Kendati belum ditemukan varietas jenis jeruk keprok, petani jeruk di Banjar Dinas Bingin, Desa Dencarik, Banjar, namun mereka dapat tersenyum ditengah pandemi Covid-19.
Pasalnya, jeruk keprok yang ditanam dengan metode organik menghasilkan buah jeruk yang nyaris sempurna dengan varietas jeruk Bondalem yang telah mengalami kepunahan.
JULIADI, Singaraja
BAGI seorang mantan pegawai Dinas Kehutanan Buleleng memang tak mudah menanam jeruk keprok, dengan metode pertanian organik.
Butuh waktu bertahun-bertahun lama untuk menghasilkan buah jeruk yang dapat diterima dipasar-pasar lokal di Bali.
Apalagi banyaknya persaingan buah jeruk keprok dari petani yang ada di Kintamani Bali. “Saya sudah 4 tahun mencoba bertani jeruk keprok dengan
perlakukan organik,” ucap Made Suweta, petani jeruk keprok asal Banjar Dinas Bingin, Desa Dencarik, Banjar, saat ditemui dilahan pertanian miliknya.
Bukan tanpa sebab menurut pria yang juga selaku Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Bali mengembangkan jeruk keprok dengan pertanian organik.
Lantaran tak pernah berhasil bertani dengan menanam berbagai jenis tanaman pertanian. Sehingga membuatnya harus beralih menanam jeruk keprok dengan metode pertanian organik.
Diceritakan Made Suweta, awalnya mulanya pada lahan 20 are miliknya yang kini ditanami jeruk telah beberapa kali mencoba mengembangkan pertanian dengan menanam berbagai jenis tanaman.
Mulai dari tanama jenis gingseng, klengkeng dan tumbuhan obat seperti mahkota bungan, mengkudu.
Namun, tak pernah berhasil, selain sulit pasar dan terbntur modal juga selalu tertipu oleh para investor yang ingin membeli hasil pertanian miliknya.
“Saya dipertanian sudah puluhan juta merugi. Sehingga tercetus ide untuk mencoba membangkit jeruk asal Buleleng dari Bondelem, Tejakula yang pernah menguasai pasar jeruk di Bali,” kata pria berusia 67 tahun ini.
Empat tahun yang lalu sangatlah susah mencari bibit jeruk Bondalem. Pas kebetulan berkunjung di Desa Temukus disalah satu kebun milik petani ada tanaman jeruk keprok Desa Bondalem.
Indukkannya dia coba tanam, kemudian menjadikan bibit. Disaat itu pula Made Suweta juga mengembangkan pembibita jeruk siam khas Kintamani.
“Kedua varietas jeruk keprok ini coba saya okulasi. Jadi indukkannya bibit jeruk keprok Bondalem, tetapi batang pohonya saya potong dengan memasukkan batang pohon jeruk siam Kintamani,” tutur Suweta.
Dalam prosesnya karena mengedankan pertanian metode organik. Mulai dari pemupukan hingga bagaimana membasni jamur dan hama daun batang tanaman jeruk.
Itu tidaklah mudah. Butuh perawatan yang memang ekstra keras dan dituntun keuletan. Karena kendala ketika bercocok tanam tanpa menggunakan obat kimia adalah disaat pohon diserang penyakit.
Namun, beruntung setelah bertahun-bertahun betani organik jeruk keprok yang ia tanam berhasil.
“Kalau buah jeruk keprok yang saya tanam buahnya 85 persen hampir mirip dengan buah jeruk keprok Bondalem.
Sedangkan dari sisi struktur pohon jeruk sangat berbeda dengan pohon jeruk lainnya. Pohon jeruk Bondalem lebih tinggi dibanding jeruk yang saya tanam,” ungkapnya.
Dia menambahkan ada beberapa hal keuntungan ketika menanam jeruk dengan pertanian organik. Yakni selain murah biaya produski sebab tanpa pupuk kimia.
Juga buah yang dihasilkan higienis dan tidak berbahaya. Jadi konsumen banyak yang mencari. “Dari 20 are lahan tanaman jeruk koprok yang saya belum ketahui variteas jenis apa atau saya
boleh menyebut buah Jeruk Dencarik, karena berada di Desa Carik ini. Mampu menghasilkan 4 ton buah jeruk dalam sekali panen setiap 7 bulan. Dengan pemasarannya buah jeruk ke daerah Denpasar,” terangnya.
Suweta berharap Dinas Petanian Buleleng untuk melirik tanaman jeruk keprok yang ia tanaman dengan metode pertanian organik.
Agar dapat menguji varietas jenis jeruknya. Kalau ini memang dinyatakan vaietas baru, bukan varietas jeruk Bondalem, jeruk siam kintamani, dan variteas jeruk lainnya.
“Agar kami dapat kembangkan jeruk ini dan dapat memberikan nama hak paten. Dengan pola tanam organik,” pungkasnya.