DENPASAR – Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani kemarin mengatakan, Gunung Agung sudah dua bulan memasuki fase erupsi dengan empat kali jumlah letusan erupsi.
Itu mulai terjadi sejak erupsi pertama pada 21 November. Kemudian diikuti dengan erupsi berikutnya yakni 27 dan 28 November hingga erupsi dengan skala kecil akhir-akhir ini.
Efek erupsi gunung tertinggi di Bali tentunya abu vulkanik yang begitu pekat. Abu vulkanik yang keluar dari Gunung Agung selalu mengikuti arah angin.
Gunung Agung juga sempat mengalami erupsi stromboliar yang memuntahkan batuan magma pijar yang berwarna bunga merah.
Itu menunjukkan kondisi riil kandungan magma cair yang berada di dalam perut Gunung Agung. Banjir lahar menjadi fenomena yang kerap terjadi saat ini.
Hal ini terjadi karena curah hujan yang cukup tinggi di atas puncak Gunung Agung. “Melihat gejalanya, status Awas masih berlaku,” bebernya.
Kasbani juga menerangkan potensi awan panas masih dapat terjadi. Karena awan panas terjadi jika ada dobrakan tekanan dari dalam perut Gunung Agung.
Dalam dua minggu terakhir berdasar pengamatan dan pantauan sistemik dari alat GPS, volume magma Gunung Agung saat ini mencapai 20, 8 juta meter kubik dengan kedalaman 5 sampai 6 kilometer.
Terjadi penurunan dibandingkan dengan aktivitas Gunung Ggung pada awal yakni mencapai 40 juta meter kubik.
Apakah volume magma semakin hari akan terjadi penyusutan? Kata Kasbani tergantung pada dobrakan tekanan dari dalam.
Gunung Agung setiap ada pembentukan dan pembangunan magma, akan selalu ada tekanan keluar dan terjadi erupsi. Ini yang menjadi pemicu berkurangnya magma di Gunung Agung.
“Magma saat masih dalam kondisi stagnan di kedalaman 5 sampai 6 kilometer dari sepertiga volume kawah Gunung Agung. Untuk saat ini aktivitas Gunung Agung tidak perlu dikhawatirkan” tandasnya.