Desa Tembok di ujung timur Kabupaten Buleleng punya kisah yang mendalam soal toleransi antar umat beragama. Hubungan kekerabatan antara umat muslim dan hindu di desa tersebut sangat erat. Seperti apa ceritanya?
Eka Prasetya, Buleleng
SAYUP suara azan terdengar hingga Kantor Perbekel Tembok. Suara itu berasal dari Masjid Al-Ihsan, di Banjar Dinas Yeh Bau, Desa Tembok. Di sekitar masjid itu, puluhan warga yang memeluk agama Islam bermukim. Pemukiman itu berada di antara pemukiman warga Desa Tembok yang sebagian besar memeluk agama Hindu.
Umat muslim di Tembok telah hidup secara turun temurun. Setidaknya sejak lima generasi terakhir. Mereka diyakini datang dari Pulau Lombok, semasa Kerajaan Karangasem menduduki Mataram dan Buleleng.
Sejumlah umat muslim dari Mataram pun berpindah ke Bali. Termasuk ke Desa Tembok. Tak heran bila umat muslim di wilayah tersebut cukup fasih menggunakan bahasa sasak. Biasanya bahasa sasak digunakan di internal keluarga. Namun untuk urusan sosialisasi mereka menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia.
Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara mengungkapkan, relasi hubungan antara umat hindu dan muslim di desa tersebut sudah berjalan secara turun temurun. Hubungan tetap harmonis. Jauh sebelum dikenal istilah toleransi, warga sebenarnya sudah menjalin hubungan yang sangat kuat.
“Seingat saya hubungan ini sudah ada sejak jaman kakyang (kakek) sudah seperti ini. Bahkan mungkin sudah dari kompyang (leluhur) kami,” kata Dewa Yudi.
Salah satu contoh sederhana adalah saat hari raya Galungan yang jatuh pada bulan Juni lalu. Umat muslim akan datang ke pura desa dengan mengenakan sarung, baju koko, dan peci. Umat muslim akan memberi ucapan selamat hari raya pada umat hindu, sambil bersenda gurau di jaba tengah maupun jaba sis pura.
Sementara saat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, giliran umat hindu yang membantu umat muslim menyiapkan hari raya. Biasanya pada malam takbir, umat hindu dan umat islam juga terlibat dalam tradisi magibung (makan bersama) di halaman Masjid Al-Ihsan.
“Memang kehidupan kami di sini sejak dulu seperti itu. Saat umat Hindu hari raya, umat muslim membantu. Begitu juga sebaliknya. Ini warisan dari leluhur yang harus kami rawat,” ujarnya.
Ketua Tamir Masjid Al-Ihsan, Lahmudin mengungkapkan, saat ini ada 150 kepala keluarga yang memeluk agama islam di desa tersebut. Umat tak pernah kesulitan dalam proses ibadah, karena di sana terdapat sebuah masjid dan dua buah musala. Lahmudin menyatakan umat tak pernah menemui kesulitan saat mendirikan rumah ibadah.
Menurutnya hubungan kekerabatan antara umat muslim dan umat hindu berjalan sangat harmonis. Meski ada perbedaan dalam agama, mereka tak mau dibatasi dengan sekat tersebut. “Meski Tuhan-nya beda, bukan berarti tidak boleh bergaul. Justru toleransi dan kerukunan itu muncul karena ada perbedaan,” ujarnya.
Lahmudin mengatakan masyarakat muslim mengenal istilah Perintah dan Larangan. Perintah yang dipegang teguh masyarakat setempat adalah memperhatikan tetangga mereka. Tak peduli agamanya.“Pokoknya lihat tetangga sampai 10 rumah ke samping kiri dan samping kanan. Kalau ada yang kelaparan, maka kewajiban kita memperhatikan. Apapun agamanya,” tegas Lahmudin.
Di sisi lain, keharmonisan itu mendorong Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan menjadikan Desa Tembok sebagai rumah moderasi beragama. Keharmonisan itu diharapkan menjadi contoh bagi desa-desa lain dalam hal toleransi.
Ketua STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Gede Suwindia mengatakan agama belakangan ini menjadi isu yang sensitif. Sebab orang yang tak bertanggungjawab menjadikan agama sebagai pemicu konflik di masyarakat. Padahal Indonesia didirikan dengan latar belakangan keyakinan agama yang beragam.
Suwindia berharap masyarakat di Desa Tembok tetap menjaga hubungan yang harmonis. Terutama jelang tahun politik 2024. Sebab dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, agama dijadikan isu dalam ajang politik.
“Hubungan yang sudah rukun dan guyub dari generasi ke generasi jangan sampai rusak gara-gara politik. Kami mendorong agar masyarakat terus membangun moderasi beragama dengan kearifan lokal, sehingga kerukunan terus terjaga,” demikian Suwindia. (*)