26.2 C
Jakarta
14 September 2024, 4:18 AM WIB

Pandemi Covid-19, Petani Garam di Les Tejakula Pilih Tetap Bertahan

SINGARAJA – Para petani garam di Desa Les, Kecamatan Tejakula, tetap bertahan di masa pandemi covid-19. Para petani juga tetap bertahan dengan cara tradisional.

Sayangnya jumlah petani garam tradisional di Desa Les kini tak banyak lagi. Sebagian besar sudah berusia sepuh.

Salah satu warga yang masih menjalani hidup sebagai petani garam ialah Nengah Malik Karsa. Pria yang tinggal di Banjar Tegallinggah, Desa Les ini sudah menjadi petani garam sejak tahun 1976 silam.

Sejak dulu hingga kini ia masih melakukan proses bertani garam secara tradisional. “Kalau saya sudah dari pas gempa Seririt (tahun 1976) sudah mulai jadi petani garam. Sampai sekarang masih seperti ini,” katanya.

Setiap pagi dan sore ia mendatangi Pantai Ponjok Ati di sisi utara Desa Les. Setiap tiga atau empat hari, ia akan melakukan panen garam.

Hasilnya cukup dijual di pasar desa. Meski hasilnya tak seberapa, hasil itu sudah cukup baginya. Karsa menuturkan, proses pembuatan garam harus dimulai dari mematangkan lahan.

Selama sepekan, ia harus menyiapkan lahan untuk membuat garam. Setelah lahan siap, ia mengangkut air laut menggunakan alat yang disebut sene. Air laut kemudian disiramkan ke lahan  tersebut.

Setelah tuntas menyiram lahan, tanah langsung digemburkan. Proses ini disebut dengan mangkrak. Proses ini dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pada pagi dan sore hari.

Selanjutnya bila tanah sudah kering, maka tanah diangkat ke palung penampungan yang disebut tinjung. Setelah tanah dipadatkan, tinjung kembali disiram dengan air laut.

“Fungsinya menyaring air laut yang mau dijemur. Nanti tunggu tiga hari, kalau terang, sudah bisa panen. Tapi kalau mendung, bisa empat hari, malah bisa lebih lama,” katanya.

Dalam sekali panen, biasanya Karsa mendapat hasil maksimal sebanyak 50 kilogram. Garam itu kemudian dibawa ke pasar tradisional di pusat Desa Les.

Untuk satu kilogram garam, biasanya dijual dengan harga Rp 5.000. Sehingga dalam sekali panen, paling banyak ia mendapat uang sebesar Rp 250ribu.

Hingga kini masih ada 23 orang pedagang yang menggeluti profesi sebagai petani garam. Karena hasil panen yang terbatas,

produk garam dari Desa Les hanya bisa ditemukan di luar desa. Hasil panen belum mencukupi jika harus dijual ke luar desa. 

SINGARAJA – Para petani garam di Desa Les, Kecamatan Tejakula, tetap bertahan di masa pandemi covid-19. Para petani juga tetap bertahan dengan cara tradisional.

Sayangnya jumlah petani garam tradisional di Desa Les kini tak banyak lagi. Sebagian besar sudah berusia sepuh.

Salah satu warga yang masih menjalani hidup sebagai petani garam ialah Nengah Malik Karsa. Pria yang tinggal di Banjar Tegallinggah, Desa Les ini sudah menjadi petani garam sejak tahun 1976 silam.

Sejak dulu hingga kini ia masih melakukan proses bertani garam secara tradisional. “Kalau saya sudah dari pas gempa Seririt (tahun 1976) sudah mulai jadi petani garam. Sampai sekarang masih seperti ini,” katanya.

Setiap pagi dan sore ia mendatangi Pantai Ponjok Ati di sisi utara Desa Les. Setiap tiga atau empat hari, ia akan melakukan panen garam.

Hasilnya cukup dijual di pasar desa. Meski hasilnya tak seberapa, hasil itu sudah cukup baginya. Karsa menuturkan, proses pembuatan garam harus dimulai dari mematangkan lahan.

Selama sepekan, ia harus menyiapkan lahan untuk membuat garam. Setelah lahan siap, ia mengangkut air laut menggunakan alat yang disebut sene. Air laut kemudian disiramkan ke lahan  tersebut.

Setelah tuntas menyiram lahan, tanah langsung digemburkan. Proses ini disebut dengan mangkrak. Proses ini dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pada pagi dan sore hari.

Selanjutnya bila tanah sudah kering, maka tanah diangkat ke palung penampungan yang disebut tinjung. Setelah tanah dipadatkan, tinjung kembali disiram dengan air laut.

“Fungsinya menyaring air laut yang mau dijemur. Nanti tunggu tiga hari, kalau terang, sudah bisa panen. Tapi kalau mendung, bisa empat hari, malah bisa lebih lama,” katanya.

Dalam sekali panen, biasanya Karsa mendapat hasil maksimal sebanyak 50 kilogram. Garam itu kemudian dibawa ke pasar tradisional di pusat Desa Les.

Untuk satu kilogram garam, biasanya dijual dengan harga Rp 5.000. Sehingga dalam sekali panen, paling banyak ia mendapat uang sebesar Rp 250ribu.

Hingga kini masih ada 23 orang pedagang yang menggeluti profesi sebagai petani garam. Karena hasil panen yang terbatas,

produk garam dari Desa Les hanya bisa ditemukan di luar desa. Hasil panen belum mencukupi jika harus dijual ke luar desa. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/