25.6 C
Jakarta
24 November 2024, 5:14 AM WIB

Mengikuti Tradisi “Munjung” Masih Lestari, Meski Kian Sepi

Masyarakat di Buleleng punya tradisi unik setiap hari raya Pagerwesi tiba. Seperti saat hari raya pada Rabu (26/10), krama ramai-ramai mendatangi Pura Kahyangan Tiga dan Setra Desa Adat Buleleng.

PERAYAAN itu telah tiba lagi.  Hari Raya Pagerwesi sendiri jatuh pada Rahina Buda Kliwon Sinta, setiap 210 hari sekali dalam kalender Bali. Pada hari raya tersebut, krama utamanya di Desa Adat Buleleng akan datang melakukan tradisi munjung.

Krama membawa banten dan persembahan. Banten itu disebut dengan punjung. Selanjutnya banten dihaturkan di gumuk atau pusara keluarga yang belum melalui upacara ngaben. Setelah dihaturkan, banten kemudian di-lungsur dan dimakan bersama-sama.

Hanya saja pada tahun ini tradisi itu kian sepi. Pantauan Jawa Pos Radar Bali di Setra Desa Adat Buleleng, tradisi munjung hanya ramai di wewidangan Banjar Adat Pakraman Banjar Bawa.

Sementara di wewidangan banjar adat lainnya sepi, karena tidak ada gumuk. Maklum saja, sudah banyak yang melalui upacara ngaben. Baik melalui ngaben masal desa adat, ngaben masal dadia, maupun melalui kremasi.

Salah seorang krama yang masih melakoni tradisi itu adalah Putu Doni Setiawan, 40, krama dari Banjar Adat Pakraman Banjar Jawa. Doni menuturkan, kakaknya meninggal dunia setahun lalu. Pihak keluarga memutuskan melakukan upacara mekingsan ring pertiwi, sebelum menggelar upacara ngaben massal di dadia keluarga.

“Sejak saat itu saya munjung ke sini. Memang rutin setiap rahinan ngaturang banten punjung. Paling utama memang pas Pagerwesi, tapi pas Galungan, Kuningan, juga kami ngaturang banten itu,” katanya.

Bendesa Adat Buleleng Jro Nyoman Sutrisna mengungkapkan, hari raya Pagerwesi di Desa Adat Buleleng memang sangat identik dengan tradisi munjung. Saat memunjungkrama akan membawa berbagai makanan.

Seperti ikan asin yang digoreng, ayam goreng, gerang, serundeng yang dicampur kacang keplos, sayur kacang panjang yang dicampur taoge, serta nasi kuning. Makanan itu akan dipersembahkan dulu di pusara keluarga.

“Setelah dihaturkan, baru di-lungsur. Kemudian makan ramai-ramai di sekitar gumuk itu. Krama juga biasa bawa bekal dari rumah. Jadi yang dihaturkan itu hanya satu porsi, tapi bekalnya dimakan ramai-ramai di sana,” ujar Sutrisna.

Menurutnya tradisi itu menyimpan sejumlah filosofi. Krama meyakini mereka berbagi rejeki kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Sutrisna mengungkapkan tradisi itu telah berlangsung sejak lama. Tatkala Setra Desa Adat berdiri pada tahun 1835, tradisi itu sudah berlangsung. “Orang tua saya pun sudah menjalani tradisi itu. Sesuai awig kami, tahun 1835 itu baru ada Setra di Penataran. Sebelumnya kan kami ikut di Setra Banyuning. Jadi sejak tahun 1835 itu diyakini sudah ada tradisi ini,” jelasnya.

Lebih lanjut Sutrisna mengungkapkan, pada tahun ini tradisi munjung memang terlihat sepi. Sebab tak banyak lagi krama yang melakukan upacara mekingsan ring geni. Banyak yang langsung melakukan upacara ngaben, seiring menjamurnya fasilitas krematorium.

Kendati demikian, ia meyakini tradisi itu tak akan punah. Sebab banjar adat pakraman Banjar Jawa memiliki sebuah dresta. Krama di banjar adat setempat wajib melakukan mekingsan ring pertiwi lebih dulu, sebelum melakukan upacara ngaben.

“Kalau di banjar adat banjar jawa itu tradisinya ngaben di dadia, selain ngaben di desa adat. Dresta mereka di sana seperti itu. Harus mekingsan ring pertiwi dulu, baru ngaben,” demikian Sutrisna. (eka prasetya/radar bali)

 

Masyarakat di Buleleng punya tradisi unik setiap hari raya Pagerwesi tiba. Seperti saat hari raya pada Rabu (26/10), krama ramai-ramai mendatangi Pura Kahyangan Tiga dan Setra Desa Adat Buleleng.

PERAYAAN itu telah tiba lagi.  Hari Raya Pagerwesi sendiri jatuh pada Rahina Buda Kliwon Sinta, setiap 210 hari sekali dalam kalender Bali. Pada hari raya tersebut, krama utamanya di Desa Adat Buleleng akan datang melakukan tradisi munjung.

Krama membawa banten dan persembahan. Banten itu disebut dengan punjung. Selanjutnya banten dihaturkan di gumuk atau pusara keluarga yang belum melalui upacara ngaben. Setelah dihaturkan, banten kemudian di-lungsur dan dimakan bersama-sama.

Hanya saja pada tahun ini tradisi itu kian sepi. Pantauan Jawa Pos Radar Bali di Setra Desa Adat Buleleng, tradisi munjung hanya ramai di wewidangan Banjar Adat Pakraman Banjar Bawa.

Sementara di wewidangan banjar adat lainnya sepi, karena tidak ada gumuk. Maklum saja, sudah banyak yang melalui upacara ngaben. Baik melalui ngaben masal desa adat, ngaben masal dadia, maupun melalui kremasi.

Salah seorang krama yang masih melakoni tradisi itu adalah Putu Doni Setiawan, 40, krama dari Banjar Adat Pakraman Banjar Jawa. Doni menuturkan, kakaknya meninggal dunia setahun lalu. Pihak keluarga memutuskan melakukan upacara mekingsan ring pertiwi, sebelum menggelar upacara ngaben massal di dadia keluarga.

“Sejak saat itu saya munjung ke sini. Memang rutin setiap rahinan ngaturang banten punjung. Paling utama memang pas Pagerwesi, tapi pas Galungan, Kuningan, juga kami ngaturang banten itu,” katanya.

Bendesa Adat Buleleng Jro Nyoman Sutrisna mengungkapkan, hari raya Pagerwesi di Desa Adat Buleleng memang sangat identik dengan tradisi munjung. Saat memunjungkrama akan membawa berbagai makanan.

Seperti ikan asin yang digoreng, ayam goreng, gerang, serundeng yang dicampur kacang keplos, sayur kacang panjang yang dicampur taoge, serta nasi kuning. Makanan itu akan dipersembahkan dulu di pusara keluarga.

“Setelah dihaturkan, baru di-lungsur. Kemudian makan ramai-ramai di sekitar gumuk itu. Krama juga biasa bawa bekal dari rumah. Jadi yang dihaturkan itu hanya satu porsi, tapi bekalnya dimakan ramai-ramai di sana,” ujar Sutrisna.

Menurutnya tradisi itu menyimpan sejumlah filosofi. Krama meyakini mereka berbagi rejeki kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Sutrisna mengungkapkan tradisi itu telah berlangsung sejak lama. Tatkala Setra Desa Adat berdiri pada tahun 1835, tradisi itu sudah berlangsung. “Orang tua saya pun sudah menjalani tradisi itu. Sesuai awig kami, tahun 1835 itu baru ada Setra di Penataran. Sebelumnya kan kami ikut di Setra Banyuning. Jadi sejak tahun 1835 itu diyakini sudah ada tradisi ini,” jelasnya.

Lebih lanjut Sutrisna mengungkapkan, pada tahun ini tradisi munjung memang terlihat sepi. Sebab tak banyak lagi krama yang melakukan upacara mekingsan ring geni. Banyak yang langsung melakukan upacara ngaben, seiring menjamurnya fasilitas krematorium.

Kendati demikian, ia meyakini tradisi itu tak akan punah. Sebab banjar adat pakraman Banjar Jawa memiliki sebuah dresta. Krama di banjar adat setempat wajib melakukan mekingsan ring pertiwi lebih dulu, sebelum melakukan upacara ngaben.

“Kalau di banjar adat banjar jawa itu tradisinya ngaben di dadia, selain ngaben di desa adat. Dresta mereka di sana seperti itu. Harus mekingsan ring pertiwi dulu, baru ngaben,” demikian Sutrisna. (eka prasetya/radar bali)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/