Warning: Undefined variable $reporternya in /var/www/devwpradar/wp-content/themes/Newspaper/functions.php on line 229
28.8 C
Jakarta
27 Juli 2024, 0:32 AM WIB

Catatan Hari Anak Nasional (HAN) 2022

Orang Tua, Mari Berpikir: Semua Anak adalah “Anak Saya” yang Wajib Dijaga!

Oleh: Siti Sapurah, SH

DUA tahun terakhir, kejahatan dan kekerasan terhadap anak, baik itu kejahatan seksual maupun kejahatan kriminal seperti pada umumnya di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Tidak hanya itu, tidak sedikit kejahatan ini menyebabkan anak meninggal dunia.

Ini menjadi concern saya saat peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada Sabtu, 23 Juli 2022.

Atas hal itu, tidak salah jika masyarakat menilai peran pemerintah dalam menjaga anak dari kejahatan dianggap kurang maksimal.

Ada pula yang menilai bahwa, penegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan anak juga belum maksimal sehingga kurang memberikan efek jera bagi pelaku.

Pendapat ini tidak 100 persen benar. Karena menjaga dan menjauhkan anak dari tidak kejahatan, bukan semata-mata tugas dari pemerintah, tapi juga orang tua yang secara tidak langsung menjadi benteng pertahanan pertama bagi anak.

Peran orang tua terhadap anak yang belakang ini mulai tersingkirkan oleh kecanggihan teknologi, menjadikan anak terlihat apatis dan kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, pola asuh orang tua juga harus diperbaiki, jika tidak, akan menjadi salah satu sumber munculnya kejahatan terhadap anak.

Interaksi antara ibu dan bapak, seharusnya menjadi figur dan teladan bagi anak-anaknya.

Contoh kecil saja, kadang untuk mengetahui anaknya sudah tidur atau belum, orang tua hanya mengintip dari pintu atau jendela saja.

Padahal setelah itu tidak tahu apakah benar anak sudah tidur atau masih mainan Handphone.

Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam penggunaan smartphone, menjadi pintu masuk dalam pikiran anak-anak untuk berbuat hal-hal di luar kemampuannya. Bahkan hal ini cenderung membuat anak menjadi liar dalam berpikir.

Salah satu contoh, kasus terbaru di Tasikmalaya, Jawa Barat, ada seorang anak berusia 11 tahun dipaksa teman-temannya untuk memperkosa seekor kucing dan videonya disebar. Sampai akhirnya anak ini menjadi depresi berat dan malu sehingga meninggal dunia.

Contoh kasus di atas dikarenakan orang tua sebagai benteng pertama dalam melindungi anak-anaknya sudah rapuh, karena kurangnya pengawasan dalam semua hal, termasuk pengawasan dalam penggunaan smartphone.

Hal lain yang menjadi andil meningkatnya kejahatan dan kekerasan terhadap anak karena kurangnya empati atau kepedulian masyarakat atau orang terhadap anak yang bukan anaknya atau bukan saudaranya.

Misalnya, ada kejahatan seksual terhadap anak, kadang walau orang lain melihat, tapi karena itu bukan anaknya atau bukan kerabatnya orang itu cuek dan cenderung masa bodoh. Nah, hal semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi.

Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk berpikir lebih jernih dan menganggap bahwa semua anak adalah anak “saya” dan semua anak Indonesia adalah anak “saya” yang wajib dijaga.

Karena pada hakikatnya, semua anak yang ada di Indonesia adalah anak Indonesia yang harus dijaga demi masa depan bangsa.

Oleh karena itu, melalui momen Hari Anak Nasional ini, saya mengajak kita semua, terutama orang tua, untuk memiliki rasa peduli, rasa empati terhadap anak, baik itu anak sendiri maupun anak orang lain. Karena anak adalah masa depan bangsa yang wajib dijaga.

Persoalan berikut yang juga menjadi andil meningkatnya kejahatan dan kekerasan terhadap anak dalam dua tahun terakhir ini adalah karena adanya pola pikir “percuma lapor polisi” karena banyak masyarakat yang beranggapan bahwa hukum itu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Anggapan itu, menurut Saya tidak bisa dibenarkan 100 persen. Bahwa, memang benar Negara sudah hadir untuk melindungi anak Indonesia mulai dari usia 0 hari sampai 18 tahun dengan membuat Undang – Undang Perlindungan Anak.

Pemerintah telah hadir dengan melahirkan UU Nomor 23 Tahun 2002, lalu diubah dengan perubahan pertama UU Nomor 35 tahun 2014 dan perubahan yang kedua tentang kejahatan seksual atau yang khusus menangani kejahatan seksual yaitu dengan lahirnya UU Nomor 17 tahun 2016.

Tak hanya itu, pemerintah juga kembali melahirkan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Lahirnya UU Nomor 11 ini sangat luar biasa, bahkan dalam penerapan bisa mengalahkan atau mengesampingkan KUHAP tapi apakah ini cukup?, Tentu tidak.

Saya menilai bahwa, Negara memang sudah hadir di sini, tapi hadirnya Negara hanya sebatas  memikirkan untuk melahirkan Undang – Undang saja, tapi tidak memikirkan hal penting lainnya, seperti biaya operasional yang cukup bagi aparat penegak hukum di Indonesia.

Saya banyak kenalan Polisi dan Jaksa,   kadang mereka mengeluhkan minimnya anggaran operasional untuk penanganan kasus kejahatan terhadap anak, padahal dalam pengungkapan kasus anak ini, tidak jarang aparat penegak hukum berhadapan dengan orang yang berkuasa.

Saya mencontohkan salah satu kasus dugaan kejahatan seksual terhadap anak yang ditangani polisi yang terjadi di Jawa Timur.

Bagaimana susahnya polisi dalam menangkap terduga pelaku yang merupakan tokoh besar yang sudah pasti miliki kuasa uang yang banyak.

Saya yakin dan optimis, apabila biaya operasional yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kejahatan terhadap anak ditingkatkan, maka tidak alasan lagi bagi aparat penegak hukum untuk tidak maksimal dalam penanganan perkara.

Kalau sekarang banyak saya temui penanganan perkara terhadap anak kurang maksimal. Ini karena terkendala dengan biaya operasional itu. Kadang saya harus keluar uang sendiri untuk membiayai beberapa kebutuhan dalam perkara anak yang saya tangani.

Di Bali sendiri, khususnya Kota Denpasar, sebenarnya sudah menjadi kota yang ramah anak. Tapi  masih ada sejumlah kasus kekerasan terhadap anak. Nah, jangan sampai predikat ramah anak ini hanya sebagai slogan saja.

Pemerintah Kota Denpasar wajib memberdayakan dengan baik lembaga-lembaga yang bernaung di bawah KBPP. Seperti P2TP2A dan stakeholder lainnya. Lembaga ini wajib melakukan sosialisasi dengan cara road show memberikan edukasi kepada masyarakat dari tingkat paling rendah.

Lembaga ini wajib turun memberikan edukasi mulai dari tingkat Banjar, Kelurahan, Kecamatan. Bisa juga masuk melalui sekolah-sekolah mulai dari TK, SD, SMP bahkan sampai tingkat SMA. Pola ini harus dilakukan agar memberikan edukasi bagaimana anak-anak bisa melindungi diri sendiri.

Setelah ini dilakukan, barulah masuk kepada para orang tua, dengan memberikan edukasi bagaimana cara mendidik dan melindungi anaknya dari tindak kejahatan. Ini yang saat ini perlu digalakkan lagi di Denpasar agar anak-anak Indonesia yang ada di Denpasar bisa terlindungi.

Saya mengakui, sejak Saya keluar dari salah satu lembaga di Denpasar yang mengurus soal anak dan perempuan, kegiatan sosialisasi dan edukasi ke tingkat bawah jarang sekali terdengar.

Semoga di momen atau melalui Hari Anak Nasional tahun 2022 ini, lembaga -lembaga yang bekerja untuk melindungi anak di Denpasar bisa bekerja maksimal.

Dan kembali turun ke bawah untuk memberikan edukasi kepada anak maupun orang tua, agar kota Denpasar menjadi kota yang tidak nyaman bagi pelaku kejahatan terhadap anak. (*/han) 

*) Penulis adalah Pengacara dan Aktivis Perlindungan Perempuan dan Anak

Oleh: Siti Sapurah, SH

DUA tahun terakhir, kejahatan dan kekerasan terhadap anak, baik itu kejahatan seksual maupun kejahatan kriminal seperti pada umumnya di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Tidak hanya itu, tidak sedikit kejahatan ini menyebabkan anak meninggal dunia.

Ini menjadi concern saya saat peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada Sabtu, 23 Juli 2022.

Atas hal itu, tidak salah jika masyarakat menilai peran pemerintah dalam menjaga anak dari kejahatan dianggap kurang maksimal.

Ada pula yang menilai bahwa, penegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan anak juga belum maksimal sehingga kurang memberikan efek jera bagi pelaku.

Pendapat ini tidak 100 persen benar. Karena menjaga dan menjauhkan anak dari tidak kejahatan, bukan semata-mata tugas dari pemerintah, tapi juga orang tua yang secara tidak langsung menjadi benteng pertahanan pertama bagi anak.

Peran orang tua terhadap anak yang belakang ini mulai tersingkirkan oleh kecanggihan teknologi, menjadikan anak terlihat apatis dan kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, pola asuh orang tua juga harus diperbaiki, jika tidak, akan menjadi salah satu sumber munculnya kejahatan terhadap anak.

Interaksi antara ibu dan bapak, seharusnya menjadi figur dan teladan bagi anak-anaknya.

Contoh kecil saja, kadang untuk mengetahui anaknya sudah tidur atau belum, orang tua hanya mengintip dari pintu atau jendela saja.

Padahal setelah itu tidak tahu apakah benar anak sudah tidur atau masih mainan Handphone.

Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam penggunaan smartphone, menjadi pintu masuk dalam pikiran anak-anak untuk berbuat hal-hal di luar kemampuannya. Bahkan hal ini cenderung membuat anak menjadi liar dalam berpikir.

Salah satu contoh, kasus terbaru di Tasikmalaya, Jawa Barat, ada seorang anak berusia 11 tahun dipaksa teman-temannya untuk memperkosa seekor kucing dan videonya disebar. Sampai akhirnya anak ini menjadi depresi berat dan malu sehingga meninggal dunia.

Contoh kasus di atas dikarenakan orang tua sebagai benteng pertama dalam melindungi anak-anaknya sudah rapuh, karena kurangnya pengawasan dalam semua hal, termasuk pengawasan dalam penggunaan smartphone.

Hal lain yang menjadi andil meningkatnya kejahatan dan kekerasan terhadap anak karena kurangnya empati atau kepedulian masyarakat atau orang terhadap anak yang bukan anaknya atau bukan saudaranya.

Misalnya, ada kejahatan seksual terhadap anak, kadang walau orang lain melihat, tapi karena itu bukan anaknya atau bukan kerabatnya orang itu cuek dan cenderung masa bodoh. Nah, hal semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi.

Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk berpikir lebih jernih dan menganggap bahwa semua anak adalah anak “saya” dan semua anak Indonesia adalah anak “saya” yang wajib dijaga.

Karena pada hakikatnya, semua anak yang ada di Indonesia adalah anak Indonesia yang harus dijaga demi masa depan bangsa.

Oleh karena itu, melalui momen Hari Anak Nasional ini, saya mengajak kita semua, terutama orang tua, untuk memiliki rasa peduli, rasa empati terhadap anak, baik itu anak sendiri maupun anak orang lain. Karena anak adalah masa depan bangsa yang wajib dijaga.

Persoalan berikut yang juga menjadi andil meningkatnya kejahatan dan kekerasan terhadap anak dalam dua tahun terakhir ini adalah karena adanya pola pikir “percuma lapor polisi” karena banyak masyarakat yang beranggapan bahwa hukum itu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Anggapan itu, menurut Saya tidak bisa dibenarkan 100 persen. Bahwa, memang benar Negara sudah hadir untuk melindungi anak Indonesia mulai dari usia 0 hari sampai 18 tahun dengan membuat Undang – Undang Perlindungan Anak.

Pemerintah telah hadir dengan melahirkan UU Nomor 23 Tahun 2002, lalu diubah dengan perubahan pertama UU Nomor 35 tahun 2014 dan perubahan yang kedua tentang kejahatan seksual atau yang khusus menangani kejahatan seksual yaitu dengan lahirnya UU Nomor 17 tahun 2016.

Tak hanya itu, pemerintah juga kembali melahirkan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Lahirnya UU Nomor 11 ini sangat luar biasa, bahkan dalam penerapan bisa mengalahkan atau mengesampingkan KUHAP tapi apakah ini cukup?, Tentu tidak.

Saya menilai bahwa, Negara memang sudah hadir di sini, tapi hadirnya Negara hanya sebatas  memikirkan untuk melahirkan Undang – Undang saja, tapi tidak memikirkan hal penting lainnya, seperti biaya operasional yang cukup bagi aparat penegak hukum di Indonesia.

Saya banyak kenalan Polisi dan Jaksa,   kadang mereka mengeluhkan minimnya anggaran operasional untuk penanganan kasus kejahatan terhadap anak, padahal dalam pengungkapan kasus anak ini, tidak jarang aparat penegak hukum berhadapan dengan orang yang berkuasa.

Saya mencontohkan salah satu kasus dugaan kejahatan seksual terhadap anak yang ditangani polisi yang terjadi di Jawa Timur.

Bagaimana susahnya polisi dalam menangkap terduga pelaku yang merupakan tokoh besar yang sudah pasti miliki kuasa uang yang banyak.

Saya yakin dan optimis, apabila biaya operasional yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kejahatan terhadap anak ditingkatkan, maka tidak alasan lagi bagi aparat penegak hukum untuk tidak maksimal dalam penanganan perkara.

Kalau sekarang banyak saya temui penanganan perkara terhadap anak kurang maksimal. Ini karena terkendala dengan biaya operasional itu. Kadang saya harus keluar uang sendiri untuk membiayai beberapa kebutuhan dalam perkara anak yang saya tangani.

Di Bali sendiri, khususnya Kota Denpasar, sebenarnya sudah menjadi kota yang ramah anak. Tapi  masih ada sejumlah kasus kekerasan terhadap anak. Nah, jangan sampai predikat ramah anak ini hanya sebagai slogan saja.

Pemerintah Kota Denpasar wajib memberdayakan dengan baik lembaga-lembaga yang bernaung di bawah KBPP. Seperti P2TP2A dan stakeholder lainnya. Lembaga ini wajib melakukan sosialisasi dengan cara road show memberikan edukasi kepada masyarakat dari tingkat paling rendah.

Lembaga ini wajib turun memberikan edukasi mulai dari tingkat Banjar, Kelurahan, Kecamatan. Bisa juga masuk melalui sekolah-sekolah mulai dari TK, SD, SMP bahkan sampai tingkat SMA. Pola ini harus dilakukan agar memberikan edukasi bagaimana anak-anak bisa melindungi diri sendiri.

Setelah ini dilakukan, barulah masuk kepada para orang tua, dengan memberikan edukasi bagaimana cara mendidik dan melindungi anaknya dari tindak kejahatan. Ini yang saat ini perlu digalakkan lagi di Denpasar agar anak-anak Indonesia yang ada di Denpasar bisa terlindungi.

Saya mengakui, sejak Saya keluar dari salah satu lembaga di Denpasar yang mengurus soal anak dan perempuan, kegiatan sosialisasi dan edukasi ke tingkat bawah jarang sekali terdengar.

Semoga di momen atau melalui Hari Anak Nasional tahun 2022 ini, lembaga -lembaga yang bekerja untuk melindungi anak di Denpasar bisa bekerja maksimal.

Dan kembali turun ke bawah untuk memberikan edukasi kepada anak maupun orang tua, agar kota Denpasar menjadi kota yang tidak nyaman bagi pelaku kejahatan terhadap anak. (*/han) 

*) Penulis adalah Pengacara dan Aktivis Perlindungan Perempuan dan Anak

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/