BANGLI – Kenakalan remaja perlu mendapat perhatian khusus agar beraktivitas positif. Untuk itu, Jumat kemarin (9/2) di Wantilan Desa Songan B, Kintamani, digelar acara khusus.
Acara ini pun dipenuhi ratusan siswa SMK dan SMP beserta aparatur Desa Songan A dan Songan B, para guru dan masyarakat di Desa Songan.
Semuanya sedang menyimak sosialisasi dari tiga orang narasumber yang dihadirkan LBH APIK Bali. Kali ini bekerja sama dengan Desa Songan.
Mereka yang hadir adalah psikolog senior Prof LK Suryani SpKJ, Ketut Bagia, Kepala Bapas Karangasem dan Kasatreskrim Polres Bangli.
Desa Songan merupakan wilayah dampingan LBH Apik Bali sejak 2014. Ini karena tingginya angka poligami, perkawinan anak, KDRT , kekerasan seksual dan anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH.
Kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang ditangani Polres Bangli, dijelaskan Kasatserse di tahun 2016 tercatat cukup tinggi. Yaitu 32 kasus, dan di tahun 2017 sedikit menurun
jadi 12 kasus, seperti kasus perkelahian, pencurian, curat/ mencuri dengan pemberatan/ada kekerasan dan lain-lain.
Kasus ABH, sepertinya bisa meningkat mengingat situasi pada remaja laki –laki Songan dengan maraknya aksi semacam geng kecil mereka sebagai bentuk aktualisasi diri.
Seperti satu contoh kasus ABH yang saat ini sedang ditangani Polres Bangli, hanya karena saling pandang di pemandian, padahal satu desa dan satu sekolah langsung saling baku hantam.
Kasus perkelahian anak yang menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor11 Tahun 2012 ini mewajibkan upaya pembinaan tingkat terbawah /masyarakat desa.
Yakni ditujukan ketika pelanggaran hukum yang dilakukan usia anak ini baru pertama kali dilakukan dan ancaman hukumnya di bawah 7 tahun penjara.
Ini akan ada mekanisme diversi yang dilakukan kepolisian dengan melibatkan peran BAPAS (Balai Pemasyarakatan) Karangasem yang mewilayahi tiga Kabupaten.
Yakni Bangli, Karangasem, Klungkung.
Ketika kasus ABH ini berulang baru kasus bisa diproses hukum lebih lanjut. Tetapi tetap ditangani dengan lebih mengutamakan kepentingan terbaik anak.
Misalnya karena anak masih sekolah, orang tua dan keluarga masih sangat mendukung pembinaan terhadap anak, pemenjaraan terhadap anak bukanlah pilihan yang terbaik bagi anak.
Para hakim anak, jaksa anak sudah semakin banyak terlatih untuk pemahaman mengenai UU SPPA ini. Kasus Bunuh diri yang terjadi pada remaja Songan ternyata cukup banyak.
Bahkan, dikenal sebagai remaja yang cerdas karena ada yang sekolah di SMA Bali Mandara Buleleng, dan SMA 1 Singaraja.
Tahun 2017 diperkirakan ada lima remaja cerdas asal Songan Kintamani yang membuang nyawa sia-sia.
Kehadiran Prof Suryani, kali ini dianggap tepat untuk memberi penguatan psikologis pada anak remaja Songan dan para orang tuanya sekaligus.
Acara sosialisasi diakhiri dengan meditasi relaksasi dan penghilangan beban pada anak, dengan membawa memori anak pada masa lalu saat mereka masih kecil dengan pengaruh ayah ibu yang dominan, yang cuek, atau demokratis.
Karena memori masa lalu sangat terkait erat dengan situasi yang terjadi saat ini, yang meningkat ke kasus KDRT, dan kekerasan terhadap anak.