33 C
Jakarta
16 September 2024, 14:50 PM WIB

Menengok Tradisi Sabha Dalem di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan

Jadi Ajang “Pelantikan” Krama Desa, Wajib Haturkan Banten Setinggi Dua Meter

Sebagai salah satu desa tua di Buleleng, Desa Lemukih punya tradisi unik. Yakni Sabha Dalem. Tradisi itu merupakan salah satu bagian dari acara ngusabha desa di Desa Adat Lemukih yang dilaksanakan tahun ini.

Eka Prasetya, Buleleng

BANTEN setinggi dua meter diletakkan berjajar di jaba tengah pura. Banten tersebut terlihat mencolok karena berwarna cerah. Yakni merah, hijau, dan ungu. Ada juga yang dominan berwarna putih. Masyarakat setempat menyebutnya banten pecingkrem. Tinggi banten itu setidaknya mencapai dua meter.

Banten tersebut merupakan salah satu sarana yang wajib dihaturkan oleh krama tatkala sabha dalem di Pura Dalem Desa Adat Lemukih. Banten itu hanya dihaturkan oleh krama yang menek desa atau krama yang akan ditetapkan sebagai krama desa. Tahun ini ada 38 orang yang menek desa.

Perbekel Lemukih Nyoman Singgih mengungkapkan, tradisi itu dilangsungkan setiap tahun. Tradisi itu berarti dimulainya prosesi krama baru yang akan menjadi krama desa.

Tradisi dimulai dengan prosesi metata krama. Saat prosesi itu akan dibagikan sebuah ajengan yang wajib dimakan oleh pasangan suami istri. Makan bersama dimaknai dengan kerukunan pada pasangan tersebut, sementara ajengan yang dibagikan diharapkan menjadi simbol kesejahteraan dan keajegan bagi keluarga.

Singgih menegaskan ajengan itu wajib dikonsumsi, tanpa terkecuali. Bila toh salah satu pasangan berada di luar daerah, ajengan itu bisa dikeringkan.

“Misalnya kalau ada yang kerja di kapal pesiar, itu tetap wajib mengonsumsi ajenganKan bisa dikeringkan dan diawetkan, contohnya jadi senggauk. Nanti kalau sudah pulang kampung, langsung dimakan,” jelasnya.

Setelah menjalani prosesi metata krama, mereka wajib hadir pada tilem kapat di pura dalem. Krama lanang yang menek desa wajib mengenakan baju berlengan panjang berwarna putih, mengenakan kamben songket, serta selempang berwarna cerah. Entah itu warna merah, biru, atau kuning.

Disamping itu krama yang menek desa juga wajib menghaturkan banten penyacah sebanyak 35 tanding, sebuah banten pecingkrem yang tingginya hingga dua meter, serta canang sari. Saat prosesi itu, biasanya mereka akan mendapat nama baru yang disebut pungkusan alias nama sapaan.

Pasangan suami istri yang telah memiliki anak biasanya akan mendapat nama panggilan pan atau men. Panggilan itu akan diikuti dengan nama anak pertama.

“Kalau anak pertamanya bernama Darmawan, nanti yang krama lanang dipanggil Pan Darmawan, kalau krama istri Men Darmawan. Istilahnya di sini pungkusan,” jelasnya lagi.

Selain itu pada tradisi ngusaba dalem tahun ini, pihak desa juga akan menyembelih lima ekor kerbau. Kerbau itu merupakan persembahan dari krama yang naur sesangi. “Karena permohonannya terkabul, jadi dia naur sesangi sekarang. Nanti akan jadi sarana persembahan dan lawar, lalu dibagikan ke krama,” tukas Singgih. (*)

 

Sebagai salah satu desa tua di Buleleng, Desa Lemukih punya tradisi unik. Yakni Sabha Dalem. Tradisi itu merupakan salah satu bagian dari acara ngusabha desa di Desa Adat Lemukih yang dilaksanakan tahun ini.

Eka Prasetya, Buleleng

BANTEN setinggi dua meter diletakkan berjajar di jaba tengah pura. Banten tersebut terlihat mencolok karena berwarna cerah. Yakni merah, hijau, dan ungu. Ada juga yang dominan berwarna putih. Masyarakat setempat menyebutnya banten pecingkrem. Tinggi banten itu setidaknya mencapai dua meter.

Banten tersebut merupakan salah satu sarana yang wajib dihaturkan oleh krama tatkala sabha dalem di Pura Dalem Desa Adat Lemukih. Banten itu hanya dihaturkan oleh krama yang menek desa atau krama yang akan ditetapkan sebagai krama desa. Tahun ini ada 38 orang yang menek desa.

Perbekel Lemukih Nyoman Singgih mengungkapkan, tradisi itu dilangsungkan setiap tahun. Tradisi itu berarti dimulainya prosesi krama baru yang akan menjadi krama desa.

Tradisi dimulai dengan prosesi metata krama. Saat prosesi itu akan dibagikan sebuah ajengan yang wajib dimakan oleh pasangan suami istri. Makan bersama dimaknai dengan kerukunan pada pasangan tersebut, sementara ajengan yang dibagikan diharapkan menjadi simbol kesejahteraan dan keajegan bagi keluarga.

Singgih menegaskan ajengan itu wajib dikonsumsi, tanpa terkecuali. Bila toh salah satu pasangan berada di luar daerah, ajengan itu bisa dikeringkan.

“Misalnya kalau ada yang kerja di kapal pesiar, itu tetap wajib mengonsumsi ajenganKan bisa dikeringkan dan diawetkan, contohnya jadi senggauk. Nanti kalau sudah pulang kampung, langsung dimakan,” jelasnya.

Setelah menjalani prosesi metata krama, mereka wajib hadir pada tilem kapat di pura dalem. Krama lanang yang menek desa wajib mengenakan baju berlengan panjang berwarna putih, mengenakan kamben songket, serta selempang berwarna cerah. Entah itu warna merah, biru, atau kuning.

Disamping itu krama yang menek desa juga wajib menghaturkan banten penyacah sebanyak 35 tanding, sebuah banten pecingkrem yang tingginya hingga dua meter, serta canang sari. Saat prosesi itu, biasanya mereka akan mendapat nama baru yang disebut pungkusan alias nama sapaan.

Pasangan suami istri yang telah memiliki anak biasanya akan mendapat nama panggilan pan atau men. Panggilan itu akan diikuti dengan nama anak pertama.

“Kalau anak pertamanya bernama Darmawan, nanti yang krama lanang dipanggil Pan Darmawan, kalau krama istri Men Darmawan. Istilahnya di sini pungkusan,” jelasnya lagi.

Selain itu pada tradisi ngusaba dalem tahun ini, pihak desa juga akan menyembelih lima ekor kerbau. Kerbau itu merupakan persembahan dari krama yang naur sesangi. “Karena permohonannya terkabul, jadi dia naur sesangi sekarang. Nanti akan jadi sarana persembahan dan lawar, lalu dibagikan ke krama,” tukas Singgih. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/