MUNARMAN ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 atas dugaan menggerakkan pelaku teror. Meski belum dibuktikan di pengadilan, dugaan awal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, ada keterkaitan antara pelaku teror dengan agama.
Kita berharap tak ada lagi pernyataan dari elite politik yang menyatakan hal yang sebaliknya. Salah satu masalah terbesar dari perang terhadap teror dan praktek intoleransi adalah penyangkalan terhadap sumber masalah.
Kalangan terdidik paham bahwa solusi atau rekomendasi terhadap suatu masalah dimulai dari menemukan dan mengakui adanya sebuah permasalahan. Bahwa pengakuan terhadap masalah adalah bagian dari pencarian solusi.
Tindakan menyangkal teror sebagai sebuah bentuk kekerasan berbasis agama, tak hanya menafikan kerja pemerintah, tapi juga kontra produktif terhadap usaha memerangi radikalisme bertahun-tahun.
Setidaknya, pernyataan bahwa teror tak terkait dengan agama tertentu, atau pelakunya tak beragama, itu kontraproduktif terhadap tiga hal: administrasi kependudukan, perang terhadap intoleransi, dan program deradikalisasi.
Pertama, soal administratif. Pada 2014, Ma’ruf Amin, ketika itu Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), menolak penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Menurutnya, pengosongan kolom agama pada KTP hanya akan menimbulkan permasalahan. Artinya, berdasarkan UU No 24/2013
tentang administrasi kependudukan, tak ada penduduk Indonesia yang tak beragama. Demikian pula dengan pelaku teror, secara administratif, mereka beragama.
Kedua, perang terhadap intoleransi. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), diikuti kemudian pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
adalah bentuk ketegasan negara terhadap semakin maraknya perilaku intoleransi dan kekerasan berbasis SARA, baik di dunia maya maupun di lapangan.
Saat itu, Presiden Jokowi tegas menyatakan bahwa negara tak boleh kalah (terhadap pelaku intoleransi).
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam kata pengantarnya di buku Pancasila vs Khilafah (2019) menyatakan keresahan ini, tulisnya,
“Berbagai lembaga riset menemukan, kisaran 18-20 persen dari masyarakat kita, sejak pelajar, mahasiswa, kaum professional hingga Aparatur Sipil Negara (ASN) menolak Pancasila.
Atas nama iman kepada agama, 20 persen masyarakat kita lebih memilih Islam sebagai dasar negara, daripada Pancasila.”
November 2019, Setara Institute mencatat 12 tahun terakhir terjadi 2.400 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pada era Jokowi (November 2014 – Oktober 2019) setidaknya hal ini terjadi 846 kali, dengan 1.060 tindakan intoleransi.
Berbagai data telah dilansir selama bertahun-tahun mengenai semakin maraknya praktik intoleransi sejak eforia reformasi 1998 lalu.
Praktik intoleransi tak hanya meresahkan karena penolakannya terhadap ideologi negara, tapi juga karena praktek kekerasan yang menyertai pemikiran tersebut.
Kekerasan (termasuk diskriminasi) terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain dalam berbagai bentuknya mendapatkan pembenaran. Pelaku intoleransi adalah pemeluk agama, demikian pula korban-korbannya.
Ketiga, program deradikalisasi. Pada pertemuan KTT G-20 di Hamburg, Jerman, 7 Juli 2017, Jokowi mengatakan bahwa program deradikalisasi berhasil dengan bukti hanya 3 dari 560 mantan teroris (0,53%) ingin kembali melakukan aksinya.
Program ini dikuatkan lagi dalam Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2019, tentang Tindak Pencegahan Teorisme yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pasal 49 PP 77/2019 menyebutkan bahwa pembinaan wawasan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 huruf a
dapat berupa: toleransi beragama; harmoni sosial dalam rangka kesatuan dan persatuan nasional; dan/atau kerukunan umat beragama.
Penyebutan toleransi beragama dan kerukunan umat beragama bukan berarti bahwa pelaku terorisme tak beragama,
melainkan pemeluk agama yang meyakini jalan kekerasan terhadap kelompok agama lainnya adalah sah untuk dilakukan.
Mengutip Mahfud MD, “Teror itu karena paham jihadis, paham jihad yang salah.” Hal ini dapat juga dilihat dari pernyataan Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar,
yang mengatakan bahwa setidaknya 1.250 orang Indonesia berangkat ke Irak untuk bergabung dengan ISIS, dan 2.000 orang Indonesia terlibat terorisme.
Sejarah Panjang
Kekerasan berbasis agama mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Tahun 1949 Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menyatakan perang terhadap Republik Indonesia.
Mulai dari Kahar Muzakar, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, hingga Daud Beureuh di Aceh. Aksi Bom Gereja di Makassar, Minggu (28/3/2021),
dan penyerangan Zakhia Aini di Mabes Polri, Rabu (31/3/2021) hanya merupakan salah satu dari rangkaian panjang aksi terorisme, sekaligus intoleransi, di Indonesia.
Setidaknya teror dilakukan kepada 3 (tiga) sasaran: Orang asing, Aparat Negara, dan Rumah Ibadah. Sasaran terbanyak adalah kepada umat Nasrani, cenderung merata di seluruh wilayah Indonesia.
Orang asing misalnya pada Bom Bali dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Aparat Negara pada Masjid Az-Dzikra Mapolresta Cirebon dan Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur.
Umat Nasrani datanya terbentang panjang dari 1967 hingga 2021. Data ini di luar kasus: pembajakan pesawat Garuda 206 Jakarta – Medan, 28 Maret 1981, oleh Abu Sofyan dkk.;
Bom Borobudur, 21 Januari 1985; serta kerusuhan berdarah lainnya seperti Mako Brimob, Depok, Mei 2018.
Dan tentu saja data-data ini di luar dari kasus kekerasan berbasis agama yang dikategorikan sebagai intoleransi, bukan tindak terorisme, seperti Peristiwa Ahmadiyah Cikeusik, Syiah Sampang, Pembakaran Vihara dan Klenteng di Medan, dll.
Jadi, di luar tindak terorisme, ada perilaku intoleran yang juga memakan korban jiwa dan harta. Semangatnya sama, teror terhadap pemeluk agama dan kepercayaan.
Bedanya, intoleransi hanya menyerang pemeluk agama, tak seperti tindak terorisme yang menjadikan aparat dan orang asing sebagai target sasarannya.
Pelajaran dari Spanyol
Metode perjuangan dengan aksi bunuh diri ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada 8 Desember 1944 Jepang membentuk kesatuan bernama Jibakutai yang berarti menyerang dengan menabrakkan diri dengan dipersenjatai alat peledak.
Pasca Proklamasi Agustus 1945, kesatuan ini berubah nama menjadi Barisan Berani Mati (BBM) yang beraksi dalam kelompok kecil.
Pada pertempuran 10 November 1945, kendaraan lapis baja musuh dihancurkan dengan cara kamikaze seperti ini.
Bibit tindakan bom bunuh diri di Indonesia sudah ada, jauh sebelum para pelaku teror mereplikasi tindakan bom bunuh diri dari luar negeri.
Hanya saja, jika Jibaku menjadikan serdadu penjajah dalam kondisi perang sebagai target, maka terorisme di Indonesia menjadikan sipil dalam kondisi damai sebagai targetnya.
Mengenai target sipil dalam kondisi damai, kita bisa belajar dari ETA (Euskadi Ta Askatasuna), kelompok separatis Basque, yang terkenal dengan aksi teror mereka sejak 18 Juli 1961.
ETA yang semula mendapat banyak dukungan karena terus menerus menargetkan Jenderal Franco dan para pendukungnya, maka pada peristiwa bom di Supermarket Hipercor di Barcelona, 19 Juni 1987, justru menjadi titik balik.
Sebanyak 21 orang sipil, termasuk wanita dan anak-anak meninggal, bersama dengan 45 orang korban luka.
Kemarahan masyarakat terekam dalam berbagai media kala itu, termasuk kemarahan dari masyarakat Basque sendiri.
Tak ada pembenaran, pemakluman, juga penyangkalan. Sejak saat itu, tanpa dukungan publik, tanpa dukungan dana dan politik, gerakan teror ETA menyusut hingga ke titik nadirnya.
Di Indonesia masih banyak pihak yang tak secara langsung bersimpati dengan gerakan teror dan intoleransi berbasis agama, yakni dengan memberi permakluman terhadap tindakan mereka.
Pemakluman diperkuat jika ada otoritas yang menyangkal bahwa tafsir agama memang bisa mengarah pada tindak kekerasan dan terorisme. Bagaimana seharusnya?
Jauh sebelum bibit tindakan bom bunuh diri bersemi, bibit gotong royong dan tenggang rasa lebih dulu hadir di masyarakat kita.
Masyarakat yang beraneka ragam budaya dan bahasa tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ada pesan penerimaan dan hidup bersama dalam multikultur, co-existence.
Jika multikulturalisme adalah asli Indonesia, maka intoleransi adalah sesuatu yang baru, didatangkan dan diajarkan dengan tujuan tertentu.
Sebagaimana multikulturalisme, fobia terhadap agama lain dapat merupakan produk sosial budaya: konstruksi media, lembaga sosial, dan institusi pendidikan.
Oleh karena itu, mengembalikan budaya multikultur -keadaan ketika masyarakat bisa menerima nilai-nilai dari pemeluk agama, budaya, dan etnis lain
bisa dimulai dengan membersihkan institusi pendidikan, lembaga sosial, dan media dari unsur intoleran, termasuk tak memberi ruang dan panggung bagi mereka. (*)
Joaquim Rohi
Magister Ilmu Politik RUDN Univesity, Moscow.
Member IRYA (Indonesian – Russian Youth Association).