27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 7:02 AM WIB

Komoditas Vanili Diburu Pasar, Petani Jembrana Semringah

NEGARA – Komoditi vanili di Jembrana yang sempat berhenti, saat ini mulai menggeliat kembali. Harga yang mahal, membuat sejumlah petani mulai membudidayakan vanili.

Bahkan, sehingga sejumlah lahan kebun milik petani disulap menjadi perkebunan vanili.  Mereka yang sebelumnya menanam kakao dan cengkeh kini beralih menjadi petani vanili.

Selain harga yang mahal, budidaya vanili dinilai lebih mudah. Dari segi lahan untuk menanam, tidak memerlukan lahan yang luas misalnya untuk menanam seribu bibit pohon vanili.

“Saat mulai berbunga hanya perlu penyerbukan buatan agar menjadi buah,” kata Ketut Tarta, salah satu petani vanili di Desa Tegal Badeng Barat kemarin.

Menurutnya, lahannya seluas 17 are yang awalnya tidak produktif sejak setahun terakhir sudah ditanami vanili sebanyak 1.200 pohon.

Saat ini, beberapa pohon mulai berbuah dan diperkirakan semua pohon akan berbuah pada bulan Juli mendatang.

“Sekarang sudah banyak yang bertani vanili, terutama wilayah Mendoyo dan Pekutatan,” ujar anggota TNI aktif yang berdinas di Koramil Mendoyo berpangkat Serka ini.

Salah satu motivasi petani menanam vanili, karena harganya yang mahal. Menurut informasi, lanjut Tantra, setiap satu kilogram harga vanili kering antara Rp 5 juta – RP 6 juta.

Sedangkan vanili basah sekitar Rp 500 ribu. “Beberapa petani yang sudah panen, sudah banyak yang berhasil,” ungkapnya.

Selain Tarta, petani lain di Banjar Pasatan Desa Poh Santen, Kecamatan Mendoyo, juga mulai budidaya vanili. Lahan di antara perkebunan cengkeh dan kakao juga ditanami vanili.

Hasilnya, justru lebih banyak dari perkebunan kakao, karena lebih cepat berbuah dan dipanen. “Hanya sekitar 2 tahun sudah bisa panen, sedangkan kakao lebih lama,” kata salah satu petani di Pasatan.

Sayangnya, pertanian vanili yang mulai menggeliat ini belum terdata dinas terkait. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana Wayan Sutama, saat dikonfirmasi mengatakan, belum memiliki data pasti pertanian vanili di Jembrana.

“Belum (terdata), kami sedang melakukan pendataan karena baru berkembang,” jelasnya. Sutama mengakui, sebelumnya vanili sempat menjadi komoditas unggulan.

Namun, sempat terhenti. Tetapi sekarang petani mulai bertani lagi karena harga yang mahal, sekitar Rp 5 juta setiap kilogram.

Saat ini, pertanian berkembang di pinggiran hutan wilayah Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan. “Tapi itu belum terdata, nanti kami akan data dulu,” ungkapnya.

Ke depan pihaknya akan mengembangkan karena vanili ini menjadi komoditas unggulan. Pihaknya mendukung petani untuk mengembangkan vanili,

tapi diharapkan tidak mengganti atau alih fungsi tanaman yang produktif, seperti cengkeh dan kakao.

NEGARA – Komoditi vanili di Jembrana yang sempat berhenti, saat ini mulai menggeliat kembali. Harga yang mahal, membuat sejumlah petani mulai membudidayakan vanili.

Bahkan, sehingga sejumlah lahan kebun milik petani disulap menjadi perkebunan vanili.  Mereka yang sebelumnya menanam kakao dan cengkeh kini beralih menjadi petani vanili.

Selain harga yang mahal, budidaya vanili dinilai lebih mudah. Dari segi lahan untuk menanam, tidak memerlukan lahan yang luas misalnya untuk menanam seribu bibit pohon vanili.

“Saat mulai berbunga hanya perlu penyerbukan buatan agar menjadi buah,” kata Ketut Tarta, salah satu petani vanili di Desa Tegal Badeng Barat kemarin.

Menurutnya, lahannya seluas 17 are yang awalnya tidak produktif sejak setahun terakhir sudah ditanami vanili sebanyak 1.200 pohon.

Saat ini, beberapa pohon mulai berbuah dan diperkirakan semua pohon akan berbuah pada bulan Juli mendatang.

“Sekarang sudah banyak yang bertani vanili, terutama wilayah Mendoyo dan Pekutatan,” ujar anggota TNI aktif yang berdinas di Koramil Mendoyo berpangkat Serka ini.

Salah satu motivasi petani menanam vanili, karena harganya yang mahal. Menurut informasi, lanjut Tantra, setiap satu kilogram harga vanili kering antara Rp 5 juta – RP 6 juta.

Sedangkan vanili basah sekitar Rp 500 ribu. “Beberapa petani yang sudah panen, sudah banyak yang berhasil,” ungkapnya.

Selain Tarta, petani lain di Banjar Pasatan Desa Poh Santen, Kecamatan Mendoyo, juga mulai budidaya vanili. Lahan di antara perkebunan cengkeh dan kakao juga ditanami vanili.

Hasilnya, justru lebih banyak dari perkebunan kakao, karena lebih cepat berbuah dan dipanen. “Hanya sekitar 2 tahun sudah bisa panen, sedangkan kakao lebih lama,” kata salah satu petani di Pasatan.

Sayangnya, pertanian vanili yang mulai menggeliat ini belum terdata dinas terkait. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana Wayan Sutama, saat dikonfirmasi mengatakan, belum memiliki data pasti pertanian vanili di Jembrana.

“Belum (terdata), kami sedang melakukan pendataan karena baru berkembang,” jelasnya. Sutama mengakui, sebelumnya vanili sempat menjadi komoditas unggulan.

Namun, sempat terhenti. Tetapi sekarang petani mulai bertani lagi karena harga yang mahal, sekitar Rp 5 juta setiap kilogram.

Saat ini, pertanian berkembang di pinggiran hutan wilayah Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan. “Tapi itu belum terdata, nanti kami akan data dulu,” ungkapnya.

Ke depan pihaknya akan mengembangkan karena vanili ini menjadi komoditas unggulan. Pihaknya mendukung petani untuk mengembangkan vanili,

tapi diharapkan tidak mengganti atau alih fungsi tanaman yang produktif, seperti cengkeh dan kakao.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/