Diskusi bertema Ngarumrum Tembang Bali bersama Prof Made Bandem digelar di hotel Titik Dua, Jalan Raya Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar, Selasa malam (10/11).
Saat diskusi, Prof Bandem menampilkan performa seniman Luh Putu Indra Saskari. Prof Bandem yang jadi pembicara juga tampil bersama sang istri, Suasthi Bandem.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
LANTUNAN suara merdu yang ditampilkan seniman Luh Putu Indra Saskari menjadi pembuka di acara Ngarumrum Tembang Bali pada Selasa malam.
Peserta yang terdiri dari beragam komunitas, di antaranya juga ada warga asing. Peserta dan pengisi acara duduk lesehan di salah satu sudut ruang hotel Titik Dua, di Jalan Raya Mas, Kecamatan Ubud.
Giliran Prof Made Bandem duduk menghadap para peserta. “Tembang tadi namanya Semarandana,” ujar Bandem.
Berbekal buku catatan, ahli seni itu membeberkan tembang di Bali ada 4 golongan. Di antaranya, Tembang Ageng; Kidung; Macepat atau Sekar Alit; dan Sekar Rare.
“Masing-masing punya ciri. Punya aspek beda. Punya lirik beda. Sehingga Bali cukup kaya dengan jenis ini,” jelasnya.
Bandem yang berasal dari Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati itu juga memapaparkan perkembangan tembang terus berubah-ubah seiring perkembangan zaman.
Bahkan, per era kerajaan punya gaya tersendiri. “Pertama ada tema kepahlawanan. Pada cerita Ramayana, masuk Indonesia abad sembilan. Dengan adanya kakawin Ramayana dan Mahabharata. Terjadi perkembangan di era kerajaan,” bebernya.
Kemudian, saat zaman Majapahit, kakawin ini ditransformasikan menjadi kidung. “Tema centralnya berubah. Kidung menjadi tema roman berkembang di Jawa Timur,” terangnya.
Kemudian, di Bali, kesenian berkembang di era Raja Dalem Waturenggong. “Lalu tiba Dang Hyang Nirartha, banyak mengarang kidung,” jelasnya.
Bali kemudian mengalami banyak perkembangan seni tembang. “Di Bali jadi Tembang Macapat. Sastranya juga berubah. Lagu rakyat berupa Sekar Rare,” jelasnya lagi.
Disela diskusi, Bandem juga membahas mengenai gamelan, nada gamelan. Bahkan, tembang juga masuk dalam mantra Hindu di Bali. Yakni pada mantra Trisandya dan juga mantra Panca Sembah.
Bandem yang lahir pada 22 Juni 1945 itu juga mengulas mengenai kakawin yang berisi pakem guru lagu. Bandem juga mencontohkan salah satu bait kidung.
Namun, pada era moderen ini, banyak anak muda yang dianggap melabrak nada pada kidung.
“Anak-anak sekarang guru lagu dilabrak. Yang penting mengerti. Diakibatkan kakawin ini digunakan seni pertunjukan,” jelasnya.
Selanjutnya, kidung memiliki nada lebih panjang. Bahkan, ada perubahan bahasa. “Bahasa Kawi jadi bahasa Jawa Tengahan. Ada suara miring dalam kidung ini. Kidung lebih bebas,” ungkapnya.
Selanjutnya, ada Macapat, ada sinom. “Ada semarandana dan banyak lagi, ada 20 jenis,” terangnya lagi.
Bandem yang tampil bersama sang istri juga mempertunjukkan cara menarikan tembang Janger. Ada ekspresi, posisi badan, goyangan kepala, posisi kaki.
Tidak itu saja, penampilan penari harus mampu mengontrol energi. Termasuk mampu menampilkan transisi antar gerakan.
Di pengujung diskusi, Bandem yang pernah belajar seni di beberapa universitas luar negeri itu mengajak para peserta menarikan kecak.
Para peserta duduk bersila membentuk lingkaran. Kemudian memeragakan gerakan tangan dan suara yang dikeluarkan.
Peserta yang melingkar dibagi menjadi tiga paduan suara. Ada yang teriak cak lima kali, ada cak tiga kali.
Tak perlu waktu lama, koreo tari kecak ditampilkan dengan apik itu sekaligus menutup diskusi yang juga ditemani hujan lebat itu. (*)