Oleh: Siti Sapurah, SH. (Ipung)
(Pengacara dan Aktivis Perlindungan Perempuan dan Anak)
SAYA ingin bicara tentang perebutan hak asuh anak. Karena dalam kurun 3 tahun terakhir, kasus ini banyak saya selesaikan di Bali.
Seperti kita ketahui, di Bali berlaku sistem kekeluargaan patrilineal (garis keturunan laki-laki). Di mana, kaum perempuan banyak dibenturkan dengan sistem tersebut.
Sehingga, seolah-olah perempuan-perempuan Bali yang sudah menikah, haknya terhapus begitu saja. Padahal tidak demikian.
Saya bicara mulai dari perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dicatatkan di Catatan Sipil. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika dicatatkan di Catatan Sipil maka akan keluar Akte Perkawinan.
Kenapa ini perlu? Karena jika tidak ada akte perkawinan, maka anak yang dilahirkan tidak akan punya hubungan hak perdata dengan bapak kandungnya atau bapak biologisnya. Apa lagi jika perkawinan tidak dicatatkan secara resmi.
Kita tidak mengharapkan adanya perceraian. Namun, jika terjadi perceraian tanpa catatan resmi, maka seorang perempuan bisa “dilempar” begitu saja. Di situ lah lemahnya perempuan jika pernikahannya tidak dicatatkan sesuai Undang-Undang.
Memang, pernikahan siri, pernikahan adat di Bali atau pernikahan di gereja itu diakui secara hukum adat dan agama. Tapi bukan hukum positif. Jadi hanya diakui secara hukum adat dan agama.
Apakah sah secara hukum positif? Tentu saja tidak. Jika bercerai, apakah bisa bercerai di pengadilan? Tentu tidak bisa. Karena tanpa akte perkawinan, maka pernikahan itu dianggap tidak pernah ada oleh Negara. Karena perkawinan dianggap ada atau sah jika ada akte pernikahan dan buku nikah.
Di sini lah sulitnya kaum perempuan menuntut haknya sebagai istri dan haknya sebagai seorang ibu. Jika dia tidak memiliki akte perkawinan.
Lalu, apa konsekuensi dari anak yang dilahirkan dari perkawinan adat atau agama? Maka anak tidak memiliki hubungan hukum dengan bapak kandung atau bapak biologisnya. Artinya, anak hanya dilahirkan dari seorang ibu saja.
Apakah anak ini punya hubungan hukum dalam adat untuk meminta atau merebut warisan dan hak lainnya dari bapak kandungnya? Tentu tidak bisa. Hilang semua hak itu.
Di sini, saya menyarankan, khususnya bagi Perempuan di Bali dengan sistem patrilenial, jangan mau dinikahkan hanya secara adat atau agama atau secara gereja. Kecuali kaum perempuan yang mapan secara ekonomi dan memilih menikah siri atau secara adat. Itu sah-sah saja.
Tapi bagi perempuan-perempuan yang ingin mendirikan keluarga, membangun rumah tangga, melahirkan keturunan, maka menikah lah secara hukum positif.
Supaya anda sebagai perempuan, punya hak atas diri anda sendiri sebagai seorang ibu, dan juga punya hak sebagai seorang istri dari seorang laki-laki yang menikahi anda.
Kenapa saya tertarik membicarakan perebutan hak asuh anak? Sebab, sejak tahun 2020 hingga 2022 ini, sudah ada 6 anak yang sudah saya “eksekusi”. Dari orang yang bukan haknya.
Walau pun ada di dalam putusan Pengadilan “anak tidak bisa dieksekusi karena anak bukan barang”, oke itu benar.
Tapi, bagaimana jika status anak itu tidak berada di tangan orang yang punya hak? Ya, harus dieksekusi dong! Siapa yang bisa melakukannya? Ibu kandungnya atau bapak kandungnya, dibantu oleh Kepolisian. Polisi yang di sini menjadi ujung tombak. Bagaimana caranya? Dengan membuat laporan ke kepolisian.
Pasalnya, jika perempuan menikah secara adat dan posisinya lemah secara hukum, maka dipastikan perempuan tersebut hanya bisa menuntut hak atas anak. Sebab, perempuan lebih berhak.
Karena di akte kelahiran di luar pernikahan resmi, anak akan tercatat lahir dari seorang ibu saja. Artinya, yang punya hak “veto” atas anak adalah ibu kandungnya. Bapak kandung, bapak tiri tidak punya hak. Apalagi kakek dan nenek.
Karena ada di Undang-Undang Perlindungan Anak, berdasarkan Konvensi Hak Anak. UNICEF pernah melakukan rapat konvensi hak anak tahun 1989. Dan sudah diratifikasi oleh Indonesia tahun 1990.
Bahwa ada 31 hak anak yang tidak boleh dilanggar. Di antaranya: Anak berhak atas ibu kandung dan bapak kandungnya. Dan anak berhak atas ASI eksklusif dari ibunya selama 6 bulan.
Sebab, ada banyak kasus, laki-laki yang setelah mendapatkan keturunan laki-laki, baru dua bulan si perempuannya atau si ibu “dibuang”. Dan ini melanggar pasal 128 Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 dengan ancaman penjara 1 tahun dan denda Rp 100 juta.
Pasal apa lagi? Pasal 76 b UU no. 23 tahun 2002 perubahan UU no. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Karena ada, laki-laki setelah menikah siri atau adat dan memiliki anak, kemudian menikah lagi dan mengubah asal usul anak menjadi anak istri barunya. Ini tidak boleh.
Perempuan-perempuan di mana pun Anda, laporkan perbuatan tersebut, karena ancamannya adalah 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Ada lagi. Pasal 303 KUHP, barang siapa yang merebut hak anak atas orang yang bukan kuasanya, jika anak itu berusia di bawah 12 tahun, maka ancamannya adalah 9 tahun penjara.
Dan ada juga pasal 277 KUHP, tentang perbuatan dengan sengaja mengubah asal usul seseorang, maka ancamannya pidana paling lama 6 tahun penjara.
Intinya begini, perempuan-perempuan khususnya di Bali, jangan pernah takut menuntut hak atas anaknya, jika menikah tanpa catatan hukum positif. Ibu memiliki hak jauh lebih besar dari ayah biologis. Hukum adat atau agama tidak ada Undang-Undangnya. Itu adalah adat dan agama.
Indonesia menganut Lex specialis derogat lex generalis. Yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Artinya, dari 0 hari hingga 18 tahun, anak adalah hak seorang ibu. Karena itu ditanggung dan dijamin oleh Negara lewat Undang-Undang. Pelanggaran bagi hak anak dan ibu adalah Penjara. Dan perempuan, di Bali khususnya, harus tahu ini. Sebab, jika ini terjadi, maka hak laki-laki pun akan terampas.
Terakhir, pesan saya buat perempuan, bahwa Perempuan itu harus pintar, harus cerdas, dan mandiri secara ekonomi. Supaya anda bisa menyelamatkan diri anda sendiri dan menyelamatkan perempuan lain! (*/han)