28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:30 AM WIB

Soal Tempat Sampah di Bhuana Giri,Pemkab Karangasem Kurang Sosialisasi

AMLAPURA – Gelombang penolakan masih terus dilakukan oleh warga Desa Adat Komala dan Tengal Bengkak terkait rencana pembangunan tempat pengolahan sampah (TPS) di Banjar Dinas Butus, Desa Bhuana Giri.

 

Karena hingga saat ini pemahaman masyarakat terkait pembangunan TPS oleh PT Graha Guna Karya merupakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) seperti yang ada saat ini di Banjar Dinas Butus.


Bukan tanpa alasan penolakan tersebut dilakukan. Masyarakat setempat trauma dengan adanya keberadaan TPA yang dibangun oleh Pemkab Karangasem tidak terurus dengan baik. Bahkan warga Banjar Dinas Butus pun mengeluhkan bau sampah yang sangat mengganggu.

 

“Kami juga memerlukan sosialisasi akan seperti apa bentuk pembangunan TPS ini dan sebagainya,” salah seorang warga Desa Adat Komala, I Kadek Kari ditemui di TPA Butus, Desa Bhuana Giri, Selasa (6/7).


Kurangnya sosialisasi oleh Pemkab Karangasem dan investor itu lanjut dia menimbulkan persepsi miring masyarakat. Sehingga warga desa adat Komala pun menolak terhadap rencana TPS berbasis solid recovered fuel (SRF).

 

“Itu (sosialisasi) yang masih dirasa kurang sehingga terjadi miss komunikasi. Ada yang beranggapan TPA dan TPS sehingga ada bahasa penolakan. Perlu ditingkatkan sosialisasinya. Karena Desa Adat Komala dalam hal ini menjadi penyanding yang lokasinya berbatasan langsung dengan rencana proyek ini,” terangya.

Diakui, sosialisasi rencana proyek dengan nilai investasi Rp67 miliar tersebut pernah dilakukan. Sepengetahuan Kari, sosialisasi dilakukan baru tiga kali. Pertama sosialisasi awal di Desa Adat Komala yang menjadi lokasi awal proyek, sosialisasi dilakukan di Wantilan Kantor Bupati dan sosialisasi ketiga dilakukan di Banjar Dinas Butus yang saat ini dipilih sebagai lokasi proyek dengan memafaatkan tanah warga yang rencananya dibeli oleh investor seluas 1,6 hektar (sebelumnya ditulis 1,5 hektar).

 

“Sudah pernah dilakukan sosialisasi tapi belum mencakup semua lapisan masyarakat sehingga timbul pemahaman yang kurang,” kata Kari.

Dia juga meminta ada jaminan untuk masyarakat berupa perjanjian tertulis. Kekhawatiran masyarakat desa adat Komala sebagai penyanding, ketika proyek ini tidak sesuai dengan apa yang telah disosialisasikan, maka masyarakat bisa menuntut dan mengambil langkah.

 

“Jadi ketika nanti dalam perjalanannya ada masalah, masyarakat bisa mengambil langkah apa yang ditempuh,” tandasnya.

Terkait hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karangasem, I Gede Ngurah Yudiantara kembali menegaskan bahwa proyek ini bukan TPA seperti saat ini tapi pengolahan sampah menjadi energi lewat teknologi SRF. Karena persoalan sampah sudah menjadi masalah krusial yang cukup lama, sementara Pemkab Karangasem tidak memiliki solusi terbaik dalam penanganan sampah khususnya di TPA.

 

“Masyarakat Butus sudah ribut soal keberadaan sampah ini. Karena SRF ini adalah solusi yang paling baik makanya kami mendukung untuk bisa menyelesaikan masalah sampah yang ada,” kata Yudiantara ditemui di TPA Butus saat kunjungan bersama DPRD Karangasem.


Bahkan pihaknya mengklaim, masyarakat Butus yang menjadi lokasi proyek dan warga yang menjadi penyanding sebagian besar menyetujui proyek SRF ini. Mengingat masyarakat sangat diuntungkan dengan hilangnya sampah tersebut.

 

“Nanti di awal, sampah di TPA Linggasana dan Besang terlebih dahulu diolah. Setelah itu baru yang di TPA Butus,” jelasnya.

Disinggung tudingan masyarakat yang menganggap Pemkab Karangasem dan investor minim sosialsasi kepada masyarakat, Yudiantara mengatakan bahwa warga desa adat Komala menolak adanya TPA bukan proyek pengolahan berbasis SRF ini.

 

“Dari awal kami sampaikan di Komala, dikira membangun TPA, itulah yang dtolak. Bukan SRF ini yang ditolak. Kami sudah melakukan sosialisasi sebanyak tiga kali,” akunya.

Sementara itu Perbekel Bhuana Giri, I Nengah Diarsa memberikan sinyal dukungan terhadap proyek tersebut. Kata dia, sosialisasi yang dilakukan di masyarakat cukup intens dilakukan.

 

“Mendukung dalam artian menyelesaikan sampah yang ada di dua titik ini. Tetapi catatan mendukung harus dibarengi dengan kajian dan sosialisasi secara lengkap. Sosialsiasi berjalan dan kajian juga. Kata mendukung bukan berarti pihak kami saja yang mendukung, ini perlu kajian seluruh instansi dan lapisan supaya klop,” terang Diarsa.

AMLAPURA – Gelombang penolakan masih terus dilakukan oleh warga Desa Adat Komala dan Tengal Bengkak terkait rencana pembangunan tempat pengolahan sampah (TPS) di Banjar Dinas Butus, Desa Bhuana Giri.

 

Karena hingga saat ini pemahaman masyarakat terkait pembangunan TPS oleh PT Graha Guna Karya merupakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) seperti yang ada saat ini di Banjar Dinas Butus.


Bukan tanpa alasan penolakan tersebut dilakukan. Masyarakat setempat trauma dengan adanya keberadaan TPA yang dibangun oleh Pemkab Karangasem tidak terurus dengan baik. Bahkan warga Banjar Dinas Butus pun mengeluhkan bau sampah yang sangat mengganggu.

 

“Kami juga memerlukan sosialisasi akan seperti apa bentuk pembangunan TPS ini dan sebagainya,” salah seorang warga Desa Adat Komala, I Kadek Kari ditemui di TPA Butus, Desa Bhuana Giri, Selasa (6/7).


Kurangnya sosialisasi oleh Pemkab Karangasem dan investor itu lanjut dia menimbulkan persepsi miring masyarakat. Sehingga warga desa adat Komala pun menolak terhadap rencana TPS berbasis solid recovered fuel (SRF).

 

“Itu (sosialisasi) yang masih dirasa kurang sehingga terjadi miss komunikasi. Ada yang beranggapan TPA dan TPS sehingga ada bahasa penolakan. Perlu ditingkatkan sosialisasinya. Karena Desa Adat Komala dalam hal ini menjadi penyanding yang lokasinya berbatasan langsung dengan rencana proyek ini,” terangya.

Diakui, sosialisasi rencana proyek dengan nilai investasi Rp67 miliar tersebut pernah dilakukan. Sepengetahuan Kari, sosialisasi dilakukan baru tiga kali. Pertama sosialisasi awal di Desa Adat Komala yang menjadi lokasi awal proyek, sosialisasi dilakukan di Wantilan Kantor Bupati dan sosialisasi ketiga dilakukan di Banjar Dinas Butus yang saat ini dipilih sebagai lokasi proyek dengan memafaatkan tanah warga yang rencananya dibeli oleh investor seluas 1,6 hektar (sebelumnya ditulis 1,5 hektar).

 

“Sudah pernah dilakukan sosialisasi tapi belum mencakup semua lapisan masyarakat sehingga timbul pemahaman yang kurang,” kata Kari.

Dia juga meminta ada jaminan untuk masyarakat berupa perjanjian tertulis. Kekhawatiran masyarakat desa adat Komala sebagai penyanding, ketika proyek ini tidak sesuai dengan apa yang telah disosialisasikan, maka masyarakat bisa menuntut dan mengambil langkah.

 

“Jadi ketika nanti dalam perjalanannya ada masalah, masyarakat bisa mengambil langkah apa yang ditempuh,” tandasnya.

Terkait hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karangasem, I Gede Ngurah Yudiantara kembali menegaskan bahwa proyek ini bukan TPA seperti saat ini tapi pengolahan sampah menjadi energi lewat teknologi SRF. Karena persoalan sampah sudah menjadi masalah krusial yang cukup lama, sementara Pemkab Karangasem tidak memiliki solusi terbaik dalam penanganan sampah khususnya di TPA.

 

“Masyarakat Butus sudah ribut soal keberadaan sampah ini. Karena SRF ini adalah solusi yang paling baik makanya kami mendukung untuk bisa menyelesaikan masalah sampah yang ada,” kata Yudiantara ditemui di TPA Butus saat kunjungan bersama DPRD Karangasem.


Bahkan pihaknya mengklaim, masyarakat Butus yang menjadi lokasi proyek dan warga yang menjadi penyanding sebagian besar menyetujui proyek SRF ini. Mengingat masyarakat sangat diuntungkan dengan hilangnya sampah tersebut.

 

“Nanti di awal, sampah di TPA Linggasana dan Besang terlebih dahulu diolah. Setelah itu baru yang di TPA Butus,” jelasnya.

Disinggung tudingan masyarakat yang menganggap Pemkab Karangasem dan investor minim sosialsasi kepada masyarakat, Yudiantara mengatakan bahwa warga desa adat Komala menolak adanya TPA bukan proyek pengolahan berbasis SRF ini.

 

“Dari awal kami sampaikan di Komala, dikira membangun TPA, itulah yang dtolak. Bukan SRF ini yang ditolak. Kami sudah melakukan sosialisasi sebanyak tiga kali,” akunya.

Sementara itu Perbekel Bhuana Giri, I Nengah Diarsa memberikan sinyal dukungan terhadap proyek tersebut. Kata dia, sosialisasi yang dilakukan di masyarakat cukup intens dilakukan.

 

“Mendukung dalam artian menyelesaikan sampah yang ada di dua titik ini. Tetapi catatan mendukung harus dibarengi dengan kajian dan sosialisasi secara lengkap. Sosialsiasi berjalan dan kajian juga. Kata mendukung bukan berarti pihak kami saja yang mendukung, ini perlu kajian seluruh instansi dan lapisan supaya klop,” terang Diarsa.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/