29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:07 AM WIB

Jenuh dan Stres, Pengungsi di Luar Radius 6 Km Akhirnya Pulang Kampung

GIANYAR – Kabar mengenai penurunan radius bahaya Gunung Agung disambut gembira para pengungsi. Seperti di posko Sutasoma, Kecamatan Sukawati Gianyar.

Pengungsi mulai pulang ke tempat asal mereka sedikit demi sedikit. Pengungsi berharap situasi gunung bisa kembali normal.

Salah satu pengungsi, Ni Wayan Leni warga dari Jungutan, Kecamatan Bebandem Karangasem, mengaku sudah jenuh berada di pengungsian.

“Saya juga mau pulang, karena jenuh di sini. Kasihan anak-anak juga,” ujar Leni sambil mengerjakan pesanan kerajinan ate untuk tempat tisu di posko Sutasoma kemarin (5/1).

Menurut dia, rumahnya berada di luar radius 6 KM, sehingga tidak terdampak letusan gunung Agung.

 “Makanya nanti kalau datang pak Agung (Anak Agung Oka Digjaya, Kepala BPBD Gianyar, red), saya mau bilang mau pulang,” ujar Leni.

Diakui Leni, selama berada di pengungsian yang menjadi kekhawatiran adalah perkembangan mental anak-anak pengungsi.

“Saya punya anak kelas 1 SD. Kasihan dia harus adaptasi sekolah di sekolah baru Karangasem, langsung ada kabar gunung mau meletus, akhirnya saya mengungsi,” jelasnya.

Di awal Januari ini, siswa pun kembali sekolah. “Anak saya baru dua hari sekolah di SD di Sukawati (Gianyar, red). Lagi dia adaptasi, kasihan dia. Anak-anak beda dengan orang dewasa,” jelasnya.

Leni ini sudah dua kali mengungsi ke posko Sutasoma. “Waktu kabar letusan pertama, saya hanya bawa dua baju.

Anak yang kasihan. Lalu saya balik, lalu ada letusan lagi, akhirnya saya siapkan semua barang sampai kerajinan saya bawa,” ungkap perajin ate itu.

Dikatakan Leni, apabila dia tidak kasihan dengan anak, lebih baik tinggal di Karangasem saja. “Karena kondisi gunung tidak langsung meletus, hanya begitu-begitu saja. Ya, mudah-mudahan sih tidak meletus keras lagi,” ungkapnya.

Selama di pengungsian, Leni sendiri mengerjakan pesanan kerajinan ate (rantin rotan) berupa tempat tisu.

“Ini ada yang pesan, harganya Rp 100 ribu. Ini termasuk murah karena saya kerjakan sampai 4 hari,” ujarnya.

Pengungsi lainnya, sambung Leni, mengerjakan kerajinan keben untuk tempat banten. Ada juga nenek-nenek yang membuat sarana canang sari.

 “Kalau nenek ini buat canang untuk kebutuhan mebanten para pengungsi, kasihan biar ada kegiatan,” tukasnya.

GIANYAR – Kabar mengenai penurunan radius bahaya Gunung Agung disambut gembira para pengungsi. Seperti di posko Sutasoma, Kecamatan Sukawati Gianyar.

Pengungsi mulai pulang ke tempat asal mereka sedikit demi sedikit. Pengungsi berharap situasi gunung bisa kembali normal.

Salah satu pengungsi, Ni Wayan Leni warga dari Jungutan, Kecamatan Bebandem Karangasem, mengaku sudah jenuh berada di pengungsian.

“Saya juga mau pulang, karena jenuh di sini. Kasihan anak-anak juga,” ujar Leni sambil mengerjakan pesanan kerajinan ate untuk tempat tisu di posko Sutasoma kemarin (5/1).

Menurut dia, rumahnya berada di luar radius 6 KM, sehingga tidak terdampak letusan gunung Agung.

 “Makanya nanti kalau datang pak Agung (Anak Agung Oka Digjaya, Kepala BPBD Gianyar, red), saya mau bilang mau pulang,” ujar Leni.

Diakui Leni, selama berada di pengungsian yang menjadi kekhawatiran adalah perkembangan mental anak-anak pengungsi.

“Saya punya anak kelas 1 SD. Kasihan dia harus adaptasi sekolah di sekolah baru Karangasem, langsung ada kabar gunung mau meletus, akhirnya saya mengungsi,” jelasnya.

Di awal Januari ini, siswa pun kembali sekolah. “Anak saya baru dua hari sekolah di SD di Sukawati (Gianyar, red). Lagi dia adaptasi, kasihan dia. Anak-anak beda dengan orang dewasa,” jelasnya.

Leni ini sudah dua kali mengungsi ke posko Sutasoma. “Waktu kabar letusan pertama, saya hanya bawa dua baju.

Anak yang kasihan. Lalu saya balik, lalu ada letusan lagi, akhirnya saya siapkan semua barang sampai kerajinan saya bawa,” ungkap perajin ate itu.

Dikatakan Leni, apabila dia tidak kasihan dengan anak, lebih baik tinggal di Karangasem saja. “Karena kondisi gunung tidak langsung meletus, hanya begitu-begitu saja. Ya, mudah-mudahan sih tidak meletus keras lagi,” ungkapnya.

Selama di pengungsian, Leni sendiri mengerjakan pesanan kerajinan ate (rantin rotan) berupa tempat tisu.

“Ini ada yang pesan, harganya Rp 100 ribu. Ini termasuk murah karena saya kerjakan sampai 4 hari,” ujarnya.

Pengungsi lainnya, sambung Leni, mengerjakan kerajinan keben untuk tempat banten. Ada juga nenek-nenek yang membuat sarana canang sari.

 “Kalau nenek ini buat canang untuk kebutuhan mebanten para pengungsi, kasihan biar ada kegiatan,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/