Warning: Undefined variable $reporternya in /var/www/devwpradar/wp-content/themes/Newspaper/functions.php on line 229
28.4 C
Jakarta
23 Juli 2024, 0:32 AM WIB

Garam Bali Potensi Ekspor, Tapi Petani Mengeluh Terbentur Aturan

BULELENG – Bali memiliki pesisir yang berpotensi menghasilkan banyak garam. Maka tak heran, beberapa daerah di Bali, banyak warga yang menjadi petani garam. Salah satunya di Desa Tejakula, Buleleng.

 

Potensi untuk mengekspor garam pun tinggi. Namun sayangnya, garam yang begitu termasyur karena berkualitas wahid di dunia malah terbentur regulasi di negara sendiri. 

 

Hal tersebut diakui oleh produsen garam, Made Wijana yang mengaku selama ini pemasaran garam khas Tejakula tersebut terbentur regulasi yang mengharuskan garam yang beredar punya kadar yodium minimal 40 ppm.

 

“Sedangkan untuk pasar luar justru tidak menghendaki demikian, karena yang disukai garam dengan rasa lebih alami. Para chef pun lebih suka garam kita, karena lebih mudah mengatur kadar rasanya dalam masakan,” kata Wijana pada Senin (5/4).

 

Wijana juga menuturkan, sebelum menembus pasar tradisional garam produksi petani lokal dihargai sangat rendah terlebih adanya aturan garam beryodium.

 

Dengan adanya upaya untuk ekspor, petani kini cukup menikmati hasil dari jerih payahnya. “Kita inginnya memberdayakan petani lokal, sayangnya lagi-lagi untuk pasar lokal terbentur regulasi. Padahal kita inginnya diedarkan juga untuk pasar lokal,” harap Wijana.

 

Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Buleleng, disebutkan bahwa garam istimewa ini hanya ditemukan di Buleleng. Teknik produksinya pun berbeda dengan produksi garam lainnya.

 

Tidak seperti garam pada umumnya yang menggunakan petak tambak. Teknik spesial ini disebut dengan teknik “palungan” yang menggunakan kayu kelapa.

 

Proses produksinya yaitu dengan meratakan tanah yang dicampur air laut menggunakan tulud di tambak garamnya. Setelah mengering, lapisan permukaan tanah bagian atas dikeruk dan dinaikkan ke atas alat bernama tinjung.

 

Air yang menetes dari dalam tinjung selanjutnya dijemur di dalam palung hingga garam mengkristal dan menghasilkan bentuk seperti piramid.

Belakangan, teknik tersebut dimodifikasi dengan teknologi green house atau rumah kaca. Caranya dengan melarutkan garam palungan yang sudah jadi dengan air tawar.

 

Lalu larutan garam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam green house atau rumah kaca untuk proses pengeringan. Jika cuaca cerah, dalam rentang 2-3 hari, garam piramid sudah bisa di panen. Atau bisa berlangsung hingga 1 bulan jika cuaca tidak mendukung.

 

Dikarenakan proses pembuatannya yang sangat alami, maka garam piramid ini memang tidak mengandung bahan pemutih, pengawet, atau bahan kimia lainnya.

BULELENG – Bali memiliki pesisir yang berpotensi menghasilkan banyak garam. Maka tak heran, beberapa daerah di Bali, banyak warga yang menjadi petani garam. Salah satunya di Desa Tejakula, Buleleng.

 

Potensi untuk mengekspor garam pun tinggi. Namun sayangnya, garam yang begitu termasyur karena berkualitas wahid di dunia malah terbentur regulasi di negara sendiri. 

 

Hal tersebut diakui oleh produsen garam, Made Wijana yang mengaku selama ini pemasaran garam khas Tejakula tersebut terbentur regulasi yang mengharuskan garam yang beredar punya kadar yodium minimal 40 ppm.

 

“Sedangkan untuk pasar luar justru tidak menghendaki demikian, karena yang disukai garam dengan rasa lebih alami. Para chef pun lebih suka garam kita, karena lebih mudah mengatur kadar rasanya dalam masakan,” kata Wijana pada Senin (5/4).

 

Wijana juga menuturkan, sebelum menembus pasar tradisional garam produksi petani lokal dihargai sangat rendah terlebih adanya aturan garam beryodium.

 

Dengan adanya upaya untuk ekspor, petani kini cukup menikmati hasil dari jerih payahnya. “Kita inginnya memberdayakan petani lokal, sayangnya lagi-lagi untuk pasar lokal terbentur regulasi. Padahal kita inginnya diedarkan juga untuk pasar lokal,” harap Wijana.

 

Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Buleleng, disebutkan bahwa garam istimewa ini hanya ditemukan di Buleleng. Teknik produksinya pun berbeda dengan produksi garam lainnya.

 

Tidak seperti garam pada umumnya yang menggunakan petak tambak. Teknik spesial ini disebut dengan teknik “palungan” yang menggunakan kayu kelapa.

 

Proses produksinya yaitu dengan meratakan tanah yang dicampur air laut menggunakan tulud di tambak garamnya. Setelah mengering, lapisan permukaan tanah bagian atas dikeruk dan dinaikkan ke atas alat bernama tinjung.

 

Air yang menetes dari dalam tinjung selanjutnya dijemur di dalam palung hingga garam mengkristal dan menghasilkan bentuk seperti piramid.

Belakangan, teknik tersebut dimodifikasi dengan teknologi green house atau rumah kaca. Caranya dengan melarutkan garam palungan yang sudah jadi dengan air tawar.

 

Lalu larutan garam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam green house atau rumah kaca untuk proses pengeringan. Jika cuaca cerah, dalam rentang 2-3 hari, garam piramid sudah bisa di panen. Atau bisa berlangsung hingga 1 bulan jika cuaca tidak mendukung.

 

Dikarenakan proses pembuatannya yang sangat alami, maka garam piramid ini memang tidak mengandung bahan pemutih, pengawet, atau bahan kimia lainnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/