25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:31 AM WIB

Dewan Buleleng “Gagal” Pertahankan Jalur Hijau

SINGARAJA- Wacana pencabutan Perda Kabupaten Buleleng Nomor 15 Tahun 1998 tentang Penetapan Jalur Hijau, tak terbendung. 

DPRD Buleleng akhirnya mengabulkan permintaan Pemkab Buleleng, yang mengajukan permohonan pencabutan Perda Jalur Hijau. 

Namun persetujuan itu masih menyisakan catatan dari dewan.

Persetujuan itu disampaikan dewan dalam rapat yang mempertemukan DPRD Buleleng dengan Pemkab Buleleng. 

Pihak dewan dipimpin Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna, sementara dari pemerintah dipimpin Sekkab Buleleng Dewa Ketut Puspaka. 

Rapat dilangsungkan di Ruang Rapat Gabungan Komisi DPRD Buleleng, Selasa (18/9) siang.

Sikap dewan yang selama ini kokoh menolak, akhirnya melunak. 

Persetujuan itu diberikan dengan catatan pemerintah memberikan jaminan tidak ada alih fungsi lahan di jalur hijau. 

Selain itu pemerintah harus segera mengeluarkan sebuah dasar hukum yang dijadikan acuan perlindungan jalur hijau. 

Jaminan itu diminta, lantaran selama ini pemerintah dinilai tak konsisten melindungi jalur hijau.

Ketua Komisi II DPRD Buleleng, Putu Mangku Budiasa mengatakan, sejak awal pemerintah terkesan tidak melindungi jalur hijau. 

Padahal pemerintah sudah memiliki perda. 

Mangku bahkan menyebut perda jalur hijau yang selama ini digunakan sebagai dasar perlindungan, tak ubahnya seperti macan ompong.

“Buktinya dari 61 titik jalur hijau, 55 titik sudah alih fungsi. 

Sudah berdiri bangunan dan tidak bisa dikendalikan. 

Ini aturan yang lemah atau (pemerintah) tutup mata,” kata Mangku.

Politisi PDI Perjuangan itu menyatakan, dewan bisa menyetujui pencabutan itu asalkan pemerintah menjamin tidak ada alih fungsi pada enam titik jalur hijau yang tersisa. 

Selain itu pemerintah juga perlu membuat regulasi yang memberikan jaminan perlindungan ruang terbuka hijau yang lebih detail.

“Terserah bentuknya mau perbup atau apa. 

Bupati sekarang ini kan prioritas pembangunannya pertanian. 

Percuma dong gembar-gembor bilang mau membangun pertanian, tapi alih fungsi masif. 

Makanya ruang terbuka hijau yang tersisa, harus dilindungi. 

Jangan sampai celah (kekosongan hukum) ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memang punya kepentingan melabrak ini,” imbuhnya.

Sementara itu Sekkab Buleleng Dewa Ketut Puspaka siap memenuhi catatan yang disampaikan dewan itu. 

Pemerintah, kata Puspaka, pada dasarnya juga sepakat melindungi ruang terbuka hijau. 

Buktinya pariwisata yang berkembang di Buleleng kini lebih banyak pariwisata berbasis alam dan konservasi.

Disinggung soal aturan hukum untuk melindungi kekosongan usai perda dicabut, Puspaka menyatakan ruang terbuka hijau sudah diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Buleleng, yang disahkan pada 2013 lalu.

“Kami minta setiap investasi yang masuk harus melampirkan kesesuaian tata ruang. 

Dari sana kami cek, apa masuk RTH atau tidak. 

Kami juga ingin amankan RTH dengan baik, sekaligus memberi ruang investasi yang komprehensif dengan memerhatikan kualitas lingkungan,” ujar Puspaka.

SINGARAJA- Wacana pencabutan Perda Kabupaten Buleleng Nomor 15 Tahun 1998 tentang Penetapan Jalur Hijau, tak terbendung. 

DPRD Buleleng akhirnya mengabulkan permintaan Pemkab Buleleng, yang mengajukan permohonan pencabutan Perda Jalur Hijau. 

Namun persetujuan itu masih menyisakan catatan dari dewan.

Persetujuan itu disampaikan dewan dalam rapat yang mempertemukan DPRD Buleleng dengan Pemkab Buleleng. 

Pihak dewan dipimpin Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna, sementara dari pemerintah dipimpin Sekkab Buleleng Dewa Ketut Puspaka. 

Rapat dilangsungkan di Ruang Rapat Gabungan Komisi DPRD Buleleng, Selasa (18/9) siang.

Sikap dewan yang selama ini kokoh menolak, akhirnya melunak. 

Persetujuan itu diberikan dengan catatan pemerintah memberikan jaminan tidak ada alih fungsi lahan di jalur hijau. 

Selain itu pemerintah harus segera mengeluarkan sebuah dasar hukum yang dijadikan acuan perlindungan jalur hijau. 

Jaminan itu diminta, lantaran selama ini pemerintah dinilai tak konsisten melindungi jalur hijau.

Ketua Komisi II DPRD Buleleng, Putu Mangku Budiasa mengatakan, sejak awal pemerintah terkesan tidak melindungi jalur hijau. 

Padahal pemerintah sudah memiliki perda. 

Mangku bahkan menyebut perda jalur hijau yang selama ini digunakan sebagai dasar perlindungan, tak ubahnya seperti macan ompong.

“Buktinya dari 61 titik jalur hijau, 55 titik sudah alih fungsi. 

Sudah berdiri bangunan dan tidak bisa dikendalikan. 

Ini aturan yang lemah atau (pemerintah) tutup mata,” kata Mangku.

Politisi PDI Perjuangan itu menyatakan, dewan bisa menyetujui pencabutan itu asalkan pemerintah menjamin tidak ada alih fungsi pada enam titik jalur hijau yang tersisa. 

Selain itu pemerintah juga perlu membuat regulasi yang memberikan jaminan perlindungan ruang terbuka hijau yang lebih detail.

“Terserah bentuknya mau perbup atau apa. 

Bupati sekarang ini kan prioritas pembangunannya pertanian. 

Percuma dong gembar-gembor bilang mau membangun pertanian, tapi alih fungsi masif. 

Makanya ruang terbuka hijau yang tersisa, harus dilindungi. 

Jangan sampai celah (kekosongan hukum) ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memang punya kepentingan melabrak ini,” imbuhnya.

Sementara itu Sekkab Buleleng Dewa Ketut Puspaka siap memenuhi catatan yang disampaikan dewan itu. 

Pemerintah, kata Puspaka, pada dasarnya juga sepakat melindungi ruang terbuka hijau. 

Buktinya pariwisata yang berkembang di Buleleng kini lebih banyak pariwisata berbasis alam dan konservasi.

Disinggung soal aturan hukum untuk melindungi kekosongan usai perda dicabut, Puspaka menyatakan ruang terbuka hijau sudah diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Buleleng, yang disahkan pada 2013 lalu.

“Kami minta setiap investasi yang masuk harus melampirkan kesesuaian tata ruang. 

Dari sana kami cek, apa masuk RTH atau tidak. 

Kami juga ingin amankan RTH dengan baik, sekaligus memberi ruang investasi yang komprehensif dengan memerhatikan kualitas lingkungan,” ujar Puspaka.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/