SINGARAJA – Konflik tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan, tampaknya, belum ada titik temu.
Paruman desa yang digelar kemarin di Pura Bale Agung Desa Adat Kubutambahan belum menghasilkan keputusan yang memuaskan banyak phak.
Berdasar informasi yang dihimpun awak media, paruman yang dijaga pecalang dan satu peleton personil Satuan Sabhara Polres Buleleng justru sempat memanas.
Terutama saat membahas status aset tanah duwen Pura Bale Agung Kubutambahan. Buntutnya, dua orang krama desa linggih memilih walk out dari paruman.
Mereka adalah Ngurah Mahkota dan Gede Sumenasa. Gede Sumenasa yang ditemui wartawan mengatakan dirinya akan tetap menolak pertanggungjawaban yang disampaikan oleh Pengulu Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea.
Ia mengaku kecewa karena hanya krama desa linggih saja yang diizinkan mengikuti paruman.
Padahal, ada pihak lain yang juga berhak mengikuti paruman, yakni krama desa latan dan krama desa sampingan.
Sumenasa menyebut, pangkal permasalahan adalah perjanjian Desa Adat Kubutambahan dengan PT. Pinang Propertindo yang mengontrak lahan seluas 370 hektare milik duwen Pura Bale Agung Kubutambahan.
Ia menyebut lahan dikontrakkan hingga waktu yang tidak terbatas. Ia pun baru mendapat salinan perjanjian itu setelah pertemuan
pembahasan lokasi bandara baru di Bali Utara, dengan Gubernur Bali Wayan Koster pada tahun 2020 lalu.
“Ini puncak permasalahan adat yang ada sekarang. Kami punya tanggungjawab moral menyelamatkan aset adat seluas 370 hektare. Malah ada 64 hektare yang akan
dilelang atau disita. Jelas, kami merasa keberatan. Perjanjian dengan PT. Pinang ini pun kami terima dari pak gubernur. Saya minta lewat tujuh kali paruman, tidak diberikan,” kata Sumenasa.