28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:58 AM WIB

Gunung Kembang Kempis, PVMBG Prediksi Letusan Tak Sedahsyat 1963

RadarBali.com – Kasubdit Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) Devy Kamil Syahbana mengatakan, aktifitas Gunung Agung sempat menurun sejak ditetapkan berstatus Siaga.

Namun, sejak terjadi gempa tektonik dengan kekuatan 5.0 SR, terjadi peningkatan aktivitas, meski tidak besar.

“Gempa tektonik ini memang terkait dengan Gunung Agung karena terjadi di kaki Gunung Agung,” ujar Devy Kamil Syahbana.

Selain itu, kata dia, Gunung Agung juga dalam kondisi masih mengembung. Saat pengembungan pertama terjadi, kondisinya memang belum sempat mengempes.

Namun demikian, ada sedikit pengempesan, tapi mengembung kembali. Istilahnya sempat terjadi kembang kempis.

Kalau ini terus terjadi maka puncak gunung agung akan lebih lembek sehingga akan lebih mudah di tembus.

Gempa yang terjadi sekarang ini masih berkisaran 60 kali per harinya. Ini diakui masih tinggi untuk ukuran gunung api.

Bahkan, Gunung Sinabung yang sekarang sedang erupsi, kegempaanya hanya belasan kali. “Sementara untuk normal Gunung Agung dalam setahun hanya terjadi tiga kali gempa bahkan nihil,” katanya.

Ini karena di Gunung Agung sendiri sangat jarang sekali terjadi gempa sata kondisi normal. “Gempa menunjukkan suplai magma masih ada,” bebernya.

Berdasar prediksi, letusan Gunung Agung masih dibawah tahun 1963. Ini terlihat dari kegempaan yang terjadi.

Di mana tahun 1963 gempa cukup besar bahkan mencapai 6,0 SR dan terjadi sebanyak tiga kali. Sementara kali ini gempa terbesar baru terjadi dengan kekuatan 5,0 SR.

Terkait ciri ciri alam seperti mata air yang masih stabil dan belum berkurang, menurut Devy itu tidak sepenunya bisa dijadikan acuan.

Ini karena mata air yang ada di kaki Gunung Agung letaknya jauh diluar radius 10 km. Sementara tahun 1963 sempat mata air menurun debitnya seperti di Petung, Selat.

Ini juga bisa diakibatkan karena pana. Sementara ciri ciri hewan yang ada di lereng Gunung juga tidak sepenuhnya bisa di pergunakan sebagai patokan.

Karena saat letusan di Sinabung dan juga Merapi banyak hewan yang mati di lereng gunung.

“Kalau hewan bisa dijadikan acuan buat apa pasang alat di lereng gunung, tinggal taruh sapi saja atau hewan lainya,” ujarnya. 

RadarBali.com – Kasubdit Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) Devy Kamil Syahbana mengatakan, aktifitas Gunung Agung sempat menurun sejak ditetapkan berstatus Siaga.

Namun, sejak terjadi gempa tektonik dengan kekuatan 5.0 SR, terjadi peningkatan aktivitas, meski tidak besar.

“Gempa tektonik ini memang terkait dengan Gunung Agung karena terjadi di kaki Gunung Agung,” ujar Devy Kamil Syahbana.

Selain itu, kata dia, Gunung Agung juga dalam kondisi masih mengembung. Saat pengembungan pertama terjadi, kondisinya memang belum sempat mengempes.

Namun demikian, ada sedikit pengempesan, tapi mengembung kembali. Istilahnya sempat terjadi kembang kempis.

Kalau ini terus terjadi maka puncak gunung agung akan lebih lembek sehingga akan lebih mudah di tembus.

Gempa yang terjadi sekarang ini masih berkisaran 60 kali per harinya. Ini diakui masih tinggi untuk ukuran gunung api.

Bahkan, Gunung Sinabung yang sekarang sedang erupsi, kegempaanya hanya belasan kali. “Sementara untuk normal Gunung Agung dalam setahun hanya terjadi tiga kali gempa bahkan nihil,” katanya.

Ini karena di Gunung Agung sendiri sangat jarang sekali terjadi gempa sata kondisi normal. “Gempa menunjukkan suplai magma masih ada,” bebernya.

Berdasar prediksi, letusan Gunung Agung masih dibawah tahun 1963. Ini terlihat dari kegempaan yang terjadi.

Di mana tahun 1963 gempa cukup besar bahkan mencapai 6,0 SR dan terjadi sebanyak tiga kali. Sementara kali ini gempa terbesar baru terjadi dengan kekuatan 5,0 SR.

Terkait ciri ciri alam seperti mata air yang masih stabil dan belum berkurang, menurut Devy itu tidak sepenunya bisa dijadikan acuan.

Ini karena mata air yang ada di kaki Gunung Agung letaknya jauh diluar radius 10 km. Sementara tahun 1963 sempat mata air menurun debitnya seperti di Petung, Selat.

Ini juga bisa diakibatkan karena pana. Sementara ciri ciri hewan yang ada di lereng Gunung juga tidak sepenuhnya bisa di pergunakan sebagai patokan.

Karena saat letusan di Sinabung dan juga Merapi banyak hewan yang mati di lereng gunung.

“Kalau hewan bisa dijadikan acuan buat apa pasang alat di lereng gunung, tinggal taruh sapi saja atau hewan lainya,” ujarnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/