28.2 C
Jakarta
13 Desember 2024, 22:29 PM WIB

Kelas Ala Kadarnya, Jam Belajar Menunggu Murid Pulang dari Ladang

Di balik gemerlap pariwisata Bali, masih banyak warganya yang buta aksara. Fakta tersebut bisa ditemui di Banjar Dalem, Desa Tianyar Tengah,

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Untungnya ada sosok I Nengah Karya yang semangat mengajar tanpa dibayar. 

 

MAULANA SANDIJAYA, Amlapura

BANJAR Dalem berada di atas bukit dengan ketinggian sekitar 280 meter di atas permukaan laut (mdpl). Untuk mencapai tempat tersebut butuh perjuangan ekstra.

Sebab, harus melalui jalan rusak berat dan menanjak sepanjang 7 kilometer. Bebatuan dan aspal tidak lagi menyatu membuat debu berterbangan.

Selain aspal mengelupas, jalan juga banyak berlubang dan bergelombang. Sementara di sisi kanan dan kiri jalan ada jurang yang banyak ditumbuhi pohon ental atau pohon lontar.

Sepanjang perjalanan kecepatan motor rata-rata 20-30 km/jam. Sementara jarak antara rumah penduduk satu dengan lainnya lumayan jauh.

Sesampainya di atas bukit, Jawa Pos Radar Bali disambut anak tangga menjulang. Anak tangga tersebut merupakan jalan masuk ke kawasan Pura Kawitan Pasek Celagi.

Dari ujung anak tangga, I Nengah Karya melambaikan tangannya memberi isyarat. Di depan pura terdapat sebuah wantilan atau balai pertemuan sederhana.

Di bawah wantilan itulah kegiatan belajar mengajar dilakukan. Dari tempat ini bisa melihat laut dan desa yang ada di bawah. Berada di dataran tinggi membuat angin berembus sepoi-sepoi.

“Selamat datang di tempat kami yang sederhana ini,” ujar Karya saat ditemui Sabtu (19/6) siang lalu.

Tempat belajar yang digunakan Karya benar-benar sederhana.

Jauh dari kata layak, apalagi mewah. Itu bisa dilihat dari lantai dan dindingnya masih plesteran. Proses belajar mengajar digelar lesehan.

Agar kaki peserta tidak sakit dialasi tikar yang sudah usang. Media pembelajaran yang dipakai hanya papan tulis bekas berkuran 80×60 sentimeter.

Sementara meja belajar yang dipakai meminjam dari banjar adat. Setiap satu peserta meminjam satu meja.

Setelah selesai belajar meja dikembalikan lagi. Sembilan orang yang ikut belajar itu usia paling muda 27 tahun, dan tertua 43 tahun. Mereka memakai pakaian rumah.

Setelah menyambut Jawa Pos Radar Bali ini, Karya kembali mengajar. Pria 31 tahun itu menggambar segitiga.

“Ane care tumpeng misi muncuk ne madan segitiga (gambar seperti tumpeng dan lancip di bagian atas ini namanya segitiga, Red),” kata Karya memberikan penjelasan.

Selanjutnya Karya meminta muridnya menggambar segitiga di buku tulis yang sudah diberikan. Saat menggambar segitiga, hampir semua orang tangannya terlihat gemetar.

Maklum, ini adalah pengalaman pertama mereka memegang pensil. Mereka lantas saling tengok dan lirik melihat gambar temannya.

“Duh, ketug-ketug bayun tiyange (Aduh, saya grogi dan gemetar, Red),” celetuk salah satu peserta perempuan.

Karya segera mendatangi perempuan tersebut. Dengan telaten  Karya memegang dan mengarahkan tangan perempuan paruh baya itu.

Hal yang sama dilakukan Karya terhadap peserta lain. “Jangan buru-buru, lemaskan tangannya. Usahakan gambar tidak melewati garis,” ucap Karya.

Setelah semua lancar menggambar segitiga, Karya kemudian menggambar persegi dan lingkaran. Sambil menggambar, Karya memberikan kata-kata penyemangat.

“Ya, sudah bagus, terus lanjutkan. Nah, yang itu sudah lancar seperti mesin,” katanya sambil menunjuk salah satu peserta.

Sekitar 40 menit, peserta belajar terlihat sudah bisa menggambar segitiga, persegi, dan lingkaran.  Melihat muridnya bisa, Karya terlihat antusias mengajar. Ia kemudian menggambar huruf A.

“Asal ngelah batis dadua misi garis di tengahne, madan A (Kalau ada huruf berkaki dua dan berisi garis di tengahnya, namanya A),” papar Karya.

Bapak dua anak itu kemudian mengucapkan kata A berulang dan diikuti muridnya. “Jani, garis lurus beling di beten jak duur madan B (Sekarang, kalau ada garis lurus berisi lingkaran seperti orang hamil, namanya B),” jelasnya.

Setelah itu, Karya menulis huruf C. “Ne, ane care bulan asibak madan C (Ini yang menyerupai bulan setengah namanya C),” tegas sarjana pendidikan bahasa Bali itu.

Sekitar 1,5 jam berjalan, peserta disuruh maju ke depan menulis di papan tulis. Karya kemudian meningkatkan pelajarannya menjadi membaca.

Huruf A, B, dan C yang sudah diajarkan kemudian digabungkan menjadi dua suku kata “BA” dan “CA”.

Metode pembelajaran yang diterapkan Karya lumayan ampuh. Peserta didik mulai mengeja. “BA-CA dibaca apa?” tanya Karya. “Baca…!” sahut semua peserta belajar.

Wajah Karya terlihat sangat bahagia. Senyumnya semringah melihat anak didiknya bisa menulis dan membaca, walau baru tiga huruf.

Tidak terasa pembelajaran sudah berjalan 2,5 jam. Karya lantas memberikan pekerjaan rumah menulis huruf D, E, F, dan G. Tepat pukul 15.30, pembelajaran ditutup dengan doa secara Hindu.

Setelah mengajar, Karya barulah berbincang lepas dengan Jawa Pos Radar Bali ini. “Saya merasa prihatin karena di desa saya banyak yang buta aksara.

Zaman digital masih banyak yang buta huruf. Kebetulan saya sarjana, jadi jiwa saya terpanggil,” ungkapnya.

Karya mengaku tidak mudah mengajak orang di desanya agar mau belajar. Maklum, warga di desanya semua bekerja dari pagi. Kebanyakan bekerja sebagai petani.

“Seperti sekarang ini, belajar baru bisa dimulai setelah pukul 12.00. Saya harus menunggu mereka pulang dari ladang,” tutur pria yang aktif sebagai penyuluh bahasa Bali itu.

Dalam mengajak warganya melek aksara, Karya dibantu sahabat dekatnya saat kuliah di Undiksha Singaraja, I Komang Sukayasa, 31.

Karya juga dibantu salah satu muridnya yang masih duduk di bangku SMK. “Buku dan pensil ini sumbangan dari Komang Sukayasa,” imbuhnya.

Perlahan ajakan Karya mulai membuahkan hasil. Ada sekitar 20 orang yang menyatakan mau ikut belajar membaca dan menulis.

20 orang itu kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Pembelajaran dilakukan sepekan dua kali, Sabtu dan Selasa.

Ditanya penyebab banyak warga buta aksara, Karya menyebut salah satunya faktor infrastruktut. Dari desanya untuk menuju ke sekolah terkendala akses jarak sekolah cukup jauh.

Saat ini ada SD terdekat dengan jarak sekitar 5 kilometer. Tapi, SD tersebut baru belum lama dibangun.

Selain itu, tingkat ekonomi warga juga jauh dari kata mapan. Daripada sekolah, warga memilih bekerja menghasilkan uang.

“Sekarang ini, melihat orang-orang tua di desa mau belajar, saya semakin semangat. Walaupun saya tidak digaji. Semoga apa yang saya ajarkan bisa berguna,” tukasnya. (*)

Di balik gemerlap pariwisata Bali, masih banyak warganya yang buta aksara. Fakta tersebut bisa ditemui di Banjar Dalem, Desa Tianyar Tengah,

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Untungnya ada sosok I Nengah Karya yang semangat mengajar tanpa dibayar. 

 

MAULANA SANDIJAYA, Amlapura

BANJAR Dalem berada di atas bukit dengan ketinggian sekitar 280 meter di atas permukaan laut (mdpl). Untuk mencapai tempat tersebut butuh perjuangan ekstra.

Sebab, harus melalui jalan rusak berat dan menanjak sepanjang 7 kilometer. Bebatuan dan aspal tidak lagi menyatu membuat debu berterbangan.

Selain aspal mengelupas, jalan juga banyak berlubang dan bergelombang. Sementara di sisi kanan dan kiri jalan ada jurang yang banyak ditumbuhi pohon ental atau pohon lontar.

Sepanjang perjalanan kecepatan motor rata-rata 20-30 km/jam. Sementara jarak antara rumah penduduk satu dengan lainnya lumayan jauh.

Sesampainya di atas bukit, Jawa Pos Radar Bali disambut anak tangga menjulang. Anak tangga tersebut merupakan jalan masuk ke kawasan Pura Kawitan Pasek Celagi.

Dari ujung anak tangga, I Nengah Karya melambaikan tangannya memberi isyarat. Di depan pura terdapat sebuah wantilan atau balai pertemuan sederhana.

Di bawah wantilan itulah kegiatan belajar mengajar dilakukan. Dari tempat ini bisa melihat laut dan desa yang ada di bawah. Berada di dataran tinggi membuat angin berembus sepoi-sepoi.

“Selamat datang di tempat kami yang sederhana ini,” ujar Karya saat ditemui Sabtu (19/6) siang lalu.

Tempat belajar yang digunakan Karya benar-benar sederhana.

Jauh dari kata layak, apalagi mewah. Itu bisa dilihat dari lantai dan dindingnya masih plesteran. Proses belajar mengajar digelar lesehan.

Agar kaki peserta tidak sakit dialasi tikar yang sudah usang. Media pembelajaran yang dipakai hanya papan tulis bekas berkuran 80×60 sentimeter.

Sementara meja belajar yang dipakai meminjam dari banjar adat. Setiap satu peserta meminjam satu meja.

Setelah selesai belajar meja dikembalikan lagi. Sembilan orang yang ikut belajar itu usia paling muda 27 tahun, dan tertua 43 tahun. Mereka memakai pakaian rumah.

Setelah menyambut Jawa Pos Radar Bali ini, Karya kembali mengajar. Pria 31 tahun itu menggambar segitiga.

“Ane care tumpeng misi muncuk ne madan segitiga (gambar seperti tumpeng dan lancip di bagian atas ini namanya segitiga, Red),” kata Karya memberikan penjelasan.

Selanjutnya Karya meminta muridnya menggambar segitiga di buku tulis yang sudah diberikan. Saat menggambar segitiga, hampir semua orang tangannya terlihat gemetar.

Maklum, ini adalah pengalaman pertama mereka memegang pensil. Mereka lantas saling tengok dan lirik melihat gambar temannya.

“Duh, ketug-ketug bayun tiyange (Aduh, saya grogi dan gemetar, Red),” celetuk salah satu peserta perempuan.

Karya segera mendatangi perempuan tersebut. Dengan telaten  Karya memegang dan mengarahkan tangan perempuan paruh baya itu.

Hal yang sama dilakukan Karya terhadap peserta lain. “Jangan buru-buru, lemaskan tangannya. Usahakan gambar tidak melewati garis,” ucap Karya.

Setelah semua lancar menggambar segitiga, Karya kemudian menggambar persegi dan lingkaran. Sambil menggambar, Karya memberikan kata-kata penyemangat.

“Ya, sudah bagus, terus lanjutkan. Nah, yang itu sudah lancar seperti mesin,” katanya sambil menunjuk salah satu peserta.

Sekitar 40 menit, peserta belajar terlihat sudah bisa menggambar segitiga, persegi, dan lingkaran.  Melihat muridnya bisa, Karya terlihat antusias mengajar. Ia kemudian menggambar huruf A.

“Asal ngelah batis dadua misi garis di tengahne, madan A (Kalau ada huruf berkaki dua dan berisi garis di tengahnya, namanya A),” papar Karya.

Bapak dua anak itu kemudian mengucapkan kata A berulang dan diikuti muridnya. “Jani, garis lurus beling di beten jak duur madan B (Sekarang, kalau ada garis lurus berisi lingkaran seperti orang hamil, namanya B),” jelasnya.

Setelah itu, Karya menulis huruf C. “Ne, ane care bulan asibak madan C (Ini yang menyerupai bulan setengah namanya C),” tegas sarjana pendidikan bahasa Bali itu.

Sekitar 1,5 jam berjalan, peserta disuruh maju ke depan menulis di papan tulis. Karya kemudian meningkatkan pelajarannya menjadi membaca.

Huruf A, B, dan C yang sudah diajarkan kemudian digabungkan menjadi dua suku kata “BA” dan “CA”.

Metode pembelajaran yang diterapkan Karya lumayan ampuh. Peserta didik mulai mengeja. “BA-CA dibaca apa?” tanya Karya. “Baca…!” sahut semua peserta belajar.

Wajah Karya terlihat sangat bahagia. Senyumnya semringah melihat anak didiknya bisa menulis dan membaca, walau baru tiga huruf.

Tidak terasa pembelajaran sudah berjalan 2,5 jam. Karya lantas memberikan pekerjaan rumah menulis huruf D, E, F, dan G. Tepat pukul 15.30, pembelajaran ditutup dengan doa secara Hindu.

Setelah mengajar, Karya barulah berbincang lepas dengan Jawa Pos Radar Bali ini. “Saya merasa prihatin karena di desa saya banyak yang buta aksara.

Zaman digital masih banyak yang buta huruf. Kebetulan saya sarjana, jadi jiwa saya terpanggil,” ungkapnya.

Karya mengaku tidak mudah mengajak orang di desanya agar mau belajar. Maklum, warga di desanya semua bekerja dari pagi. Kebanyakan bekerja sebagai petani.

“Seperti sekarang ini, belajar baru bisa dimulai setelah pukul 12.00. Saya harus menunggu mereka pulang dari ladang,” tutur pria yang aktif sebagai penyuluh bahasa Bali itu.

Dalam mengajak warganya melek aksara, Karya dibantu sahabat dekatnya saat kuliah di Undiksha Singaraja, I Komang Sukayasa, 31.

Karya juga dibantu salah satu muridnya yang masih duduk di bangku SMK. “Buku dan pensil ini sumbangan dari Komang Sukayasa,” imbuhnya.

Perlahan ajakan Karya mulai membuahkan hasil. Ada sekitar 20 orang yang menyatakan mau ikut belajar membaca dan menulis.

20 orang itu kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Pembelajaran dilakukan sepekan dua kali, Sabtu dan Selasa.

Ditanya penyebab banyak warga buta aksara, Karya menyebut salah satunya faktor infrastruktut. Dari desanya untuk menuju ke sekolah terkendala akses jarak sekolah cukup jauh.

Saat ini ada SD terdekat dengan jarak sekitar 5 kilometer. Tapi, SD tersebut baru belum lama dibangun.

Selain itu, tingkat ekonomi warga juga jauh dari kata mapan. Daripada sekolah, warga memilih bekerja menghasilkan uang.

“Sekarang ini, melihat orang-orang tua di desa mau belajar, saya semakin semangat. Walaupun saya tidak digaji. Semoga apa yang saya ajarkan bisa berguna,” tukasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/