SINGARAJA – Warga yang merasa keberatan dengan nilai ganti rugi lahan shortcut 7-9, terus bertambah.
Bila pada Senin (6/1) warga yang mengajukan keberatan mencakup 10 bidang tanah, kemarin (8/1) jumlah warga yang mengajukan keberatan mencapai 16 bidang tanah.
Warga yang mengajukan keberatan ini, rencananya akan menempuh mekanisme konsinyasi di Pengadilan Negeri Singaraja.
Selain warga yang mengajukan keberatan, ada pula beberapa kriteria lain yang akan masuk tahap konsinyasi.
Yakni pemilik tanah yang telah diundang, namun tidak hadir saat musyawarah ganti rugi. Serta pemilik tanah yang sertifikatnya tengah menjadi jaminan di bank.
Data yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali, tercatat ada 16 bidang lahan dari total 7 orang pemilik lahan yang mengajukan keberatan.
Sebanyak 10 bidang lahan berada di wilayah Desa Gitgit, dan 6 bidang lahan lainnya berada di wilayah Desa Pegayaman. Total ganti rugi dari 16 bidang lahan itu mencapai Rp 4,9 miliar.
Sementara untuk warga yang telah diundang namun tidak hadir, tercatat terdiri dari 7 bidang tanah dengan 3 orang pemilik lahan.
Nilai ganti rugi mencapai Rp 3,36 miliar. Sedangkan lahan yang menjadi jaminan bank berupa dua bidang tanah dari dua orang pemilik dengan nilai ganti rugi Rp 924,49 juta.
“Terhadap hal ini, biaya ganti rugi akan kami titipkan di pengadilan. Ini sudah amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk kepentingan umum,” jelas Sekretaris Tim Pengadaan Lahan, Ngurah Mahartha Kertha, dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos Radar Bali, Rabu (8/1).
Sementara lahan yang kini telah divalidasi dan dilakukan proses pembayaran, mencapai 198 bidang lahan. Sebanyak 87 bidang lahan berada di Desa Gitgit, 6 bidang lahan terletak di Desa Wanagiri, dan 105 bidang lahan lainnya berada di Desa Pegayaman.
Total nilai kerugian yang telah divalidasi mencapai Rp 116,16 miliar. “Yang belum bisa divalidasi itu karena masih menunggu kelengkapan
persyaratan dokumen asli dari warga. Misalnya sertifikat asli, surat pernyataan silsilah, dan surat keterangan ahli waris,” kata Ngurah Mahartha.
Disamping itu, jelas Ngurah, masih ada 20 bidang tanah yang belum dapat divalidasi. Sebab telah terjadi jual beli bawah tangan yang terjadi setelah tahun 1997.
Baik itu tanah yang sudah bersertifikat maupun belum. Akibatnya, tidak ada dokumen akta jual beli, salinan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) penjual, dan salinan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Padahal ketiga dokumen itu wajib divalidasi. Nilai ganti ruginya pun siginifikan. Mencapai Rp 3,8 miliar.
“Kami masih cari jalan penyelesaian. Sehingga tidak terjadi indikasi penggelapan pajak. Kami masih menunggu petunjuk penyelesaian dari Kanwil (Kanwil Pertanahan Bali, Red) dan legal opinion dari Kejari Buleleng,” tukasnya.