33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:58 PM WIB

Pertanian Terkikis, Jineng di Tabanan Berubah jadi Tempat Tidur Turis

TABANAN – Setelah sebelumnya UPTD Museum Subak Tabanan telah melakukan kajian penelitian ketungan salah satu alat pertanian yang menjadi koleksinya. Kini salah satu koleksi dari Museum Subak Tabanan yakni jineng juga dilakukan penelitian keberadaannya di Tabanan.

Penelitian jineng tempat penyimpanan padi mengambil lokasi di Desa Wongaya Gede, Penebel, Jineng Megati, Selemadeg Timur, Jineng Subamia Bale Agung, Bongan Gede, Bongan Jawa, jineng Puri Kaba-Kaba dan Jineng Puri Gede Tabanan.

Penelitian keberadaan jineng di Tabanan melibatkan beberapa dosen, seniman dan budayawan. Di antaranya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, Kadek Suartaya, Ida Bagus Nyoman Astawa dan I Made Wardana. Termasuk kepala UPTD Museum Subak Tabanan selaku ketua tim kajian penelitian. 

Ketua Tim Kajian Penelitian Koleksi Museum Subak Tabanan Ida Ayu Ratna Pawitrani mengatakan jineng dari hasil kajian timnya setelah melakukan penelitian keberadaannya di Tabanan. Sejatinya tidak ada memiliki ciri khas tertentu. Hampir sama bentuk bangunan jineng pada umumnya di Bali sebagai tempat penyimpanan padi/gabah. Hanya penamanaannya yang berbeda.

“Petani Tabanan menyebut jineng. Ada juga yang menyebut lumbung, glebeg, kelumpu,” ungkap perempuan berusia 51 yang juga Kepala UPTD Museum Subak Dinas Kebudayaan Tabanan.

Dijelaskan Ida Ayu keberadaan jineng sejatinya bukan hanya sebagai tempat penyimpanan padi. Melainkan juga sebagai penanda status sosial di masyarakat di Bali. Salah satu contoh bila jineng dalam sebuah rumah ukuran besar dengan memiliki saka 6 tiang.

Secara otomatis menunjukkan status sosial. Masyarakat yang memiliki jineng enam tiang barang tentu pasti memiliki lahan pertanian yang mencapai puluhan hingga ratusan hektar.

“Kondisi jineng seperti ini masih kami temukan di Desa Wongaya Gede, Penebel. Di mana dalam setiap satu pemesuan dengan 5 kepala keluarga. Maka ada 5 jineng tempat penyimpanan padi yang dibuat oleh setiap KK dan jineng secara utuh masih digunakan menyimpan padi,” terangnya, Jumat, (27/11).

Dia menambahkan kendati masih banyak pihaknya temukan keberadaan jineng dengan usia di atas 50 tahun lebih di Tabanan, tetapi jineng sudah beralih fungsi. Bukan lagi sebagai tempat penyimpanan padi di tengah masyarakat Tabanan. Jineng malah dijadikan sebagai tempat penampungan apa saja yang menyangkut peralatan pertanian hingga barang-barang dapur di rumah tangga.

Selain itu, karena Bali tergerus dengan industri pariwisata, jineng juga beralih fungsi sebagai tempat tidur turis sebagaimana villa. Namun dengan mempertahankan arsitektur dari jineng. Faktor lainnya yang merubah fungsi jineng juga, karena modernisasi pertanian. Di mana masuknya alat pertanian modern dan varietas bibit padi baru yang mengalahkan bibit padi lokal.

“Dulunya padi dengan varietas lokal dipanen dengan akarnya. Sedang varietas bibit baru cukup padi dipanen dengan cara dipotong pada batangnya. Sehingga gabah tidak dapat diikat untuk ditampung pada jineng,” tandasnya. 

TABANAN – Setelah sebelumnya UPTD Museum Subak Tabanan telah melakukan kajian penelitian ketungan salah satu alat pertanian yang menjadi koleksinya. Kini salah satu koleksi dari Museum Subak Tabanan yakni jineng juga dilakukan penelitian keberadaannya di Tabanan.

Penelitian jineng tempat penyimpanan padi mengambil lokasi di Desa Wongaya Gede, Penebel, Jineng Megati, Selemadeg Timur, Jineng Subamia Bale Agung, Bongan Gede, Bongan Jawa, jineng Puri Kaba-Kaba dan Jineng Puri Gede Tabanan.

Penelitian keberadaan jineng di Tabanan melibatkan beberapa dosen, seniman dan budayawan. Di antaranya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, Kadek Suartaya, Ida Bagus Nyoman Astawa dan I Made Wardana. Termasuk kepala UPTD Museum Subak Tabanan selaku ketua tim kajian penelitian. 

Ketua Tim Kajian Penelitian Koleksi Museum Subak Tabanan Ida Ayu Ratna Pawitrani mengatakan jineng dari hasil kajian timnya setelah melakukan penelitian keberadaannya di Tabanan. Sejatinya tidak ada memiliki ciri khas tertentu. Hampir sama bentuk bangunan jineng pada umumnya di Bali sebagai tempat penyimpanan padi/gabah. Hanya penamanaannya yang berbeda.

“Petani Tabanan menyebut jineng. Ada juga yang menyebut lumbung, glebeg, kelumpu,” ungkap perempuan berusia 51 yang juga Kepala UPTD Museum Subak Dinas Kebudayaan Tabanan.

Dijelaskan Ida Ayu keberadaan jineng sejatinya bukan hanya sebagai tempat penyimpanan padi. Melainkan juga sebagai penanda status sosial di masyarakat di Bali. Salah satu contoh bila jineng dalam sebuah rumah ukuran besar dengan memiliki saka 6 tiang.

Secara otomatis menunjukkan status sosial. Masyarakat yang memiliki jineng enam tiang barang tentu pasti memiliki lahan pertanian yang mencapai puluhan hingga ratusan hektar.

“Kondisi jineng seperti ini masih kami temukan di Desa Wongaya Gede, Penebel. Di mana dalam setiap satu pemesuan dengan 5 kepala keluarga. Maka ada 5 jineng tempat penyimpanan padi yang dibuat oleh setiap KK dan jineng secara utuh masih digunakan menyimpan padi,” terangnya, Jumat, (27/11).

Dia menambahkan kendati masih banyak pihaknya temukan keberadaan jineng dengan usia di atas 50 tahun lebih di Tabanan, tetapi jineng sudah beralih fungsi. Bukan lagi sebagai tempat penyimpanan padi di tengah masyarakat Tabanan. Jineng malah dijadikan sebagai tempat penampungan apa saja yang menyangkut peralatan pertanian hingga barang-barang dapur di rumah tangga.

Selain itu, karena Bali tergerus dengan industri pariwisata, jineng juga beralih fungsi sebagai tempat tidur turis sebagaimana villa. Namun dengan mempertahankan arsitektur dari jineng. Faktor lainnya yang merubah fungsi jineng juga, karena modernisasi pertanian. Di mana masuknya alat pertanian modern dan varietas bibit padi baru yang mengalahkan bibit padi lokal.

“Dulunya padi dengan varietas lokal dipanen dengan akarnya. Sedang varietas bibit baru cukup padi dipanen dengan cara dipotong pada batangnya. Sehingga gabah tidak dapat diikat untuk ditampung pada jineng,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/