GIANYAR – Provinsi Bali dipastikan siap menjadi tuan rumah acara puncak Presidensi G20 pada pertengahan November 2022. Hal itu bisa dilihat dari rampungnya pembenahan sejumlah infrastruktur seperti trotoar, jembatan, bandara, akomodasi, hingga jalan tol di atas laut yang dipercantik dengan tanaman mangrove membentuk tulisan G20.
Di balik persiapan yang dilakukan pemerintah, ajang akbar lintas negara itu diharapkan mampu mendongkrak perekonomian Bali yang anjlok dihantam pandemi. Berdasar data Bappeda Provinsi Bali, tingkat pertumbuhan ekonomi Bali minus 9,31 persen pada 2020. Itu menjadi angka pertumbuhan ekonomi terendah secara nasional.
Sementara berdasar data Bank Indonesia (BI), ekonomi Bali pada triwulan I 2022 sedikit membaik dengan pertumbuhan sebesar 1,46 persen. Jebloknya pertumbuhan itu karena Bali mengandalkan pariwisata sebagai tulang punggung penggerak roda ekonomi.
Dengan adanya Presidensi G20 di Bali yang dihadiri ribuan delegasi dari berbagai negara anggota, pelaku pariwisata khususnya berbasis desa wisata berharap ikut kecipratan berkah. Sebagian delegasi bisa berkunjung ke desa-desa wisata.
Terlebih, saat ini desa wisata di Bali sudah menjalankan transformasi digital. Hal itu sesuai dengan semangat tema Presidensi G20: Recover Together Recover Stronger (bersama-sama pulih untuk menjadi lebih kuat).
“Kami pelaku pariwisata sangat berharap pertemuan G20 ini mampu menjadi pemantik bangkitnya pariwisata di Bali, khususnya desa wisata,” ujar I Gede Gian Saputra, pendiri startup Godevi ditemui Minggu (16/10).
Gian mendirikan Godevi dibantu teman sekelasnya semasa kuliah, I Putu Gatot Adiprana dari Gianyar. Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana (Unud) itu mengungkapkan, selama dua tahun pandemi, Godevi banyak mendampingi desa wisata mengubah pengelolaan pariwisata dari pola konvensional menjadi digital.
“Sekarang jumlah desa wisata yang kami dampingi ada 50 desa. Kami juga mulai merambah NTT di Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, dan Barat,” imbuh pria 31 tahun itu.
Berdasar data Dinas Pariwisata Provinsi Bali, pada 2022 terdapat 294 desa wisata di Pulau Dewata. Sebelum pandemi tercatat ada 189 desa wisata. Artinya selama pandemi jumlah desa wisata bertambah 105 desa.
Namun, dari ratusan desa wisata itu, sebagian besar belum melek tekhnologi. Mereka masih menjalankan pengelolaan konvensional dengan menunggu turis datang yang dibawa agen perjalanan.
Kendala umum lainnya yaitu produk yang ditawarkan desa satu dengan desa lainnya identik.
“Realita di lapangan, dari 200 lebih desa wisata, tidak lebih dari 10 persen yang eksis dan mengerti digitalisasi. Kondisi itulah yang mendorong kami membantu pengelola desa wisata secara digital,” tukas pria asal Desa Catur, Kintamani, Bangli, itu.
Gian meyakini, apa yang dilakukan merupakan transformasi digital yang inklusif, memberdayakan, dan berkelanjutan untuk membantu pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Langkah pertama yang dilakukan tim Godevi adalah turun ke lapangan melakukan survei. Selanjutnya, dibantu para mahasiswa magang, tim Godevi mengindentifikasi tema, tujuannya agar tidak sama dengan desa lainnya. Misalnya di Desa Sayan, Ubud, Gianyar, memiliki kekhasan seni melukis. Kegiatan itulah yang dibuatkan profil. Profil desa wisata juga dibuat bilingual, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. “Kami ingin masyarakat desa ini menjadi subjek pengelola wisata, bukan menjadi objek,” tegasnya.
Tidak berhenti sampai di situ, bagi desa-desa yang semangatnya tinggi dibuatkan video promosi. Tidak murah untuk membuat video promosi itu. Budget yang diperlukan membuat satu video promosi sekitar Rp 10 juta – Rp 15 juta. Namun, tim Godevi tidak sepeser pun memungut biaya pembuatan video alias gratis.
Profil desa, paket produk yang ditawarkan, hingga video promosi itulah yang kemudian diunggah ke dalam akun yang terintegrasi dalam website Godevi. Setiap satu desa dibuatkan satu akun. Dengan akun itu pihak desa bisa menawarkan produknya sebagaimana orang berjualan online sebagaimana jualan pada market place.
Gian menegaskan, melalui transformasi digital, pengelola desa wisata bisa memasarkan produknya secara global. Turis dari seluruh penjuru dunia bisa membooking langsung desa wisata di Bali tanpa melalui agen.
“Sejak awal kami bersepakat dengan desa, jika nanti sudah jalan, kami minta 10 persen dari setiap transaksi. Kalau transaksi tidak melalui Godevi, maka semua masuk ke desa wisata,” bebernya.
Gian lantas mengajak Radar Bali mempraktikkan mengunjungi desa wisata melalui website Godevi. Tinggal mengetik Godevi di mesin pencarian, kemudian muncul banyak desa wisata yang bisa dikunjungi. Setelah itu tinggal klik desa yang dituju. Untuk transaksi cukup memasukkan alamat email atau nomor ponsel. Tidak sampai lima menit pembookingan tuntas.
Yang menarik, pembayaran bisa dilakukan dengan sistem payment atau nontunai. Bahkan bisa dari minimarket berjaringan. Selama pandemi, Gian memperkirakan transaksi ke desa wisata sudah mencapai ratusan juta. Tapi, sulung dari tiga saudara itu tegas menyatakan tidak memikirkan output berupa materi. “Saya dan tim merasa puas saat melihat desa itu banyak dikunjungi wisatawan. Itu kebahagiaan yang tidak bisa diganti materi,” tandasnya. (*/m sandijaya/rid)
Prinsipnya Sustainability, Environment, dan Entrepreneur
Sustainability (berkenlanjutan), Environment (masyarakat), dan Entrepreneur (wirausaha atau kemandirian).
“Saat ini kami belum memikirkan keuntungan. Melalui transformasi digital ini kami ingin mensupport desa wisata, karena saat ini desa wisata masih menjadi pilihan kedua bagi wisatawan,” ujar Gian.
Sementara itu, diwawancarai terpisah, Ni Putu Inten Poniari, Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sayan, Ubud, Gianyar, tak menampik jika sistem Godevi dengan model marketplace sangat membantu perkembangan desa wisata di desanya.
Dijelaskan Inten, Desa Wisata Sayan baru terbentuk resmi pada 2020 berdasar SK Bupati Gianyar. Lahir dimasa pandemi tentu tidak mudah. Butuh strategi khusus mengingat pemberlakuan pembatasan kunjungan.
“Godevi yang membantu kami promosi secara digital. Kami didampingi Godevi mendesain desa wisata yang memenuhi standar prokes. Syukur, berkat bantuan Godevi wistawan mulai datang, hingga saat ini” ujar Inten.
Melaui Presiddensi G20, ia berharap pemerintah bisa membantu desa wisata memiliki SDM yang menguasai tekhnologi. “Sehingga desa kami semakin berkembang,” tukasnya.
Hal senada diungkapkan I Putu Astawa, staf ahli Bappeda Provinsi Bali. “Dengan digitalisasi, Godevi mampu membantu promosi desa wisata. Daripada memasang baliho atau iklan berbiaya besar, lebih efektif promosi lewat internet yang jangkauannya lebih luas,” terang Astawa saat diwawancarai terpisah.
Mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali itu berharap Presidensi G20 membawa angin segar bagi pariwisata Bali yang terdampak pandemi. “Manfaatkan G20 untuk kebangkitan ekonomi Bali. Godevi dan desa wisata harus terus mengupdate konten, perbarui terus produk yang menjadi unggulan desa wisata,” pungkasnya. (*/m sandijaya/rid)