28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:06 AM WIB

Unik…Warga Kubutambahan Dilarang Konsumsi Hewan Kaki Empat, Kok…

RadarBali.com – Warga di Desa Kubutambahan, kini dilarang mengonsumsi hewan berkaki empat. Larangan itu mulai berlaku sejak Rabu (20/9) lalu hingga Jumat (6/10) mendatang.

Larangan ini bukan hanya berlaku bagi krama adat, namun juga berlaku bagi seluruh warga yang tinggal di wewidangan Desa Pakraman Kubutambahan.

Larangan ini dikeluarkan berkaitan dengan upacara “Mepeningan” atau Ngemedalang Ida Ratu Hyang Sakti Pingit.

Beliau berstana di Pura Bale Agung Kubutambahan. Ritual ini berlangsung lima tahun sekali, dan wajib dijalani oleh seluruh warga di Desa Kubutambahan.

Sesuai dengan dresta di Desa Pakraman Kubutambahan, larangan itu sengaja dikeluarkan dalam prosesi upacara ini.

Hal itu sebagai bentuk brata yang dijalani warga yang tinggal di wilayah Desa Adat Kubutambahan. Larangan itu bukan hanya berbentuk konsumsi daging saja.

Warga juga dilarang menjual, membeli, maupun memotong hewan berkaki empat. Jangankan sapi, kerbau, atau kambing, hewan seperti katak yang berkaki empat pun pantang dikonsumsi.

“Ini berlaku selama 15 hari. Mulai tanggal 20 September sampai 6 Oktober,” kata Penyarikan Desa Pakraman Kubutambahan, Jro Made Putu Kerta saat ditemui di Pura Bale Agung Kubutambahan, siang kemarin.

Menurutnya larangan itu bukan hanya diperuntukkan bagi krama di Desa Pakraman Kubutambahan.

Tetapi semua warga yang tinggal di wilayah Desa Pakraman Kubutambahan. Terlepas ia berstatus sebagai warga adat atau tidak.

“Tidak ada pengecualian. Ini berlaku untuk siapa saja yang tinggal di wilayah Desa Pakraman Kubutambahan. Entah dia jadi warga adat Kubutambahan atau tidak, entah dia Hindu atau bukan. Semua sudah kami sosialisasikan,” tegasnya.

Bukan hanya dilarang mengkonsumsi hewan berkaki empat, warga juga dilarang menggelar upacara.

Baik itu Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Butha Yadnya, maupun Dewa Yadnya. Hanya upacara nelung bulanin saja yang diizinkan.

Sejauh ini, kata Putu Kerta, belum ada warga yang berani melanggar dresta tersebut. Warga selalu mengikuti dresta, mengingat Desa Pakraman Kubutambahan merupakan desa tua dan memiliki beberapa ritual serta tradisi yang bersifat sakral.

RadarBali.com – Warga di Desa Kubutambahan, kini dilarang mengonsumsi hewan berkaki empat. Larangan itu mulai berlaku sejak Rabu (20/9) lalu hingga Jumat (6/10) mendatang.

Larangan ini bukan hanya berlaku bagi krama adat, namun juga berlaku bagi seluruh warga yang tinggal di wewidangan Desa Pakraman Kubutambahan.

Larangan ini dikeluarkan berkaitan dengan upacara “Mepeningan” atau Ngemedalang Ida Ratu Hyang Sakti Pingit.

Beliau berstana di Pura Bale Agung Kubutambahan. Ritual ini berlangsung lima tahun sekali, dan wajib dijalani oleh seluruh warga di Desa Kubutambahan.

Sesuai dengan dresta di Desa Pakraman Kubutambahan, larangan itu sengaja dikeluarkan dalam prosesi upacara ini.

Hal itu sebagai bentuk brata yang dijalani warga yang tinggal di wilayah Desa Adat Kubutambahan. Larangan itu bukan hanya berbentuk konsumsi daging saja.

Warga juga dilarang menjual, membeli, maupun memotong hewan berkaki empat. Jangankan sapi, kerbau, atau kambing, hewan seperti katak yang berkaki empat pun pantang dikonsumsi.

“Ini berlaku selama 15 hari. Mulai tanggal 20 September sampai 6 Oktober,” kata Penyarikan Desa Pakraman Kubutambahan, Jro Made Putu Kerta saat ditemui di Pura Bale Agung Kubutambahan, siang kemarin.

Menurutnya larangan itu bukan hanya diperuntukkan bagi krama di Desa Pakraman Kubutambahan.

Tetapi semua warga yang tinggal di wilayah Desa Pakraman Kubutambahan. Terlepas ia berstatus sebagai warga adat atau tidak.

“Tidak ada pengecualian. Ini berlaku untuk siapa saja yang tinggal di wilayah Desa Pakraman Kubutambahan. Entah dia jadi warga adat Kubutambahan atau tidak, entah dia Hindu atau bukan. Semua sudah kami sosialisasikan,” tegasnya.

Bukan hanya dilarang mengkonsumsi hewan berkaki empat, warga juga dilarang menggelar upacara.

Baik itu Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Butha Yadnya, maupun Dewa Yadnya. Hanya upacara nelung bulanin saja yang diizinkan.

Sejauh ini, kata Putu Kerta, belum ada warga yang berani melanggar dresta tersebut. Warga selalu mengikuti dresta, mengingat Desa Pakraman Kubutambahan merupakan desa tua dan memiliki beberapa ritual serta tradisi yang bersifat sakral.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/