28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:48 AM WIB

Kasihan…Bayi Pengungsi Idap Sakit Kulit, Kepanasan Langsung Menangis

RadarBali.com – Seorang bayi berusia tujuh bulan, Ni Komang Ayu Martini, warga Banjar Batudawa Kelod, Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, ikut menjadi pengungsi bersama 29 jiwa lainnya di rumah Mangku Gidiran, di Banjar Kembengan, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar.

Ironisnya, bayi perempuan itu sejak berusia 6 hari mengalami sakit kulit. Kini di pengungsian, putri ketiga pasangan I Nyoman Suita dengan Ni Nyoman Wage itu tidak kuat menahan panas.

“Anak saya tidak kuat dengan udara panas, apalagi kalau kena matahari, dia bisa menangis terus,” ujar ibunda si bayi, Ni Nyoman Wage ditemui di tempat pengungsian kemarin.

Selama di pengungsian yang terdiri dari dua ruangan kamar kos itu, si bayi ini terus berada dekat kipas angin.

“Kalau panas sedikit langsung menangis,” ujar Wage sambil mengusap kulit bayinya menggunakan cairan infus yang  diberikan oleh dokter.

Sebagai orang tua, Wage  merasa heran dengan kondisi putri ketiganya itu. “Karena dua anak saya, kakaknya ini tidak apa-apa, normal,” terangnya.

Wage pun menceritakan awal putrinya ini lahir. “Waktu lahir kulitnya bersih, baru setelah enam hari wajahnya mengelupas begini. Awalnya cokelat kehitaman, terus mengelupas,” ujarnya heran.

Kini, selain menimpa wajah si putri dengan berat 5,3 kilogram itu juga merembet ke bagian kaki.

“Sejak mengalami ini, kami sudah bawa ke dokter, kata dokter tidak bisa menjelaskan ini apa. Tapi terus saya rawat,” ungkapnya.

Selama merawat di bayi, orang tuanya menggunakan biaya sendiri. “Kalau saya sama bapaknya punya KIS (Kartu Indonesia Sehat, red). Tapi untuk anak saya ini belum mengurus karena belum masuk KK (Kartu keluarga, red),” jelasnya.

Beruntung, selama mengungsi di Gianyar, bayi ini memperoleh bantuan pengobatan cuma-cuma dari dokter.

“Seharusnya hari Senin giliran kontrol. Tapi saya kasihan, kalau kena panas nanti kulitnya tambah sakit,” keluhnya.

Selama di pengungsian, keluarga yang mengandalkan uang dapur dari kerja sebagai tukang batu itu mengaku memilih menjadi pengungsi mandiri.

“Karena awalnya suami saya (Siuta, red) ini pernah kerja di rumah Mangku (Gidiran, red),” jelasnya. Dia juga khawatir membawa si bayi ke pengungsian terpadu di posko Sutasoma.

“Saya tahu di sana ada pengungsian. Tapi takut di sana kan pakai terpal, sementara kondisi anak saya begini,” terangnya.

Jadi sudah 15 hari atau dua minggu lebih keluarganya yang sebanyak 6 KK ditampung di rumah Mangku Gidiran. Di rumah Mangku Gidiran itu, ada 30 jiwa termasuk bayi.

“Kami di kasih ruangan dua kamar. Tidur di kamar ini. Kami juga dikasih tidur di sana,” ujar Wage sambil menunjuk ke arah Bale Daja.

Khusus si bayi malang itu, tidur di dalam kamar yang berisi kipas angin kecil.

RadarBali.com – Seorang bayi berusia tujuh bulan, Ni Komang Ayu Martini, warga Banjar Batudawa Kelod, Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, ikut menjadi pengungsi bersama 29 jiwa lainnya di rumah Mangku Gidiran, di Banjar Kembengan, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar.

Ironisnya, bayi perempuan itu sejak berusia 6 hari mengalami sakit kulit. Kini di pengungsian, putri ketiga pasangan I Nyoman Suita dengan Ni Nyoman Wage itu tidak kuat menahan panas.

“Anak saya tidak kuat dengan udara panas, apalagi kalau kena matahari, dia bisa menangis terus,” ujar ibunda si bayi, Ni Nyoman Wage ditemui di tempat pengungsian kemarin.

Selama di pengungsian yang terdiri dari dua ruangan kamar kos itu, si bayi ini terus berada dekat kipas angin.

“Kalau panas sedikit langsung menangis,” ujar Wage sambil mengusap kulit bayinya menggunakan cairan infus yang  diberikan oleh dokter.

Sebagai orang tua, Wage  merasa heran dengan kondisi putri ketiganya itu. “Karena dua anak saya, kakaknya ini tidak apa-apa, normal,” terangnya.

Wage pun menceritakan awal putrinya ini lahir. “Waktu lahir kulitnya bersih, baru setelah enam hari wajahnya mengelupas begini. Awalnya cokelat kehitaman, terus mengelupas,” ujarnya heran.

Kini, selain menimpa wajah si putri dengan berat 5,3 kilogram itu juga merembet ke bagian kaki.

“Sejak mengalami ini, kami sudah bawa ke dokter, kata dokter tidak bisa menjelaskan ini apa. Tapi terus saya rawat,” ungkapnya.

Selama merawat di bayi, orang tuanya menggunakan biaya sendiri. “Kalau saya sama bapaknya punya KIS (Kartu Indonesia Sehat, red). Tapi untuk anak saya ini belum mengurus karena belum masuk KK (Kartu keluarga, red),” jelasnya.

Beruntung, selama mengungsi di Gianyar, bayi ini memperoleh bantuan pengobatan cuma-cuma dari dokter.

“Seharusnya hari Senin giliran kontrol. Tapi saya kasihan, kalau kena panas nanti kulitnya tambah sakit,” keluhnya.

Selama di pengungsian, keluarga yang mengandalkan uang dapur dari kerja sebagai tukang batu itu mengaku memilih menjadi pengungsi mandiri.

“Karena awalnya suami saya (Siuta, red) ini pernah kerja di rumah Mangku (Gidiran, red),” jelasnya. Dia juga khawatir membawa si bayi ke pengungsian terpadu di posko Sutasoma.

“Saya tahu di sana ada pengungsian. Tapi takut di sana kan pakai terpal, sementara kondisi anak saya begini,” terangnya.

Jadi sudah 15 hari atau dua minggu lebih keluarganya yang sebanyak 6 KK ditampung di rumah Mangku Gidiran. Di rumah Mangku Gidiran itu, ada 30 jiwa termasuk bayi.

“Kami di kasih ruangan dua kamar. Tidur di kamar ini. Kami juga dikasih tidur di sana,” ujar Wage sambil menunjuk ke arah Bale Daja.

Khusus si bayi malang itu, tidur di dalam kamar yang berisi kipas angin kecil.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/