25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:53 AM WIB

Abu Mulai Turun, Letusan Gunung Agung Bertipe Freatik

RadarBali.com – Tepat pukul 17.05 Wita (bukan 17.35 seperti berita sebelumnya), Gunung Agung akhirnya meletus.

Meski letusan bersifat low eksplosif, abu mulai berjatuhan. Ketut Yasa, warga Ababi, Abang, mengaku matanya terasa perih saat menatap ke langit.

“Ya, abu mulai turun,” ujar Ketut Yasa. Bukan hanya Yasa yang merasakan, tapi keluarga dan para tetangganya.

“Sekarang kami kumpul di pinggir jalan, menunggu petunjuk dari pemerintah,” bebernya. Wayan Putra, wartawan Jawa Pos Radar Bali biro Karangasem melaporkan, di Desa Geriana Kangin, Selat, bau belereng cukup menyengat

Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, Gunung Agung yang meletus Selasa sore termasuk letusan jenis freatik.

Letusan freatik terjadi akibat adanya uap air bertekanan tinggi. Uap air tersebut terbentuk seiring dengan pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di dalam kawah kemudian kontak langsung dengan magma.

Letusan freatik disertai dengan asap, abu dan material yang ada di dalam kawah. Letusan freatik sulit diprediksi.

Bisa terjadi tiba-tiba dan seringkali tidak ada tanda-tanda adanya peningkatan kegempaan. Beberapa kali gunungapi di Indonesia meletus freatik saat status gunungapi tersebut Waspada (level 2).

Seperti letusan Gunung Dempo, Gunung Dieng, Gunung Marapi, Gunung Gamalama, Gunung Merapi dan lainnya.

“Tinggi letusan freaktik juga bervariasi, bahkan bisa mencapai 3.000 meter tergantuk dari kekuatan uap airnya,” kata Sutopo.

“Jadi letusan freatik gunungapi bukan sesuatu yang aneh jika status gunungapi tersebut di atas normal. Biasanya dampak letusan adalah hujan abu, pasir atau kerikil di sekitar gunung,” bebernya. 

RadarBali.com – Tepat pukul 17.05 Wita (bukan 17.35 seperti berita sebelumnya), Gunung Agung akhirnya meletus.

Meski letusan bersifat low eksplosif, abu mulai berjatuhan. Ketut Yasa, warga Ababi, Abang, mengaku matanya terasa perih saat menatap ke langit.

“Ya, abu mulai turun,” ujar Ketut Yasa. Bukan hanya Yasa yang merasakan, tapi keluarga dan para tetangganya.

“Sekarang kami kumpul di pinggir jalan, menunggu petunjuk dari pemerintah,” bebernya. Wayan Putra, wartawan Jawa Pos Radar Bali biro Karangasem melaporkan, di Desa Geriana Kangin, Selat, bau belereng cukup menyengat

Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, Gunung Agung yang meletus Selasa sore termasuk letusan jenis freatik.

Letusan freatik terjadi akibat adanya uap air bertekanan tinggi. Uap air tersebut terbentuk seiring dengan pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di dalam kawah kemudian kontak langsung dengan magma.

Letusan freatik disertai dengan asap, abu dan material yang ada di dalam kawah. Letusan freatik sulit diprediksi.

Bisa terjadi tiba-tiba dan seringkali tidak ada tanda-tanda adanya peningkatan kegempaan. Beberapa kali gunungapi di Indonesia meletus freatik saat status gunungapi tersebut Waspada (level 2).

Seperti letusan Gunung Dempo, Gunung Dieng, Gunung Marapi, Gunung Gamalama, Gunung Merapi dan lainnya.

“Tinggi letusan freaktik juga bervariasi, bahkan bisa mencapai 3.000 meter tergantuk dari kekuatan uap airnya,” kata Sutopo.

“Jadi letusan freatik gunungapi bukan sesuatu yang aneh jika status gunungapi tersebut di atas normal. Biasanya dampak letusan adalah hujan abu, pasir atau kerikil di sekitar gunung,” bebernya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/