ternyata sorgum tumbuh dengan cukup baik.

“Sebenarnya itu hanya iseng saja. Karena kami baca, sorgum itu cocok dengan kondisi lahan seperti di Tembok ini. Kami beli bibit, ternyata berhasil.

Kami tanam asal saja, tidak ada nutrisi tambahan, air jarang, ternyata tumbuh. Malah sudah panen,” kata Yudi kemarin.

Yudi mengatakan, sorgum yang ditanam di lahan demplot, memiliki tingkat keberhasilan yang cukup baik.

Dengan kondisi perawatan yang minim, ternyata bibit yang berhasil tumbuh hingga panen mencapai 80 persen. Selain itu serangan hama juga sangat minim.

Hama yang perlu dikhawatirkan, hanya burung. Sayangnya Yudi mengaku belum tahu kemana arah pemasaran kedepan.

Ia masih berusaha mengolah sorgum yang telah berhasil dipanen di lahan demplot itu. Setelah berhasil diolah, rencananya ia akan mendorong petani mengembangkan sorgum sebagai produk alternatif.

“Kalau saya baca, proteinnya lebih bagus dari beras, jagung, bahkan singkong. Cocok sekali untuk pangan alternatif non beras. Buat penderita diabetes juga bagus sekali.

Cuma saya belum sempat mengolah. Kalau sudah jelas hasilnya, nanti kami akan dorong petani jagung di Tembok menanam sorgum,” jelasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarta yang dikonfirmasi terpisah mengakui bahwa sorgum dulunya menjadi tanaman ikonik di Buleleng.

Bahkan, bisa dibilang menjadi sumber pangan utama masyarakat, terutama di wilayah yang relatif kering dan tandus.

Biasanya sorgum yang dipanen akan dikeringkan terlebih dulu kemudian dijadikan tepung. Setelah itu baru diolah menjadi olahan pangan.

Sumiarta menyebut dulunya sorgum banyak ditemukan di Kecamatan Gerokgak. Hanya saja pada awal 1990-an masyarakat mulai beralih ke jagung hibrida.

Padahal proses budi daya sorgum sangat mudah, bahkan sangat tahan dari serangan hama dan penyakit.

“Dulu petani itu beralih ke jagung, karena permintaannya terus menurun. Selain itu pengolahannya juga rumit dan pasarnya terbatas. Tapi memang dulu itu memang ada banyak di Buleleng. Terutama di wilayah Gerokgak,” kata Sumiarta.

Seiring dengan pengembangan sorgum di Desa Tembok, Sumiarta mengaku akan segera menerjunkan tim ke Desa Tembok.

Sehingga bisa melakukan edukasi terkait proses budi daya. Terlebih potensi tanaman ini cukup besar.

“Kendalanya di Buleleng memang hanya masalah pembibitan saja. Kalau di luar negeri, sorgum itu olahan pangan yang punya nilai tinggi. Malah dipakai sebagai sumber energi alternatif,” demikian Sumiarta. (*)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/