28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:05 AM WIB

Petani Garam Pejarakan Bersiap Musim Tanam, Ini Kendalanya…

DENPASAR – Petani garam Pejarakan, Gerokgak kembali melakukan aktivitas penggaraman. Hanya belum banyak petani garam yang melakukan aktivitas tersebut.

Sebagian khawatir karena hujan beberapa kali masih turun.  Ketua Gabungan Kelompok Usaha Garam Rakyat “Bumi Putih” Desa Pejarakan, Iksan mengungkapkan, hujan beberapa kali turun di Gerokgak.

“Iya, kami mulai turun mempersiapkan lahan untuk lokasi penggaraman, seperti menguras dan membersihkan lahan untuk penggaraman. Hampir enam bulan kami tidak beraktivitas,” ujar Iksan saat ditemui kemarin (15/4).

Normalnya, kata dia, aktivitas penggaraman dilakukan pada bulan Mei. Hal tersebut berdasar pantauan bulan atas dan bawah.

Bulan atas terjadi pada bulan Mei. Saat itu biasanya berlangsung musim kemarau, musim yang tepat dilakukan aktivitas penggaraman.

“Saat ini belum berani, karena dua minggu tidak hujan, nanti hujan lagi sekali besar. Ini akan merugikan juga nanti. Mending tunggu pastinya saja, bulan Mei,” paparnya.

Untuk cuaca normal, panen garam bisa dilakukan dalam sepuluh hari sekali. Selama musim hujan, sejak satu bulan lalu stok garam di tingkat petani sudah habis.

Sehingga pengepul yang biasanya menyerap hasil produksi garam di desa Pejarakan ini membeli ke luar daerah Bali. Seperti ke Gresik, Lamongan, dan Madura.

“Ini untuk dijual di Bali. Harga di tingkat petani per kilo sekarang Rp 1.500. Lumayan bagus. Semoga terus bertahan seperti ini harganya,” kata Iksan.

Desa Pejarakan menjadi sentra penghasil garam terbesar di Bali. Selama musim kemarau dalam kurun waktu lima bulan, produksi garam di daerah ini mencapai 15 ribu ton.

Di mana untuk satu hektare lahan garam bisa menghasilkan 150 ton. Luas lahan total yang ada mencapai 200 hektare, dengan rincian 40 hektare milik petani, sisanya milik Pemkab Buleleng. 

DENPASAR – Petani garam Pejarakan, Gerokgak kembali melakukan aktivitas penggaraman. Hanya belum banyak petani garam yang melakukan aktivitas tersebut.

Sebagian khawatir karena hujan beberapa kali masih turun.  Ketua Gabungan Kelompok Usaha Garam Rakyat “Bumi Putih” Desa Pejarakan, Iksan mengungkapkan, hujan beberapa kali turun di Gerokgak.

“Iya, kami mulai turun mempersiapkan lahan untuk lokasi penggaraman, seperti menguras dan membersihkan lahan untuk penggaraman. Hampir enam bulan kami tidak beraktivitas,” ujar Iksan saat ditemui kemarin (15/4).

Normalnya, kata dia, aktivitas penggaraman dilakukan pada bulan Mei. Hal tersebut berdasar pantauan bulan atas dan bawah.

Bulan atas terjadi pada bulan Mei. Saat itu biasanya berlangsung musim kemarau, musim yang tepat dilakukan aktivitas penggaraman.

“Saat ini belum berani, karena dua minggu tidak hujan, nanti hujan lagi sekali besar. Ini akan merugikan juga nanti. Mending tunggu pastinya saja, bulan Mei,” paparnya.

Untuk cuaca normal, panen garam bisa dilakukan dalam sepuluh hari sekali. Selama musim hujan, sejak satu bulan lalu stok garam di tingkat petani sudah habis.

Sehingga pengepul yang biasanya menyerap hasil produksi garam di desa Pejarakan ini membeli ke luar daerah Bali. Seperti ke Gresik, Lamongan, dan Madura.

“Ini untuk dijual di Bali. Harga di tingkat petani per kilo sekarang Rp 1.500. Lumayan bagus. Semoga terus bertahan seperti ini harganya,” kata Iksan.

Desa Pejarakan menjadi sentra penghasil garam terbesar di Bali. Selama musim kemarau dalam kurun waktu lima bulan, produksi garam di daerah ini mencapai 15 ribu ton.

Di mana untuk satu hektare lahan garam bisa menghasilkan 150 ton. Luas lahan total yang ada mencapai 200 hektare, dengan rincian 40 hektare milik petani, sisanya milik Pemkab Buleleng. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/