29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:34 AM WIB

Teringat Memori Letusan 1963, Sejumlah Pengungsi Pilih Bertahan

TEJAKULA – Langkah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menurunkan status Gunung Agung dari awas menjadi siaga, disambut suka cita oleh sebagian besar pengungsi.

Namun, ada pula beberapa pengungsi yang masih sangsi dengan keputusan itu, dan berharap masih diberi kesempatan bertahan di pengungsian.

Setidaknya hingga usai hari raya Nyepi, pada Maret mendatang. Para pengungsi yang menetap di Kecamatan Tejakula, sudah mulai berkemas dari kamp pengungsian, sejak Jumat (9/2) lalu.

Meski saat itu belum ada keputusan menurunkan status gunung, namun pengungsi yang sudah mendengar isu, memilih pulang lebih dulu.

Jumlah pengungsi di Kecamatan Tejakula pun terus mengalami penurunan. Dari semula mencapai angka 3.212 orang pengungsi, turun menjadi 2.221 pengungsi pada Sabtu (10/2), dan turun kembali pada angka 1.342 jiwa pada Minggu (11/2).

Pantauan Jawa Pos Radar Bali kemarin, sebagian besar pengungsi lebih memilih pulang kampung ketimbang bertahan di pengungsian.

Maklum saja, mereka sudah tinggal di kamp pengungsian selama hampir lima bulan. Para pengungsi yang menetap di Wantilan Desa Tejakula, kemarin memilih pulang.

Pengungsi asal Banjar Dinas Pucang, Desa Ban, Kecamatan Kubu itu, diangkut menggunakan truk Dinas Sosial Karangasem.

Sementara di Banjar Dinas Benben, Desa Sambirenteng, sebanyak 27 keluarga pengungsi asal Banjar Dinas Belong, Desa Ban, juga memilih pulang.

Pengungsi yang berjumlah 140 orang itu, sudah tinggal di kamp pengungsian selama lima bulan terakhir, dan turut serta membawa hewan ternak yang notabene harta satu-satunya.

Bahkan di kamp pengungsian ini, ada dua bayi yang dilahirkan saat warga mengungsi.

Kadek Darna, salah seorang pengungsi, mengaku sudah tidak sabar pulang kampung. Dia mengaku sudah jenuh tinggal di pengungsian.

“Sudah lima bulan saya ngungsi. Sekarang pemerintah bilang sudah boleh pulang, lebih baik saya pulang. Lebih nyaman tinggal di rumah,” katanya.

Namun tak semua pengungsi memilih pulang ke rumah. Ada pula beberapa pengungsi yang masih ingin bertahan di kamp pengungsian.

Mereka mengaku masih khawatir dengan aktifitas Gunung Agung. Terlebih pada tahun 1963 lalu, gunung meletus pada bulan Februari.

Kadek Srimpen, salah seorang pengungsi, mengaku masih ingin bertahan sementara waktu di kamp pengungsian.

“Biar saya tidak bolak-balik juga. Kalau memang harus pulang, ya saya pulang. Tapi minta waktu dulu, karena belum ada biaya pulang,” kata Srimpen. 

TEJAKULA – Langkah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menurunkan status Gunung Agung dari awas menjadi siaga, disambut suka cita oleh sebagian besar pengungsi.

Namun, ada pula beberapa pengungsi yang masih sangsi dengan keputusan itu, dan berharap masih diberi kesempatan bertahan di pengungsian.

Setidaknya hingga usai hari raya Nyepi, pada Maret mendatang. Para pengungsi yang menetap di Kecamatan Tejakula, sudah mulai berkemas dari kamp pengungsian, sejak Jumat (9/2) lalu.

Meski saat itu belum ada keputusan menurunkan status gunung, namun pengungsi yang sudah mendengar isu, memilih pulang lebih dulu.

Jumlah pengungsi di Kecamatan Tejakula pun terus mengalami penurunan. Dari semula mencapai angka 3.212 orang pengungsi, turun menjadi 2.221 pengungsi pada Sabtu (10/2), dan turun kembali pada angka 1.342 jiwa pada Minggu (11/2).

Pantauan Jawa Pos Radar Bali kemarin, sebagian besar pengungsi lebih memilih pulang kampung ketimbang bertahan di pengungsian.

Maklum saja, mereka sudah tinggal di kamp pengungsian selama hampir lima bulan. Para pengungsi yang menetap di Wantilan Desa Tejakula, kemarin memilih pulang.

Pengungsi asal Banjar Dinas Pucang, Desa Ban, Kecamatan Kubu itu, diangkut menggunakan truk Dinas Sosial Karangasem.

Sementara di Banjar Dinas Benben, Desa Sambirenteng, sebanyak 27 keluarga pengungsi asal Banjar Dinas Belong, Desa Ban, juga memilih pulang.

Pengungsi yang berjumlah 140 orang itu, sudah tinggal di kamp pengungsian selama lima bulan terakhir, dan turut serta membawa hewan ternak yang notabene harta satu-satunya.

Bahkan di kamp pengungsian ini, ada dua bayi yang dilahirkan saat warga mengungsi.

Kadek Darna, salah seorang pengungsi, mengaku sudah tidak sabar pulang kampung. Dia mengaku sudah jenuh tinggal di pengungsian.

“Sudah lima bulan saya ngungsi. Sekarang pemerintah bilang sudah boleh pulang, lebih baik saya pulang. Lebih nyaman tinggal di rumah,” katanya.

Namun tak semua pengungsi memilih pulang ke rumah. Ada pula beberapa pengungsi yang masih ingin bertahan di kamp pengungsian.

Mereka mengaku masih khawatir dengan aktifitas Gunung Agung. Terlebih pada tahun 1963 lalu, gunung meletus pada bulan Februari.

Kadek Srimpen, salah seorang pengungsi, mengaku masih ingin bertahan sementara waktu di kamp pengungsian.

“Biar saya tidak bolak-balik juga. Kalau memang harus pulang, ya saya pulang. Tapi minta waktu dulu, karena belum ada biaya pulang,” kata Srimpen. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/