SINGARAJA – Sebanyak lima keluarga di Kabupaten Buleleng memutuskan ikut dalam program transmigrasi.
Mereka akan menempati Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Kotakawaw, Kecamatan Kahaungu Etti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selama di kawasan transmigrasi itu, mereka akan bercocok tanam tebu. Para transmigran itu dilepas di Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Buleleng, kemarin (20/11).
Keluarga yang memutuskan pergi merantau itu adalah I Gede Ariyasa, I Gede Wasta, Wayan Sukrasa, dan Kadek Amarayasa.
Mereka berasal dari Desa Galungan. Selain keempat keluarga itu, Perbekel Galungan Gede Haryono juga ikut menjadi peserta transmigrasi.
Kepala Disnaker Buleleng Ni Made Dwi Priyanti mengatakan, untuk tahun ini Provinsi Bali mendapat kuota transmigrasi sebanyak 10 keluarga.
Dari 10 keluarga itu, lima diantaranya berasal dari Buleleng, empat dari Gianyar, dan satu keluarga lainnya dari Karangasem.
Sebelum melakukan sosialisasi pendaftaran transmigrasi, pemerintah sudah melakukan pegecekan ke lokasi tersebut.
Dwi Priyanti menyebutkan, lokasi transmigrasi tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari Bandara Waingapu.
Selain itu jalannya juga sudah diaspal. Hanya saja jalan di areal pemukiman masih berupa batu kapur.
Masing-masing kepala keluarga juga telah dijatah lahan seluas 3,025 hektare. Mereka mendapatkan sebuah rumah tipe 36 dengan bentuk permanen.
Fasilitas listrik telah disiapkan dengan panel surya. Kebutuhan air pun sudah dipenuhi lewat pembangunan embung-embung air.
Demikian halnya dengan kebutuhan ibadah, warga sudah diberikan lahan untuk kebutuhan tempat ibadah maupun pekuburan.
“Jadi nanti mereka akan bercocok tanam gula. Mereka kan mendapatkan hak tanah seluas tiga hektare. Tanah itu akan dikontrak lewat BUMDes.
Kemudian mereka bekerja di tanah itu, diberi bibit tebu, dan diupah sesuai UMK. Perusahaan yang menyerap hasil panen mereka juga sudah ada,” kata Dwi Priyanti.
Salah seorag warga, Gede Ariasa mengaku ikut transmigrasi untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Selain itu ia juga berharap bisa menambah aset lahan perkebunan. Di lokasi transmigrasi, ia optimistis bisa menanam lebih baik dibandingkan di kampung halaman.
“Kalau di rumah kan saya nyakap (menggarap kebun orang, Red) manggis, durian, kadang-kadang kopi, kadang-kadang cengkih.
Tapi masalahnya kan di rumah sulit air. Kalau di tempat transmigrasi ini katanya sudah ada waduk. Jadi air sudah pasti cukup,” katanya.
Sementara itu Perbekel Galungan Gede Haryono mengaku sengaja mendaftar sebagai peserta transmigrasi sebagai bentuk motivasi pada warganya yang lain, agar berani ikut transmigrasi.
Haryono sendiri mendaftar karena ingin mencari suasana baru. Selain itu, merantau juga bukan hal yang asing bagi dirinya. Sebab dulu ia sudah sempat merantau ke Sulawesi.
“Masa jabatan saya juga sudah habis bulan depan. Rencananya di sana saya mau bertani. Kebetulan cita-cita saya ingin punya kebun anggur.
Kalau lihat lokasinya, sepertinya cocok. Sudah bosan juga dengan kopi dan cengkih. Hasilnya sekarang sudah nggak bagus, harga juga sudah turun,” ujarnya.