33.3 C
Jakarta
25 November 2024, 14:18 PM WIB

Protes Impor Pangan, Hasil Panen Distok untuk Ketahanan Pangan Warga

SINGARAJA – Menyikapi dampak mewabahnya pandemi Coronavirus Disease (Covid-19), Solidaritas Aksi Bali untuk Keadilan (SABUK)

bersama aktivis mahasiswa dan sejumlah Serikat Tani menggelorakan semangat Rakyat Bantu Rakyat (RBR).

Hal ini tampak mengemuka saat sosialisasi SABUK disela acara Halalbihalal Lebaran 1441 H yang diselenggarakan Serikat Tani Suka Makmur (STSM), Minggu, (24/5) kemarin di Singaraja, Buleleng.

Sehari sebelumnya, SABUK menerima dukungan solidaritas dari warga Pekraman Pekutatan, Jembrana.

‎”Di tengah Pandemi Covid 19, pasar dan swalayan kita dibanjiri produk pangan impor dari China. Di saat ada pembagian bantuan pangan, pemerintah semestinya membeli dari petani,

sehingga terjadi perputaran uang di desa dalam upaya memperkuat swasembada pangan. Bukan dari gudang-gudang para tauke yang rawan KKN

yang mengakibatkan produk rakyat terbengkalai dan bahkan membusuk dan dibuang,” ungkap Koordinator SABUK, Thomas Henry, alias Antok.

‎Antok menyebutkan, sebagai bagian dari upaya membendung kebijakan impor produk pangan di DPR RI, yang dilakukan orang seperti Nyoman Dhamantra,

atau penguatan swasembada pangan melalui PTPN Holding, inisiatif Kadek Laksana misalnya, berbuah jebakan dan kriminalisasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam kesempatan ini SABUK minta dukungan dan solidaritas, dengan menandatangani Pernyataan yang akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

‎Menanggapi penyampaian tersebut, Pak Mai, veteran pejuang 45 dan sekaligus Penasihat STSM, mengulang ungkapan Bung Karno.

Di mana petani sebagai ‘penyangga ekonomi nasional Indonesia’, yang sudah teruji sejak masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, dan kini di masa pandemi ini.

“Saya mulai khawatir dengan warga, terutama soal ketersediaan pangan dan kebutuhan sehari-hari. Banyak yang mulai menyiasati dengan menjual murah hasil taninya,

untuk membeli kebutuhan pokok lebih dari biasanya. Kita mesti bangun Lumbung Pangan, jika sewaktu-waktu dampak terburuk benar terjadi,” ungkap Pak Mai, sambil cerita pengalamannya di masa lalu.

‎Inisiatif ini sudah, sedang dan akan dilakukan para petani, mahasiswa, dan pekerja sosial di beberapa tempat di Bali Barat.

Mereka mengajak untuk tidak menjual hasil buminya, namun sebagai cadangan pangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Seperti petani di Desa Sumber Klampok, atau Desa Pemuteran, di Kecematan Gerokgak, Buleleng. Para petani di desa itu dan sekitar, menolak hasil taninya dibeli, terutama jagung dan hasil pangan lainnya. 

‎Ketua STSM Pemuteran Buleleng M. Razid menyatakan soal penolakan petani menjual hasil buminya. Bahkan, katanya, keputusan itu merupakan kesepakatan bersama anggota untuk tidak menjual jagung dan hasil pangan lain dengan alasan untuk menjaga ketahanan pangan rakyat.

Sekaligus, membantu mereka yang terdampak, dengan konsep ‘Rakyat Bantu Rakyat’, dan itu harus digelorakan di setiap desa.

Tidak hanya itu. Alasan hasil panen produk pangan tidak jual karena bagi petani dalam situasi yang serba tidak menentu akibat penurunan aktivitas masyarakat,

lebih baik memiliki stok pangan dari pada mengantongi uang. Jika memiliki uang, tapi tidak ada yang bisa dibeli akan lebih parah lagi.‎

“Memang itu menjadi kesepakatan kami tidak akan menjual hasil bumi terutama jagung pada musim panen kali ini. Kami khawatir virus Corona akan membuat kami lebih sulit.

Sekarang saja kesulitan itu mulai dirasakan oleh anggota tani Suka Makmur. Makanya kami berpikir lebih baik memiliki cadangan pangan daripada mengantongi uang,” terang Razid.

‎Pria yang pernah dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara terkait dengan penyelesaian konflik agraria di wilayah Bali pada Hari Tani Nasional,

24 September lalu, mengaku belakangan sejak virus Corona mewabah angotanya mengalami kesulitan terutama soal ekonomi.

Karena itu, lahan seluas 200 hektare berisi tanaman jagung ia putuskan tidak usah dijual. Dan dijadikan cadangan pangan jika datang masa-masa sulit nanti.

‎“Memang luasnya 200 hektare, yang sebagian besar berisi tanaman jagung. Jika lahan seluas satu hektare menghasilkan jagung sebanyak 2 atau 3 ton, maka sebanyak itulah jagung itu kami akan stok.

Selain untuk cadangan pangan, ya sisanya untuk bibit pada musim tanam mendatang, sekaligus memperkuat dan menjaga kedaulatan pangan, seperti arahan bapak Presiden,” imbuh Razid.

‎Tidak hanya jagung, terdapat tanaman lain juga sedang diupayakan tetap ada seiring dengan berkembangnya virus Corona tersebut.

Razid menyebut, tanaman holtikultura lainnya seperti ketela, ubi, sayur mayur, cabe bahkan ada tanaman buah naga yang sengaja disiapkan untuk antisipasi masa sulit.

‎“Untuk tanaman holtikultura lainnya cukup luas terutama untuk sayur-sayuran. Itu pun kami atur masa tanamnya agar bisa dimanfaatkan.

Kami merasa ini penting untuk menyiasati keadaan kedepan tidak menentu, maka melalui rakyat bantu rakyat, dampak pandemi ini dapat kita tanggung bersama,” tandasnya.‎

SINGARAJA – Menyikapi dampak mewabahnya pandemi Coronavirus Disease (Covid-19), Solidaritas Aksi Bali untuk Keadilan (SABUK)

bersama aktivis mahasiswa dan sejumlah Serikat Tani menggelorakan semangat Rakyat Bantu Rakyat (RBR).

Hal ini tampak mengemuka saat sosialisasi SABUK disela acara Halalbihalal Lebaran 1441 H yang diselenggarakan Serikat Tani Suka Makmur (STSM), Minggu, (24/5) kemarin di Singaraja, Buleleng.

Sehari sebelumnya, SABUK menerima dukungan solidaritas dari warga Pekraman Pekutatan, Jembrana.

‎”Di tengah Pandemi Covid 19, pasar dan swalayan kita dibanjiri produk pangan impor dari China. Di saat ada pembagian bantuan pangan, pemerintah semestinya membeli dari petani,

sehingga terjadi perputaran uang di desa dalam upaya memperkuat swasembada pangan. Bukan dari gudang-gudang para tauke yang rawan KKN

yang mengakibatkan produk rakyat terbengkalai dan bahkan membusuk dan dibuang,” ungkap Koordinator SABUK, Thomas Henry, alias Antok.

‎Antok menyebutkan, sebagai bagian dari upaya membendung kebijakan impor produk pangan di DPR RI, yang dilakukan orang seperti Nyoman Dhamantra,

atau penguatan swasembada pangan melalui PTPN Holding, inisiatif Kadek Laksana misalnya, berbuah jebakan dan kriminalisasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam kesempatan ini SABUK minta dukungan dan solidaritas, dengan menandatangani Pernyataan yang akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

‎Menanggapi penyampaian tersebut, Pak Mai, veteran pejuang 45 dan sekaligus Penasihat STSM, mengulang ungkapan Bung Karno.

Di mana petani sebagai ‘penyangga ekonomi nasional Indonesia’, yang sudah teruji sejak masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, dan kini di masa pandemi ini.

“Saya mulai khawatir dengan warga, terutama soal ketersediaan pangan dan kebutuhan sehari-hari. Banyak yang mulai menyiasati dengan menjual murah hasil taninya,

untuk membeli kebutuhan pokok lebih dari biasanya. Kita mesti bangun Lumbung Pangan, jika sewaktu-waktu dampak terburuk benar terjadi,” ungkap Pak Mai, sambil cerita pengalamannya di masa lalu.

‎Inisiatif ini sudah, sedang dan akan dilakukan para petani, mahasiswa, dan pekerja sosial di beberapa tempat di Bali Barat.

Mereka mengajak untuk tidak menjual hasil buminya, namun sebagai cadangan pangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Seperti petani di Desa Sumber Klampok, atau Desa Pemuteran, di Kecematan Gerokgak, Buleleng. Para petani di desa itu dan sekitar, menolak hasil taninya dibeli, terutama jagung dan hasil pangan lainnya. 

‎Ketua STSM Pemuteran Buleleng M. Razid menyatakan soal penolakan petani menjual hasil buminya. Bahkan, katanya, keputusan itu merupakan kesepakatan bersama anggota untuk tidak menjual jagung dan hasil pangan lain dengan alasan untuk menjaga ketahanan pangan rakyat.

Sekaligus, membantu mereka yang terdampak, dengan konsep ‘Rakyat Bantu Rakyat’, dan itu harus digelorakan di setiap desa.

Tidak hanya itu. Alasan hasil panen produk pangan tidak jual karena bagi petani dalam situasi yang serba tidak menentu akibat penurunan aktivitas masyarakat,

lebih baik memiliki stok pangan dari pada mengantongi uang. Jika memiliki uang, tapi tidak ada yang bisa dibeli akan lebih parah lagi.‎

“Memang itu menjadi kesepakatan kami tidak akan menjual hasil bumi terutama jagung pada musim panen kali ini. Kami khawatir virus Corona akan membuat kami lebih sulit.

Sekarang saja kesulitan itu mulai dirasakan oleh anggota tani Suka Makmur. Makanya kami berpikir lebih baik memiliki cadangan pangan daripada mengantongi uang,” terang Razid.

‎Pria yang pernah dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara terkait dengan penyelesaian konflik agraria di wilayah Bali pada Hari Tani Nasional,

24 September lalu, mengaku belakangan sejak virus Corona mewabah angotanya mengalami kesulitan terutama soal ekonomi.

Karena itu, lahan seluas 200 hektare berisi tanaman jagung ia putuskan tidak usah dijual. Dan dijadikan cadangan pangan jika datang masa-masa sulit nanti.

‎“Memang luasnya 200 hektare, yang sebagian besar berisi tanaman jagung. Jika lahan seluas satu hektare menghasilkan jagung sebanyak 2 atau 3 ton, maka sebanyak itulah jagung itu kami akan stok.

Selain untuk cadangan pangan, ya sisanya untuk bibit pada musim tanam mendatang, sekaligus memperkuat dan menjaga kedaulatan pangan, seperti arahan bapak Presiden,” imbuh Razid.

‎Tidak hanya jagung, terdapat tanaman lain juga sedang diupayakan tetap ada seiring dengan berkembangnya virus Corona tersebut.

Razid menyebut, tanaman holtikultura lainnya seperti ketela, ubi, sayur mayur, cabe bahkan ada tanaman buah naga yang sengaja disiapkan untuk antisipasi masa sulit.

‎“Untuk tanaman holtikultura lainnya cukup luas terutama untuk sayur-sayuran. Itu pun kami atur masa tanamnya agar bisa dimanfaatkan.

Kami merasa ini penting untuk menyiasati keadaan kedepan tidak menentu, maka melalui rakyat bantu rakyat, dampak pandemi ini dapat kita tanggung bersama,” tandasnya.‎

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/