29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:07 AM WIB

Bisnis Kopi Kian Gurih, Sayangnya Produksi Merosot karena Hujan Es

Sejumlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Buleleng melakukan ekspansi usaha. Mereka tak mau tergantung dengan lini bisnis simpan pinjam atau air minum. Salah satu yang melakukan ekspansi adalah BUMDes Eka Giri Karya Utama, Desa Wanagiri. Mereka kini menggeluti bisnis kopi. Seperti apa?

 

EKA PRASETYA, Singaraja

 

WANGI aroma kopi begitu menyeruak. Membuai indera penciuman. Pagi itu, seorang karyawan di BUMDes Eka Giri Karya Utama Desa Wanagiri, tengah sibuk melakukan roasting kopi. Proses itu dilakukan menggunakan mesin yang diletakkan di ruang depan.

 

Ruang roasting itu tak seberapa jauh dari teras gudang kopi yang dikelola BUMDes. Tak heran bila proses roasting biji kopi begitu memanjakan hidung pengunjung yang datang.

 

Sejak setahun terakhir, BUMDes Wanagiri sengaja melebarkan bisnis mereka. Yakni bisnis perdagangan kopi. BUMDes tak mau bergantung dengan bisnis simpan pinjam yang menjadi tulang punggung usaha sejak beberapa tahun terakhir.

 

Bisnis ini sejatinya cukup menjanjikan. Pada tahun 2020 lalu, BUMDes berhasil meraup laba Rp 5 juta dari bisnis jual beli kopi. Padahal saat itu mereka baru merintisnya. Ketika itu mereka hanya menyerap kopi dari para petani hutan. Petani itu memetik kopi-kopi yang tumbuh liar di wilayah hutan desa.

 

Ketua BUMDes Wanagiri, Made Darsana menuturkan, bisnis kopi itu dimulai pada Maret 2020 lalu. Sepanjang tahun lalu, BUMDes berhasil meraup 10 ton biji kopi arabika. Biji kopi itu dibeli dari petani-petani yang selama ini mendapatkan hak pengelolaan hutan desa.

 

Menurut Darsana selama ini di dalam hutan terdapat banyak tanaman kopi. Tanaman itu tumbuh secara liar, tanpa perawatan optimal. Sesuai dengan klausul pengelolaan hutan desa, para petani berhak memetik biji-biji kopi itu. Selama tidak melakukan penebangan pohon.

 

“Luasannya itu sekitar 70 hektare yang ada tanaman kopi. Ini jelas tanaman organik. Karena di areal hutan. Tidak ada pemupukan, tidak ada penyemprotan pestisida juga. Sehingga kami branding kopi ini organik,” ungkap Darsana.

 

Upaya bisnis itu meraup sukses pada tahun buku 2020 lalu. Sayangnya pada tahun buku 2021, Darsana pesimistis bisa mengulangi sukses yang sama. Penyebabnya tanaman kopi yang ada di areal hutan kini dalam kondisi sakit. Nyaris 70 persen tanaman rusak karena diserang penyakit akar. Penyakit itu muncul karena cuaca ekstrem pada akhir tahun 2020 hingga awal tahun 2021.

 

Tak hanya itu, bunga kopi juga gagal tumbuh. Gara-garanya hujan es yang melanda Desa Wanagiri pada Desember 2020 lalu. Masalah itu bukan hanya menghantui tanaman kopi di areal hutan.

 

“Tanaman kopi di kebun-kebun warga juga sama,” tutur Darsana.

 

Dampaknya hasil panen merosot drastis. Darsana menyebut, pada tahun 2020, petani di seantero Wanagiri bisa menghasilkan 350 ton kopi dalam setahun.

 

“Sekarang saya kira dapat 100 ton saja susah. Kami juga tidak menduga ada hujan es seperti itu. Ini sangat jarang sekali terjadi,” tuturnya.

 

Dalam situasi sulit, BUMDes pun berusaha melakukan peremajaan tanaman. Caranya melakukan pembibitan bersumber dari kopi lokal yang tumbuh di desa. Menurut Darsana jalan itu sejatinya kurang optimal. Karena kualitas tanaman pasti akan merosot dari tahun ke tahun.

 

“Tapi sementara ini hanya itu yang bisa kami lakukan. Idealnya memang bibit yang ditanam itu bersumber dari kultur jaringan. Mudah-mudahan pemerintah daerah bisa membantu dengan menyediakan bibit berkualitas,” harapnya.

 

Asal tahu saja, kopi di BUMDes Wanagiri dijual dengan harga bervariasi. Kopi kualitas premium misalnya, dijual dengan harga Rp 150 ribu per kilogram. Bahkan kopi spesialti dijual dengan harga Rp 250 ribu per kilogram.

 

Meski begitu, BUMDes juga menyiapkan kopi dengan harga ekonomis. Yakni Rp 70 ribu per kilogram.

 

“Memang segmentasinya beda. Proses pengolahannya juga beda,” demikian Darsana.

Sejumlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Buleleng melakukan ekspansi usaha. Mereka tak mau tergantung dengan lini bisnis simpan pinjam atau air minum. Salah satu yang melakukan ekspansi adalah BUMDes Eka Giri Karya Utama, Desa Wanagiri. Mereka kini menggeluti bisnis kopi. Seperti apa?

 

EKA PRASETYA, Singaraja

 

WANGI aroma kopi begitu menyeruak. Membuai indera penciuman. Pagi itu, seorang karyawan di BUMDes Eka Giri Karya Utama Desa Wanagiri, tengah sibuk melakukan roasting kopi. Proses itu dilakukan menggunakan mesin yang diletakkan di ruang depan.

 

Ruang roasting itu tak seberapa jauh dari teras gudang kopi yang dikelola BUMDes. Tak heran bila proses roasting biji kopi begitu memanjakan hidung pengunjung yang datang.

 

Sejak setahun terakhir, BUMDes Wanagiri sengaja melebarkan bisnis mereka. Yakni bisnis perdagangan kopi. BUMDes tak mau bergantung dengan bisnis simpan pinjam yang menjadi tulang punggung usaha sejak beberapa tahun terakhir.

 

Bisnis ini sejatinya cukup menjanjikan. Pada tahun 2020 lalu, BUMDes berhasil meraup laba Rp 5 juta dari bisnis jual beli kopi. Padahal saat itu mereka baru merintisnya. Ketika itu mereka hanya menyerap kopi dari para petani hutan. Petani itu memetik kopi-kopi yang tumbuh liar di wilayah hutan desa.

 

Ketua BUMDes Wanagiri, Made Darsana menuturkan, bisnis kopi itu dimulai pada Maret 2020 lalu. Sepanjang tahun lalu, BUMDes berhasil meraup 10 ton biji kopi arabika. Biji kopi itu dibeli dari petani-petani yang selama ini mendapatkan hak pengelolaan hutan desa.

 

Menurut Darsana selama ini di dalam hutan terdapat banyak tanaman kopi. Tanaman itu tumbuh secara liar, tanpa perawatan optimal. Sesuai dengan klausul pengelolaan hutan desa, para petani berhak memetik biji-biji kopi itu. Selama tidak melakukan penebangan pohon.

 

“Luasannya itu sekitar 70 hektare yang ada tanaman kopi. Ini jelas tanaman organik. Karena di areal hutan. Tidak ada pemupukan, tidak ada penyemprotan pestisida juga. Sehingga kami branding kopi ini organik,” ungkap Darsana.

 

Upaya bisnis itu meraup sukses pada tahun buku 2020 lalu. Sayangnya pada tahun buku 2021, Darsana pesimistis bisa mengulangi sukses yang sama. Penyebabnya tanaman kopi yang ada di areal hutan kini dalam kondisi sakit. Nyaris 70 persen tanaman rusak karena diserang penyakit akar. Penyakit itu muncul karena cuaca ekstrem pada akhir tahun 2020 hingga awal tahun 2021.

 

Tak hanya itu, bunga kopi juga gagal tumbuh. Gara-garanya hujan es yang melanda Desa Wanagiri pada Desember 2020 lalu. Masalah itu bukan hanya menghantui tanaman kopi di areal hutan.

 

“Tanaman kopi di kebun-kebun warga juga sama,” tutur Darsana.

 

Dampaknya hasil panen merosot drastis. Darsana menyebut, pada tahun 2020, petani di seantero Wanagiri bisa menghasilkan 350 ton kopi dalam setahun.

 

“Sekarang saya kira dapat 100 ton saja susah. Kami juga tidak menduga ada hujan es seperti itu. Ini sangat jarang sekali terjadi,” tuturnya.

 

Dalam situasi sulit, BUMDes pun berusaha melakukan peremajaan tanaman. Caranya melakukan pembibitan bersumber dari kopi lokal yang tumbuh di desa. Menurut Darsana jalan itu sejatinya kurang optimal. Karena kualitas tanaman pasti akan merosot dari tahun ke tahun.

 

“Tapi sementara ini hanya itu yang bisa kami lakukan. Idealnya memang bibit yang ditanam itu bersumber dari kultur jaringan. Mudah-mudahan pemerintah daerah bisa membantu dengan menyediakan bibit berkualitas,” harapnya.

 

Asal tahu saja, kopi di BUMDes Wanagiri dijual dengan harga bervariasi. Kopi kualitas premium misalnya, dijual dengan harga Rp 150 ribu per kilogram. Bahkan kopi spesialti dijual dengan harga Rp 250 ribu per kilogram.

 

Meski begitu, BUMDes juga menyiapkan kopi dengan harga ekonomis. Yakni Rp 70 ribu per kilogram.

 

“Memang segmentasinya beda. Proses pengolahannya juga beda,” demikian Darsana.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/