33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:48 PM WIB

Protes WN Denmark Tendang Pelinggih, Polisi Sebut Sudah Ada Tersangka

SINGARAJA – Sejumlah tokoh di Desa Kalibukbuk, mendatangi Mapolres Buleleng kemarin (28/1). Para tokoh ini hendak mempertanyakan penanganan kasus dugaan perusakan pelinggih yang dilakukan oleh LC, WNA asal Denmark.

Perusakan itu terjadi pada Oktober 2019 lalu. Para tokoh yang mendatang Mapolres Buleleng itu adalah Perbekel Kalibukbuk Ketut Suka,

Kelian Desa Adat Kalibukbuk Gede Subrata, Baga Parahyangan PHDI Kalibukbuk Ketut Samiada, dan Kelian Banjar Dinas Kalibukbuk Gede Suarjana.

Mereka sempat bertemu dengan Kapolres Buleleng AKBP I Made Sinar Subawa dan Kasat Reskrim Polres Buleleng AKP Vicky Tri Haryanto.

Perbekel Ketut Suka mengatakan, dirinya sengaja mendatangi Mapolres Buleleng, karena selama ini peristiwa itu menjadi perbincangan di masyarakat. terutama di Desa Kalibukbuk.

Masyarakat menganggap proses pembongkaran atau pralina yang dilakukan tidak sesuai dengan tata cara yang tersurat dalam sastra agama.

“Kami masyarakat Hindu tidak terima dan merasa terlecehkan. Dalam perkembangan, masyarakat mempertanyakan penanganan kasus ini.

Karena di masyarakat itu muncul selentingan, amen anake len gangsar gati. Makanya kami hari ini datang bersama prajuru adat, menanyakan perkembangan kasus ini,” kata Suka.

Ia mengaku ada keresahan tersendiri di masyarakat. Apabila kasus itu dibiarkan, ia khawatir akan menjadi preseden buruk dalam pelestarian agama, adat, dan budaya di Desa Kalibukbuk.

Bersyukur sejauh ini aparat desa masih mampu meredam kegelisahan masyarakat. Dari penjelasan penyidik, Suka juga menyebut LC telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

“Apa yang disampaikan oleh Pak Kapolres dan Pak Kasat Reskrim, akan kami sampaikan ke masyarakat. Bahwa kasus ini tidak didiamkan.

Sehingga situasi di masyarakat juga bisa lebih kondusif. Kami sangat menghormati proses yang tengah berjalan di kepolisian,” imbuhnya.

Di sisi lain Kelian Adat Kalibukbuk Gede Subrata mengatakan krama merasa tersinggung dan keberatan dengan proses pralina tersebut. Karena prosesnya cenderung ke pelecehan ketimbang proses pralina.

Menurutnya, selama ini prajuru adat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan adat. Bahkan dalam proses persembahyangan di pura kahyangan tiga, krama diseleksi secara ketat. 

Krama harus mengenakan pakaian yang rapi dan sopan tiap kali masuk ke parahyangan pura. “Apalagi ada orang luar yang menganggap remeh simbol agama kami.

Saya terus terang tidak terima dengan cara (pembongkaran) begitu. Kami harap ini peristiwa yang pertama dan terakhir,” katanya.

Sementara itu Kasat Reskrim Polres Buleleng AKP Vicky Tri Haryanto yang dikonfirmasi terpisah, menyatakan penyidik telah menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

“Sudah kami tetapkan satu tersangka. Kami masih lakukan panggilan pertama untuk diperiksa sebagai tersangka,” kata Vicky.

Menurutnya status tersangka disematkan pada LC, karena dianggap telah memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam pasal 406 KUHP.

Meski sudah berstatus tersangka, polisi tak bisa melakukan penahanan. Sebab ancaman hukuman hanya 2 tahun dan 8 bulan penjara.

“Ancaman hukumannya di bawah 5 tahun. Jadi tidak bisa dilakukan penahanan. Karena perintah undang-undang seperti itu,” tegasnya.

Sekadar mengingatkan, seorang WNA asal Denmark berinisial LC terekam menendang sebuah pelinggih jro gede di sebuah properti yang terletak di Desa Kalibukbuk.

LC mengklaim menendang pelinggih itu karena sebelumnya pelinggih sudah rusak dan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemujaan. Belakangan ia mengganti pelinggih itu dengan yang baru.

Pada Senin (21/10) lalu, LC mendatangi Mapolres Buleleng untuk mengajukan pengaduan masyarakat.

Ia mengadukan Ria Arista, warga Desa Kalibukbuk, yang diduga merekam video saat C merobohkan pelinggih dengan cara menendang.

Lars mengadukan Ria Arista melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE).Saat di Mapolres Buleleng, LC tak menampik dirinya sempat menendang pelinggih.

“Saya dari Denmark dan mayoritas penduduknya kristiani. Kami punya banyak perbedaan dengan kultur Hindu. Saya tidak tahu bahwa saya

telah berbuat hal yang menyinggung dan tidak pantas, dengan menendang pelinggih jro gede itu,” ujarnya kala itu. 

SINGARAJA – Sejumlah tokoh di Desa Kalibukbuk, mendatangi Mapolres Buleleng kemarin (28/1). Para tokoh ini hendak mempertanyakan penanganan kasus dugaan perusakan pelinggih yang dilakukan oleh LC, WNA asal Denmark.

Perusakan itu terjadi pada Oktober 2019 lalu. Para tokoh yang mendatang Mapolres Buleleng itu adalah Perbekel Kalibukbuk Ketut Suka,

Kelian Desa Adat Kalibukbuk Gede Subrata, Baga Parahyangan PHDI Kalibukbuk Ketut Samiada, dan Kelian Banjar Dinas Kalibukbuk Gede Suarjana.

Mereka sempat bertemu dengan Kapolres Buleleng AKBP I Made Sinar Subawa dan Kasat Reskrim Polres Buleleng AKP Vicky Tri Haryanto.

Perbekel Ketut Suka mengatakan, dirinya sengaja mendatangi Mapolres Buleleng, karena selama ini peristiwa itu menjadi perbincangan di masyarakat. terutama di Desa Kalibukbuk.

Masyarakat menganggap proses pembongkaran atau pralina yang dilakukan tidak sesuai dengan tata cara yang tersurat dalam sastra agama.

“Kami masyarakat Hindu tidak terima dan merasa terlecehkan. Dalam perkembangan, masyarakat mempertanyakan penanganan kasus ini.

Karena di masyarakat itu muncul selentingan, amen anake len gangsar gati. Makanya kami hari ini datang bersama prajuru adat, menanyakan perkembangan kasus ini,” kata Suka.

Ia mengaku ada keresahan tersendiri di masyarakat. Apabila kasus itu dibiarkan, ia khawatir akan menjadi preseden buruk dalam pelestarian agama, adat, dan budaya di Desa Kalibukbuk.

Bersyukur sejauh ini aparat desa masih mampu meredam kegelisahan masyarakat. Dari penjelasan penyidik, Suka juga menyebut LC telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

“Apa yang disampaikan oleh Pak Kapolres dan Pak Kasat Reskrim, akan kami sampaikan ke masyarakat. Bahwa kasus ini tidak didiamkan.

Sehingga situasi di masyarakat juga bisa lebih kondusif. Kami sangat menghormati proses yang tengah berjalan di kepolisian,” imbuhnya.

Di sisi lain Kelian Adat Kalibukbuk Gede Subrata mengatakan krama merasa tersinggung dan keberatan dengan proses pralina tersebut. Karena prosesnya cenderung ke pelecehan ketimbang proses pralina.

Menurutnya, selama ini prajuru adat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan adat. Bahkan dalam proses persembahyangan di pura kahyangan tiga, krama diseleksi secara ketat. 

Krama harus mengenakan pakaian yang rapi dan sopan tiap kali masuk ke parahyangan pura. “Apalagi ada orang luar yang menganggap remeh simbol agama kami.

Saya terus terang tidak terima dengan cara (pembongkaran) begitu. Kami harap ini peristiwa yang pertama dan terakhir,” katanya.

Sementara itu Kasat Reskrim Polres Buleleng AKP Vicky Tri Haryanto yang dikonfirmasi terpisah, menyatakan penyidik telah menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

“Sudah kami tetapkan satu tersangka. Kami masih lakukan panggilan pertama untuk diperiksa sebagai tersangka,” kata Vicky.

Menurutnya status tersangka disematkan pada LC, karena dianggap telah memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam pasal 406 KUHP.

Meski sudah berstatus tersangka, polisi tak bisa melakukan penahanan. Sebab ancaman hukuman hanya 2 tahun dan 8 bulan penjara.

“Ancaman hukumannya di bawah 5 tahun. Jadi tidak bisa dilakukan penahanan. Karena perintah undang-undang seperti itu,” tegasnya.

Sekadar mengingatkan, seorang WNA asal Denmark berinisial LC terekam menendang sebuah pelinggih jro gede di sebuah properti yang terletak di Desa Kalibukbuk.

LC mengklaim menendang pelinggih itu karena sebelumnya pelinggih sudah rusak dan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemujaan. Belakangan ia mengganti pelinggih itu dengan yang baru.

Pada Senin (21/10) lalu, LC mendatangi Mapolres Buleleng untuk mengajukan pengaduan masyarakat.

Ia mengadukan Ria Arista, warga Desa Kalibukbuk, yang diduga merekam video saat C merobohkan pelinggih dengan cara menendang.

Lars mengadukan Ria Arista melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE).Saat di Mapolres Buleleng, LC tak menampik dirinya sempat menendang pelinggih.

“Saya dari Denmark dan mayoritas penduduknya kristiani. Kami punya banyak perbedaan dengan kultur Hindu. Saya tidak tahu bahwa saya

telah berbuat hal yang menyinggung dan tidak pantas, dengan menendang pelinggih jro gede itu,” ujarnya kala itu. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/