29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:23 AM WIB

127 Sekolah Belum Punya Perpustakaan, Gerakan Literasi Terancam

SINGARAJA – Sebanyak 127 sekolah dasar di Kabupaten Buleleng, hingga kini belum memiliki ruang perpustakaan.

Mereka terpaksa mengoptimalkan ruangan yang ada, dan akhirnya disulap menjadi perpustakaan.

Kondisi itu dikhawatirkan memengaruhi geliat Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Kini di seluruh Buleleng tercatat ada 485 unit sekolah dasar. Dari ratusan sekolah itu, sebagian besar sudah memiliki ruang perpustakaan. Selebihnya, harus memanfaatkan ruang guru yang disekat dan disulap menjadi perpustakaan.

“Kondisi itu memang sangat tidak memenuhi syarat. Tapi itu sudah kami petakan dan tiap tahun sudah berupaya kami penuhi fasilitasnya,” kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, Gede Suyasa, kemarin.

Untuk mengembangkan perpustakaan, Disdikpora Buleleng biasanya mengoptimalkan mess guru yang tak terpakai.

Saat ini banyak mess sekolah yang mangkrak dan rusak parah. Mess itu kemudian disulap menjadi ruang perpustakaan.

“Tahun ini ada beberapa sekolah yang mendapatkan anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Itu kami dorong untuk pengadaan perpustakaan,” imbuh Suyasa.

Perpustakaan yang nyaman dan ideal, diharapkan bisa mendorong gerakan literasi sekolah. Kini hampir seluruh sekolah sudah menerapkan pola tersebut.

Sayangnya belum optimal. Pasalnya siswa hanya diminta membaca, tanpa memberikan penjelasan usai membaca.

Dampaknya siswa hanya sekadar membaca sambil lalu, tanpa memahami apa yang sudah mereka baca. Selain itu sekolah juga didorong melakukan analisa pada siswa.

Analisa itu meliputi tingkat kunjungan siswa ke perpustakaan, jumlah buku yang dibaca, hingga buku yang dipilih anak untuk dibaca.

Analisa itu dianggap penting, agar sekolah bisa menyiapkan buku yang berkualitas dan sesuai dengan minat baca anak.

“Tiap tahun itu 20 persen dana BOS digunakan untuk beli buku. Jangan sampai tiap tahun beli buku, tapi selama tiga tahun bukunya utuh masih tersegel.

Tidak pernah tersentuh, karena tidak sesuai minat siswa. Ini saya temukan di beberapa perpustakaan sekolah,” tegas Suyasa.

Apabila analisa itu dilakukan dengan baik, Suyasa optimistis gerakan literasi sekolah berjalan dengan lancar. Pemerintah juga akan berupaya memenuhi kebutuhan perpustakaan di seluruh sekolah. 

SINGARAJA – Sebanyak 127 sekolah dasar di Kabupaten Buleleng, hingga kini belum memiliki ruang perpustakaan.

Mereka terpaksa mengoptimalkan ruangan yang ada, dan akhirnya disulap menjadi perpustakaan.

Kondisi itu dikhawatirkan memengaruhi geliat Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Kini di seluruh Buleleng tercatat ada 485 unit sekolah dasar. Dari ratusan sekolah itu, sebagian besar sudah memiliki ruang perpustakaan. Selebihnya, harus memanfaatkan ruang guru yang disekat dan disulap menjadi perpustakaan.

“Kondisi itu memang sangat tidak memenuhi syarat. Tapi itu sudah kami petakan dan tiap tahun sudah berupaya kami penuhi fasilitasnya,” kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, Gede Suyasa, kemarin.

Untuk mengembangkan perpustakaan, Disdikpora Buleleng biasanya mengoptimalkan mess guru yang tak terpakai.

Saat ini banyak mess sekolah yang mangkrak dan rusak parah. Mess itu kemudian disulap menjadi ruang perpustakaan.

“Tahun ini ada beberapa sekolah yang mendapatkan anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Itu kami dorong untuk pengadaan perpustakaan,” imbuh Suyasa.

Perpustakaan yang nyaman dan ideal, diharapkan bisa mendorong gerakan literasi sekolah. Kini hampir seluruh sekolah sudah menerapkan pola tersebut.

Sayangnya belum optimal. Pasalnya siswa hanya diminta membaca, tanpa memberikan penjelasan usai membaca.

Dampaknya siswa hanya sekadar membaca sambil lalu, tanpa memahami apa yang sudah mereka baca. Selain itu sekolah juga didorong melakukan analisa pada siswa.

Analisa itu meliputi tingkat kunjungan siswa ke perpustakaan, jumlah buku yang dibaca, hingga buku yang dipilih anak untuk dibaca.

Analisa itu dianggap penting, agar sekolah bisa menyiapkan buku yang berkualitas dan sesuai dengan minat baca anak.

“Tiap tahun itu 20 persen dana BOS digunakan untuk beli buku. Jangan sampai tiap tahun beli buku, tapi selama tiga tahun bukunya utuh masih tersegel.

Tidak pernah tersentuh, karena tidak sesuai minat siswa. Ini saya temukan di beberapa perpustakaan sekolah,” tegas Suyasa.

Apabila analisa itu dilakukan dengan baik, Suyasa optimistis gerakan literasi sekolah berjalan dengan lancar. Pemerintah juga akan berupaya memenuhi kebutuhan perpustakaan di seluruh sekolah. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/