33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 11:59 AM WIB

Ganti Rugi Kecil, Pemilik Lahan Pilih Ajukan Keberatan ke Pengadilan

SINGARAJA – Pemerintah segera menuntaskan proses ganti rugi lahan di jalur shortcut titik 7-10. Sayangnya nilai ganti rugi yang ditawarkan pemerintah, dikeluhkan warga pemilik lahan.

Harga yang ditawarkan dianggap tak layak, bahkan jauh dari nilai pasar. Fakta itu terungkap saat Pemprov Bali mengundang para pemilik lahan di Gedung Kesenian Gde Manik.

Tercatat ada 298 orang pemilik lahan yang diundang untuk menerima ganti rugi. Sebanyak 175 orang diantaranya berasal dari Desa Pegayaman, 155 orang berasal dari Desa Gitgit, dan 8 orang lainnya dari Desa Wanagiri.

Pemilik lahan Imam Muhajir, warga Desa Pegayaman mengatakan, dari segi tanah, nilai yang ditawarkan pemerintah jauh di bawah harga pasaran.

Biasanya harga tanah di sekitar Desa Pegayaman, di atas Rp 100 juta per are. “Harga tanah di Pegayaman itu umumnya di atas Rp 100 juta.

Tetangga saya saja baru-baru ini beli Rp 115 juta per are. Memang ada yang jual harga Rp 7 juta per are, tapi harus beli global 2 hektare. Kami kan tidak punya kemampuan sebesar itu. Sebab ini tanah waris,” kata Muhajir.

Selain itu ia juga mengeluhkan nominal ganti rugi tanaman. Untuk sebatang pohon cengkih, dinilai seharga Rp 1,38 juta.

Nominal ganti rugi itu dianggap tidak cukup. Semestinya pemerintah juga memasukkan nilai ganti rugi selama petani cengkih menanam bibit baru.

“Kalau kita tanam pohon baru, itu 5 tahun baru belajar berbunga. Bisa-bisa 10 tahun baru dapat hasil. Ini kerugian mata pencaharian kami selama itu tidak dihitung,” keluhnya lagi.

Terhadap kondisi itu, Muhajir berencana mengajukan keberatan ke pengadilan. “Saya sih mau saja ke pengadilan. Tapi tidak tahu warga yang lain.

Namanya masyarakat kecil, bicara pengadilan itu saja sudah berpikir. Sekarang ini kan kebanyakan sudah nggak bisa ngomong apa,” tegasnya.

Meski kebanyakan menolak, ada pula yang menerima tawaran yang diberikan pemerintah. Salah satunya Nyoman Panca.

Ia memiliki lahan di Banjar Dinas Wirabhuana, Desa Gitgit. Total lahan yang dikenakan proyek shortcut mencapai 94 are.

Menurut Panca, di atas lahan itu ada bangunan rumah, dapur, gudang, pelinggih, dan tanaman kebun.

“Kami bisa legowo dengan nilai yang ditawarkan. Sebenarnya kami tidak berniat melepas, karena itu tanah leluhur. Tapi karena dibutuhkan pemerintah, ya sudah direlakan saja,” kata Panca tanpa bersedia menyebut nominal yang diberikan.

Hanya saja Panca berharap sisa lahannya seluas 35 are, turut dibebaskan pemerintah. sebab lahan itu tak bisa dimanfaatkan lagi.

“Jangankan membangun, jadi tanah kebun juga tidak bisa. bagaimana mau menanam, mau lewat saja sudah nggak ada jalan,” katanya.

Sementara itu Ketua Tim Pembebasan Lahan, Komang Wedana tak menampik ada keberatan yang diajukan masyarakat. Poin keberatan itu pun beragam.

Seperti jumlah pendataan tanaman yang dilakukan pemerintah berbeda dengan yang didata oleh konsultan penilai, nilai tanaman produktif, termasuk nilai tanah.

“Kalau tanah hampir semua setuju. Nah kalau tanaman itu argumentasi begini. Warga menganggap cengkih itu seharusnya bukan pohonnya saja yang dihargai. Tapi hasil panennya juga.

Ketika pohon itu ditebang, mereka harus menanam. Paling 5-10 tahun lagi baru bisa panen. Nah, waktu menunggu selama 10 tahun ini menurut mereka harus diperhitungkan juga,” kata Wedana.

Sayangnya tim pembebasan lahan tak bisa memberikan argumentasi terhadap penilaian yang dianggap luput itu.

Tim menyebut peniliaian dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang disewa pemerintah. Masalahnya konsultan yang menilai proses tersebut, tak hadir dalam pertemuan kemarin.

“Memang sayang sekali pihak yang melakukan appraisal tidak hadir. Sudah kami hubungi dan segera kami laksanakan (pertemuan lanjutan),” tegas pria yang juga Kepala Kantor Pertanahan Buleleng itu.

Bagaimana dengan warga yang keberatan? Wedana menegaskan pemerintah sudah menyiapkan mekanismenya.

Pemerintah rencananya akan menitipkan uang pembebasan lahan melalui mekanisme konsinyasi di Pengadilan Negeri Singaraja. Nantinya pengadilan akan memanggil pihak yang keberatan dan memberikan nilai yang pantas.

“Kalau cocok, monggo langsung tanda tangan kwitansi, besok (uangnya) masuk rekening. Kalau belum, ya kami tunda dan silakan

ikut mekanisme. Uangnya segera kami titipkan (ke pengadilan). Besok atau dua hari lagi, sudah kami serahkan,” tukasnya.

Sekadar diketahui, lahan yang dibutuhkan untuk pembuatan jalur shortcut mencapai 31,41 hektare. Pemerintah menyiapkan anggaran tak kurang dari Rp 190 miliar untuk pembebasan lahan.

Sementara untuk biaya konstruksi diperkirakan menelan dana Rp 247,76 miliar. Ruas shortcut Singaraja-Denpasar akan memperpendek waktu dan jarak tempuh.

Jumlah tikungan yang tadinya mencapai 70 buah, dipangkas menjadi 22 buah tikungan saja. Di sepanjang jalan baru itu, pemerintah akan membangun enam jembatan penghubung.

Titik terpanjang ada di shortcut 10 yang dimulai dari sekitar SDN 4 Gitgit, hingga sekitar Gereja Gunung Muria di Desa Gitgit. Panjang ruas shortcut 7-10 disebut mencapai 6,8 kilometer. 

SINGARAJA – Pemerintah segera menuntaskan proses ganti rugi lahan di jalur shortcut titik 7-10. Sayangnya nilai ganti rugi yang ditawarkan pemerintah, dikeluhkan warga pemilik lahan.

Harga yang ditawarkan dianggap tak layak, bahkan jauh dari nilai pasar. Fakta itu terungkap saat Pemprov Bali mengundang para pemilik lahan di Gedung Kesenian Gde Manik.

Tercatat ada 298 orang pemilik lahan yang diundang untuk menerima ganti rugi. Sebanyak 175 orang diantaranya berasal dari Desa Pegayaman, 155 orang berasal dari Desa Gitgit, dan 8 orang lainnya dari Desa Wanagiri.

Pemilik lahan Imam Muhajir, warga Desa Pegayaman mengatakan, dari segi tanah, nilai yang ditawarkan pemerintah jauh di bawah harga pasaran.

Biasanya harga tanah di sekitar Desa Pegayaman, di atas Rp 100 juta per are. “Harga tanah di Pegayaman itu umumnya di atas Rp 100 juta.

Tetangga saya saja baru-baru ini beli Rp 115 juta per are. Memang ada yang jual harga Rp 7 juta per are, tapi harus beli global 2 hektare. Kami kan tidak punya kemampuan sebesar itu. Sebab ini tanah waris,” kata Muhajir.

Selain itu ia juga mengeluhkan nominal ganti rugi tanaman. Untuk sebatang pohon cengkih, dinilai seharga Rp 1,38 juta.

Nominal ganti rugi itu dianggap tidak cukup. Semestinya pemerintah juga memasukkan nilai ganti rugi selama petani cengkih menanam bibit baru.

“Kalau kita tanam pohon baru, itu 5 tahun baru belajar berbunga. Bisa-bisa 10 tahun baru dapat hasil. Ini kerugian mata pencaharian kami selama itu tidak dihitung,” keluhnya lagi.

Terhadap kondisi itu, Muhajir berencana mengajukan keberatan ke pengadilan. “Saya sih mau saja ke pengadilan. Tapi tidak tahu warga yang lain.

Namanya masyarakat kecil, bicara pengadilan itu saja sudah berpikir. Sekarang ini kan kebanyakan sudah nggak bisa ngomong apa,” tegasnya.

Meski kebanyakan menolak, ada pula yang menerima tawaran yang diberikan pemerintah. Salah satunya Nyoman Panca.

Ia memiliki lahan di Banjar Dinas Wirabhuana, Desa Gitgit. Total lahan yang dikenakan proyek shortcut mencapai 94 are.

Menurut Panca, di atas lahan itu ada bangunan rumah, dapur, gudang, pelinggih, dan tanaman kebun.

“Kami bisa legowo dengan nilai yang ditawarkan. Sebenarnya kami tidak berniat melepas, karena itu tanah leluhur. Tapi karena dibutuhkan pemerintah, ya sudah direlakan saja,” kata Panca tanpa bersedia menyebut nominal yang diberikan.

Hanya saja Panca berharap sisa lahannya seluas 35 are, turut dibebaskan pemerintah. sebab lahan itu tak bisa dimanfaatkan lagi.

“Jangankan membangun, jadi tanah kebun juga tidak bisa. bagaimana mau menanam, mau lewat saja sudah nggak ada jalan,” katanya.

Sementara itu Ketua Tim Pembebasan Lahan, Komang Wedana tak menampik ada keberatan yang diajukan masyarakat. Poin keberatan itu pun beragam.

Seperti jumlah pendataan tanaman yang dilakukan pemerintah berbeda dengan yang didata oleh konsultan penilai, nilai tanaman produktif, termasuk nilai tanah.

“Kalau tanah hampir semua setuju. Nah kalau tanaman itu argumentasi begini. Warga menganggap cengkih itu seharusnya bukan pohonnya saja yang dihargai. Tapi hasil panennya juga.

Ketika pohon itu ditebang, mereka harus menanam. Paling 5-10 tahun lagi baru bisa panen. Nah, waktu menunggu selama 10 tahun ini menurut mereka harus diperhitungkan juga,” kata Wedana.

Sayangnya tim pembebasan lahan tak bisa memberikan argumentasi terhadap penilaian yang dianggap luput itu.

Tim menyebut peniliaian dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang disewa pemerintah. Masalahnya konsultan yang menilai proses tersebut, tak hadir dalam pertemuan kemarin.

“Memang sayang sekali pihak yang melakukan appraisal tidak hadir. Sudah kami hubungi dan segera kami laksanakan (pertemuan lanjutan),” tegas pria yang juga Kepala Kantor Pertanahan Buleleng itu.

Bagaimana dengan warga yang keberatan? Wedana menegaskan pemerintah sudah menyiapkan mekanismenya.

Pemerintah rencananya akan menitipkan uang pembebasan lahan melalui mekanisme konsinyasi di Pengadilan Negeri Singaraja. Nantinya pengadilan akan memanggil pihak yang keberatan dan memberikan nilai yang pantas.

“Kalau cocok, monggo langsung tanda tangan kwitansi, besok (uangnya) masuk rekening. Kalau belum, ya kami tunda dan silakan

ikut mekanisme. Uangnya segera kami titipkan (ke pengadilan). Besok atau dua hari lagi, sudah kami serahkan,” tukasnya.

Sekadar diketahui, lahan yang dibutuhkan untuk pembuatan jalur shortcut mencapai 31,41 hektare. Pemerintah menyiapkan anggaran tak kurang dari Rp 190 miliar untuk pembebasan lahan.

Sementara untuk biaya konstruksi diperkirakan menelan dana Rp 247,76 miliar. Ruas shortcut Singaraja-Denpasar akan memperpendek waktu dan jarak tempuh.

Jumlah tikungan yang tadinya mencapai 70 buah, dipangkas menjadi 22 buah tikungan saja. Di sepanjang jalan baru itu, pemerintah akan membangun enam jembatan penghubung.

Titik terpanjang ada di shortcut 10 yang dimulai dari sekitar SDN 4 Gitgit, hingga sekitar Gereja Gunung Muria di Desa Gitgit. Panjang ruas shortcut 7-10 disebut mencapai 6,8 kilometer. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/